Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Minggu, 22 Februari 2009

KOPI



Tulisan ini saya buat sudah lama pada waktu saya berada di Canberra kemarin, sekedar ingin berbagi apa yang timbul dibenak saya kala itu, cheers....


Kapan itu, hesthi beli kopi dipinggir jalan…ya…seperti warung lah, yang jual cuman buka tenda dan meja kecil dengan perabotannya. Kopi ini gak hesthi minum ditempat tapi, dibawa sambil menuju ketempat kuliah yang jaraknya juga aduhai.

Kenapa kok akhirnya gelas kopi ini sempat hesthi potret? Karena mengingatkan hesthi sama penjual kopi diwarung2 pinggir jalan ditanah air beta, penjual kopi di warung nasi rawon depan pasar dinoyo, penjual kopi di daerah gajayana dan sumbersari, belum lagi penjual kopi didalem pasar dinoyo dan pasar kawak madiun.

Benar2 beda ya….disini semua jualan dikemas dalam bentuk menarik dan berkualitas, mau minum saja lho kok ya elegan sekali, tutupnya disesuaikan dengan kebutuhan dan bentuk bibir si konsumen. Panasnya kopi juga disesuaikan…denagn kata lain tidak terlalu panas sehingga konsumen bias langsung minum. Bikinnya juga cepat dan tangkas…pake alat modern dong, supaya pembeli tidak menunggu lama (padahal nunggu lama juga rela kok, apalagi kalo yang jual cakep), si penjual juga pake kaos tangan dengan alasan higienis, sebelum gelas ditutup, diatas kopi diberi taburan coklat yang padahal juga gak ada efek apapun sama rasa kopinya. Harganya padahal lumayan juga lho, satu gelas kopi kecil sekitar $2, kalo yang besar $3.50, tapi bagi kami disini, harga segitu ya…nothing lah dibandingkan penghasilan kerja seminggu antara $500-600.

Mari kita bandingkan dengan kampung halaman, pertama kali yang kita lihat adalah wajah2 lusuh para kuli dan tukang becak plus hawa rokok dimana2, belum lagi penjualnya seringnya ibu2 dengan berat badan yang berlebih dengan kebayanya yang asal pake…habis bangun pagi sih….cara jualnya pun tidak mengindahkan higienitas, setelah comot2 makanan dengan tangan indahnya, tuker2an duit dengan pembeli yang lain kemudian bikin kopi…..2 sendok makan penuh kopi dan gula, ditaruh digelas panjang, diseduh dengan air termos…yang termosnya pun bisa dibilang sudah tidak layak pakai, setelah itu gelas ditaruh diatas lepek dan selanjutnya disajikan. Tidak ada senyuman manis nan menawan seraya bilang “have a good day” atau “thank you, enjoy your coffee”, apalagi taburan coklat diatas kopi. Si pembeli kopi akhirnya disajikan kerepotan akan panasnya kopi bikinan ibu endut, serba salah dan susah…pengen diminum saat itu juga tapi dengan resiko bibir seksi bak Angelina Jolie. Jadi terpaksalah kopi ditaruh dilepek dulu, sambil bibir dimonyong2kan sepanjang mungkin supaya minumnya jadi sedikit2. Belum lagi setelah minum harus bersih2 bibir dan mulut, jangan sampe kalo ketawa lebar nanti sisa2 kopi masih ketinggalan disana….malu lah. Dari segi harga…..aduh…jangan sampe mahal ya, penghasilan seminggu juga berapa, itu saja dicari dengan berdarah2. Si penjual juga pasrah dengan harga segitu2 saja, yang kalo dikurskan ke dollar australia, hampir gak ada 50 sen, apa mau dibayar plus bonus misuh2 dari pembeli? Belum lagi kalo yang beli preman pasar, mau tambah bogemnya juga? Masih untung dagangan laku, dengan arti kata, ada harapan hidup dan makan untuk hari besok.

Mengingat kampung, jadi sedih kalau melihat dan merasakan perbedaan2 ini yang notabene kita ini masih jauh sekali mencapai pemerataan kesejahteraan. Tapi ada rasa kangen juga, melihat semua sisi tradisional orang2 kita sendiri, bikin kita tertawa karena kelucuannya sekaligus turut prihatin atas roda kehidupannya.
cheers
hesthi

4 komentar:

Anonim mengatakan...

tapi di canberra kan gak ada gorengan ya mbak hesti.....
di tempat kita hal seperti higienitas dan estetika masih nomor keberapa gitu.....yang penting rasanya...tul gak...ngangenin ..(rachman)

Anonim mengatakan...

Hesti,
Buat Indonesia dan negara dunia ketiga lainnya,kedai kopi sebenernya tulang punggung ekonomi informal sebagian masyarakat kita.Bgm tdk,lha wong pembeli bisa kasbon alias ngutang dan bisa cangku'an ngalor ngidul disitu sabil colak colek mbak2nya (he..he..he..).Dah gitu harganya terjangkau dg kocek org kebanyakan,right?
Saya justru worried kl kemasan kopi di Indonesia mengintrodusir seperti foto yg Hesti tampilkan.Krn itu bisa jd sinyal buruk berpindahnya aset (acceptability omset)dari rakyat jelata (pemilik warteg dan kedai kopi se antero nusantara) ke segelintir elit pemilik modal (owner,franchisee,etc).Itu yg sudah terjadi di pusat2 bisnis macam di Jakarta,tempat dimana kedai kopi pinggir jalan harus berhadapan dg Starbuck.Kalo Starbuck akhirnya memenangkan persaingan lawan kedai kopi,lha emangnya Starbuck bisa diutangin?harganya terjangkaukah utk bisa dibeli sm pegawe office boy?aahh..mau ngopi aja jadi repot ya...Bu..Bu...honey...buatin kopi bwt papah sayang !

@Rachman...
gorengan bs menyebabkan kanker man...waspadalah...waspadalah....

Anonim mengatakan...

itu kalo penggorengan kali man
rachman

Jewelholic mengatakan...

to mas lukman, eits...jangan salah...justru kopi yang ini (yang hesthi minum itu) justru kopi yang setara dengan kalo kopi ibu2 warung yang suka dikasbonin...disana juga ada starbucks...tapi tentu dia berdiri sendiri..kemasan juga hampir sama, meskipun harga jauh beda..kalo yang biasa (ukuran kalo di indo standar warung lah itu $2, tapi kalo model2 starbucks $9)...begitu. masalahnya di indo ini pengusaha kecil tidak didukung penuh oleh pemerintah, dipersulit dari segala hal, sampe trade mark yang ditunda2 dengan alasan, ahlinya dari pemerintahan belum ada untuk meneliti keabsahan produk itu. kalo di canberra, justru yang kecil2 ini diberdayakan, yang direstricted justru produk luar macam starbucks, makanya starbucks disana sepi, bakulan macam yang hesthi beli justru rame...

to mas rahman, enggak ada gorengan mas...semua harus sehat, gorengan kan banyak minyaknya tuh...lah kita ini orang kan seneng minyak yang ndledek2 gak karuan itu, justru itu nikmatnya je....hehehehe....