Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Rabu, 02 Februari 2011

Menjadi Korban 30 Tahun-an, Mau...? (Renungan buat kita yang masih dijajah oleh pekerjaan)

Pengantar :
Ternyata ada satu kesamaan yg unik antara gejolak di Mesir yang terjadi saat ini, dengan Reformasi 1998 di Indonesia dan masa kerja kita menuju masa pensiun. Kesamaan sederhananya adalah, bahwa keberanian untuk "memerdekakan" diri ternyata umumnya dilingkungan kita membutuhkan waktu 30 tahun.Akankah kita terjajah dalam kerangkeng dunia kerja selama 30 tahun juga ?

Nah, dalam konteks di atas itulah, maka dalam kesempatan ini saya mohon ijin untuk menampilkan tulisan utuh dari Bpk.Muhaimin Iqbal berjudul "Menjadi Korban 30 Tahun-an, Mau...?" sumber asli dari tulisan ini saya dapatkan dari
Semoga dengan ditampilkannya tulisan ini di blog kita tercinta dapat membuat kita belajar bersama dan memiliki persiapan diri yang lebih baik daripada generasi pekerja yang terdahulu.
Berikut tulisan lengkapnya, selamat menikmati.
Salam, Luqman (Sosektaers Unibraw,1996)

==============
Menjadi Korban 30 Tahun-an, Mau...? PDF Print E-mail
Oleh Muhaimin Iqbal
Rabu, 02 February 2011 07:14

Hari-hari ini Mesir bergolak karena rakyat sudah tidak tahan lagi dengan tirani 30 tahun yang mereka derita dalam rezim Hosni Mubarak. Mereka mungkin belajar dari Indonesia tahun 1998 – ketika kita waktu itu mengalami hal yang serupa untuk periode rezim yang kurang lebih juga mirip yaitu 32 tahun. Pertanyaannya adalah mengapa baru setelah 30 tahun-an orang berani melakukan perubahan ?. Inilah yang terjadi di kita pada umumnya, kita hidup bersama gajah di ruang tamu kita – tetapi kita enggan untuk mengusirnya.



Bukan hanya rakyat Indonesia atupun rakyat Mesir, tidak sedikit pekerja yang merasa tertekan dan terjajah dalam pekerjaannya – tetapi sebagian besar mereka baru bisa memerdekakan diri juga setelah 30 tahunan – yaitu setelah pensiun. Bila Anda mulai bekerja pada usia 23 tahun dan pensiun pada usia 55 tahun, maka Anda bekerja selama 32 tahun – setara dengan satu rezimnya Orde baru atau rezimnya Mubarak !. Maka alangkah sayangnya bila di usia terbaik Anda tersebut – Anda tidak merdeka untuk berbuat yang terbaik menurut Anda sendiri.



Lantas apa faktornya yang membuat orang harus menunggu 30 tahun-an untuk bisa ‘merdeka’ ?. Pertama tidak banyak yang punya keberanian, di Indonesia misalnya sudah ada gerakan mahasiswa yang berani menentang pemerintah sejak tahun 70-an ; tetapi jumlah mereka saat itu kurang banyak sehingga mudah ditumpas.



Kedua karena tidak banyaknya dukungan, keberhasilan gerakan mahasiswa tahun 1998 adalah juga karena banyaknya dukungan masyarakat luas dan para tokoh-tokoh masyarakat. Saya ingat saat itu bahkan ada seorang ibu yang setiap hari membungkusi nasi untuk dikirim ke anak-anaknya dan temen-temen anaknya yang berhari-hari demo di Senayan. Hal ini tidak terjadi di tahun 1970-an.



Ketiga adalah karena complacency – orang merasa puas dengan apa yang ada sehingga enggan melakukan perubahan. Orang-orang yang merasa diuntungkan dengan adanya rezim yang ada baik di Indonesia sampai tahun 1998, mupun di Mesir sampai sekarang – tentu mereka tidak senang dengan arah perubahan yang ada – dan mereka inilah yang menjadi penghalang atas upaya perubahan itu.



Tiga faktor keberanian, dukungan dan complacency tersebut ternyata juga menjadi penyebab yang sama seseorang bisa ‘terjajah’ dalam pekerjaannya selama 30 tahunan sampai pensiun.



