Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Kamis, 12 Februari 2009

Salah Adopsi

Saya juga tidak tahu awal mulanya bagaimana bisa saya sebagai orang Jawa telinga ini lebih nyaman mendengarkan lagu yang dinyanyikan oleh Samsons dan band-band yang lain daripada alunan musik kelompok penabuh gamelan mengiringi sinden (penyanyi) Jawa. Atau mendengarkan Melly Guslow bernyanyi daripada mendengarkan Waljinah mendendangkan Macapat. Apakah karena sejak kecil bahwa musik pop lebih familiar di telinga saya daripada tembang-tembang Jawa. Di radio, di sekolah, di kampus, di tempat kerja, stasiun, pasar, mall, rumah sakit dan angkutan umum. Saya pikir apakah karena saya termasuk orang kosmopolitan, lebih toleran terhadap budaya orang lain. Khas manusia produk pendidikan modern dan lumayanlah walaupun tidak tinggi-tinggi amat, cukup S1, masih masuk dalam kasta intelelektual. Maaf sedikit narsis. Tapi ternyata tidak juga, mohon maaf, tetangga saya hanya tamat SD, tapi selera akan musik sama, beda aliran saja. Penggemar bang Haji dan bang Mansyur S. Musik dangdut, yang katanya budaya kita, tapi sama saja itu musik impor. Atau anak-anak kecil dikampung yang lebih fasih mendendangkan lagunya Peter Pan daripada karya Bu Kasur. Kalaupun bisa menyanyikan lagunya Bu Kasur sekedar tuntutan saja dari gurunya bukan kegemaran.

Belum lagi “dosa” yang saya buat karena lebih menyukai nonton film di bioskop daripada pagelaran wayang kulit. Melihat kondisi fisik saya, warna kulit, bentuk tubuh, cara bicara saya yakin bahwa saya adalah anak kandung ibu pertiwi ini. Tapi kenapa segala sesuatu yang berkaitan dengan ciri khas ibu pertiwi saya kurang menyukai. Apa mungkin saya termasuk yang beberapa kawan menyebutnya “anak haram” ibu pertiwi. Lahir dan besar dalam asuhan ibu pertiwi tetapi kemudian menghianatinya, pejabat yang merampok harta rakyat, bukankah rakyat saudara kandungnya, pengusaha yang suka menindas,, membabat habis hutan, menimbun sembako untuk kepentingan bisnis, rakyat yang rakus, politisi memelintir kepentingan rakyat, seniman menyesatkan dan kaum bromocorah yang membuat kerusakan di rumah ibunya sendiri. Kalau dibanding dengan mereka mungkin dosa saya kepada ibu pertiwi masih dosa kecil. Barangkali..

Hingga suatu ketika saya berpikir apakah produk-produk budaya yang lahir dari ibu pertiwi dari Sabang sampai Merauke adalah suatu wasiat yang harus dijalankan, peninggalan yang harus dilestarikan. Seorang kawan berkata kepada saya bahwa tidak penting apakah dirimu fasih berbahasa ibu kamu, mendendangkan lagu kesukaan ibu kamu, berpakaian dengan pakaian ibu kamu, tetapi jauh lebih penting adalah sebagai kecintaan terhadap ibu kamu dengan melayani kebutuhannya. Pejabat harus mengenyangkan rakyatnya. Pedagang berbuat jujur pada pembelinya. Si kaya menyantuni yang yang miskin. Tidak merusak alam tempat ibu pertiwi. Politisi tidak berbohong. Seniman mencerahkan. Rakyat taat hukum. Luar biasa sepertinya. Maka saya berpikir bahwa mungkin ibu pertiwi jauh lebih mencintai kawan Tionghoa atau blasteran yang wajahnya sering muncul di sinetron sekarang, yang sering disebut bukan penduduk pribumi, selama mereka melayani ibu pertiwi ini.

Ternyata Allah memberikan anugerah kepada saya untuk bertemu dengan orang-orang luar biasa, hingga saya bertemu dengan kawan saya yang seorang penabuh gamelan Jawa. Hasil pembicaraan dengan kawan saya tadi tidaklah membawa pencerahan kepada saya. Karena saya semakin bingung. Kawan saya bertutur tentang sejarah gamelan, fungsi, hingga citra yang bisa diangkat darinya. Luar biasa. Setiap not, syair, mengandung kalimat adiluhung, tak seperti lirik-lirik lagu picisan sekarang. Belum lagi tuturnya tentang wayang kulit dan lain-lain. Saya pikir orang-orang luar biasa ini lebih pantas jadi anak kandung ibu pertiwi.

Dalam banyak diskursus tentang budaya dan ke-Indonesiaan maka budaya menjadi alat yang ampuh dalam membentuk kualitas masyarakat. Budaya menjadi modal sosial yang digunakan dalam pembangunan bangsa ini. Karena omong kosong tanpa modal sosial yang cukup bangsa ini akan bisa berdiri kokoh. Modal sosial semacam gotong royong, toleran, ramah, santun dan inklusif. Kesenian didalamnya ada musik merupakan proyeksi budaya yang berkembang. Hegemoni budaya dari barat yang melakukan penetrasi offensif melalui media terutama media visual baik secara sadar maupun tidak telah memperngaruhi pola pikir kita.. Paradigma dan cara pandang kita sebagai anak bangsa, anak ibu pertiwi berbelok sekian derajat setiap harinya. Hingga akhirnya posisi kita memandang persis ke negara-negara barat. Apabila ini dilakukan secara berjamaah atau secara massal maka ini sama saja proses penyerahan diri, penghambaan pada nilai-nilai budaya mereka. Jika budaya telah dikuasai maka tunggu saja hingga saat nanti harta, jiwa, raga akan diminta. Persembahan untuk sesembahan baru penduduk ini.

Lantas dimana posisi saya, gamelan, musik pop, tetangga saya yang tidak hanya tamat SD, dangdut kawan saya penabuh gamelan. Atau kawan saya di Aceh, tari Saman, modern dance, rock n roll. Atau kawan saya di Bali, Sulawesi dan bagaimana dengan anda. Bagaimana menjelaskannya kepada ibu pertiwi, bahwa cinta saya, kawan saya, anda sangatlah besar. Apakah pada kesimpulan bahwa musik hanyalah alat budaya, mau gamelan, band, atau apalah yang penting pesan yang ingin disampaikan memiliki makna. Musik modern menjadi lebih sederhana dalam berkomunikasi karena beragamnya kesenian kita. Ismail Marjuki, WR Supratman menggunakan notasi modern. Lagu-lagu religi mengalir dalam alunan musik modern atau bernuansa etnik bangsa lain. Jadi mungkin analog dari bukan bahan suratnya tapi pesannya lebih penting. Atau pada tahap tertinggi dari cinta, hanya mampu memberi tanpa meminta, maka simbol-simbol cinta tidaklah penting. Atau memang saya telah durhaka. ??????

Tulisan ringan ini meluncur begitu saja. Salam Boy

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Kalo Majalah Tempo punya Goenawan Mohamad sebagai mindmaker dengan produktifitasnya dalam kolom catatan pinggir,rasanya gak salah kalo kita tobatkan eh nobatkan kawan kita Boy sebagai semacam "Goenawan Mohamad"nya blog Sosektaers.Semakin sering posting tulisan,pasti analisis makin tajam bisa2 nyaingin Sudjatmoko sang pendekar pemikian.Btw,koreksi komentar dikit soal postingan mu Boy.Gak usah risau dgn makin berkurangnya animo pribumi terhadap budayanya sendiri.Eufimismenya,semakin kita tinggalkan,semakin bangsa2 lain mengadopsi dan "mengawetkan" budaya kita.Maka jangan marah kalo nantinya semua jenis dan aneka budaya kita dipatenkan malaysia,singapura,belanda,USa,dll,dan kita menukarnya dengan SENI BERHARGA MURAH DAN MELANKOLIS MACAM MELLY GOESLAW,SAMSON,UNGGU,ST12,DLL(diwaktu yg sama:REOG PONOROGO,TEMPE,TAHU,LAGU RASA SAYANGE...AMBLAS DIPATENKAN BANGSA LAIN).Makanya...temen2 sekantor sangat aneh melihat bos yang WNA Prancis..fasih bahasa Jawa Kromo Inggil dan pandai main wayang...apakah ini tanda2 akhir jaman buat budaya kita kah? (pake "kah" biar kayak org balikpapan)...Last but not least...Two tumbs up for You Boy...! nice opinion

Anonim mengatakan...

Dear Boy,

Membaca tulisanmu kayaknya anda sedang mengutuk diri sendiri.
Dan anda tidak berdaya menghadapinya??
Pasar Boy...?? Itu yang menuntun kita. Budaya pun ditentukan oleh pasar. Sangat masif!!
Dan media sekarang mayoritas dikuasai oleh konglomerasi. Jadi wajar terjadi subordinasi budaya yang tidak sesuai pasar tidak akan ditampilkan oleh media. Hanya yang memberikan profit aja yang akan diekspos secara terus menerus sampai masyarakat muntah2.
Jadi?? Jangan salah nanti ramalan berabad2 yang lalu " Wong Jowo kari sejodo" akan jadi kenyataan.
Nanti semua enggan menggunakan nama jawa, menyanyikan lagu jawa, atau yang hal2 yang bersifat keaslian budaya lokal.
Selamat datang babak baru peradaban indonesia.

SAI'96

Jewelholic mengatakan...

hal ini mengingatkan saya pada waktu saya tinggal di oz. kebetulan disana ada toko yang kulakan barang2 ukiran dari jepara, toko ini bernama Javastyle. pemiliknya orang bule, dan bisa berbicara bahasa indo sekaligus jawa (menurut suami saya, karena yang punya toko ini pernah mampir kekantor suami saya).

waduh harga yang dijual untuk ukir2an ini selangit, paling murah $250, dan itupun untuk sebuah meja kecil yang sudah didiskon sebesar 25%. mengingat upah pengerjaannya ditanah air gak bakal sampe $100.

yang bikin saya muntab alias marah, waktu yang punya toko ini menggelar acara diskon untuk furnitur2 ukiran yang dijual dengan cara pasang iklan di tv, dan backgroundnya musik2 dari negeri tiongkok.

saya langsung buka internet, search alamat email dia, dan ternyata ketemu. dan langsung via email tersebut saya caci maki sipemilik toko, saya bilang, kalo dia bisa impor barang jawa kenapa gak sekalian musiknya?? penghinaan sekali terhadap budaya kami. akhirnya besok paginya, saya nonton tv, iklan tersebut muncul lagi, tapi musiknya dihilangkan :D jadi benernya kalo kita teriak mereka sendiri juga takut kok, karena kita ada landasan hukumnya, dan memang orang sana mainannya lawyer.

dan jangan salah, di canberra (yang saya tau)... resto2 asia yang pemiliknya sebagian besar adalah orang tiongkok telah memasukkan masakan indo seperti sambal belacan, gado2, rendang padang, ayam betutu sebagai makanan vietnam atau chinese...kalo yang ini saya belum tau mainan hukumnya seperti apa, karena kejelasan paten produk2 ini entah dimana.