Banyak sekali pekerja yang tidak nyaman dengan pekerjaannya, tertekan karena harus melaksanakan sesuatu yang tidak sejalan dengan hatinya – tetapi sebagian besarnya tidak cukup keberanian untuk melakukan perubahan, baik secara internal di dalam lingkungan tempat bekerja ataupun melompat keluar dan menciptakan pekerjaannya sendiri. Dalam sebuah seminar di Surabaya baru-baru ini, teman pembicara saya dengan semangat ber-api-api menyerukan ditinggalkannya riba – tetapi tanpa sadar dia sendiri masih bekerja di institusi yang ‘mbah’-nya riba dan belum cukup keberanian untuk meninggalkan institusi tersebut.



Lingkungan dekat juga tidak selalu mendukung karena istri , anak-anak, apalagi orang tua dan para mertua Anda – mungkin akan menjadi penentang pertama ketika Anda mengutarakan niat keluar dari pekerjaan untuk berwiraswasta. Bagi orang-orang generasi orang tua kita dan generasi para mertua kita – yang masih terimbas pengaruh feodalisme, menjadi priyayi atau pegawai adalah pekerjaan yang terbaik menurut mereka. Mereka akan cenderung enggan memberikan dukungan pada anak dan menantunya untuk mulai merintis usahanya sendiri.



Penyebab ketiga Complacency umumnya diderita para pekerja yang sudah mapan, karena umumnya untuk mereka ini semua biaya ditanggung perusahaan, semua urusan ada yang membereskan – maka mengapa mau bercapek-capek mulai segala sesuatunya dari nol ?.



Bulan pertama saya berwiraswasta misalnya adalah bulan yang sangat kacau, saya bahkan tidak tahu membayar telepon, air, listrik kemana. Ini karena selama lima belas tahun semua diurusi oleh kantor tempat saya bekerja. Belum lagi masalah kesehatan , pajak, asuransi dlsb. tiba-tiba menjadi urusan sendiri – yang selama ini tidak pernah mengurusnya.



Terlepas dari berbagai permasalahan tersebut, saya bersyukur bisa ‘memerdekakan’ diri lebih cepat dari temen-temen seangkatan kerja saya. Saya tidak harus menunggu 30-an tahun bekerja sampai pensiun – baru merdeka dari pekerjaan-pekerjaan yang tidak sepenuhnya sejalan dengan hati saya.



Jadi masihkah Anda akan menunggu sampai usia pensiun untuk bisa ‘merdeka’ dan memulai berkarya di perusahaan Anda sendiri – yang bisa jadi ada di cita-cita Anda sedari muda ?. Kini mungkin waktu yang tepat untuk Anda mulai memikirkannya secara serius. Berpikirlah seperti rakyat Indonesia tahun 1998 dan rakyat Mesir sekarang, bahwa kita bisa ‘merdeka’ sekarang !. InsyaAllah.

=======================


noted :
Buat teman2 Sosektaers yang ingin diskusi banyak perihal investasi Emas secara umum dan investasi Dinar Emas secara khusus berikut teknikal dan strateginya, temans bisa sharing ke saya via media komunikasi yang tersedia dengan mengklik ---> contact

Kamis, 20 Januari 2011

Akhirnya terungkap, mengapa kita harus mengamankan tabungan dlm bentuk emas


Dear Temen2 Sosektaers, untuk mengisi kekosongan blog kita tercinta ini, berikut saya sajikan tulisan dari milis sebelah yang ditulis oleh Bpk.Endy Junaedy Kurniawan salah seorang praktisi investasi Dinar Emas di Indonesia.

untuk mendapatkan akses informasi terkait dinar emas, teman2 bisa kunjungi lapak online distribusi dinar emas milik saya dengan mengklik link di Forum Jual Beli Kaskus
atau bisa menghubungi saya via chatting ym dengan mengklik icon YM "hansip" disamping kanan.
Atau menghubungi kontak saya dengan mengklik-->contact

Ok,temans..berikut tulisannya :)
Salam, Luqman Setiawan (Sosektaers'96)

ANCAMAN DEINDUSTRIALISASI : AYAM (JANGAN) MATI DI LUMBUNG PADI

Written by Endy Junaedy Kurniawan


Assalamualaikum

Saya sering menerima masukan bernada kritik bahwa menyimpan emas termasuk kategori menimbun harta, sementara menimbun harta itu dilarang karena membuat harta tak beredar untuk menggerakkan ekonomi, dan ujungnya dikhawatirkan memiskinkan sebagian masyarakat. Islam melarang penimbunan harta, tidak ada keraguan.

Jawaban awal yang bisa dikedepakan untuk hal ini sebenarnya adalah adanya perintah zakat, anjuran infaq, shadaqah dan wakaf harta. Islam mengatur ini karena pasti selalu ada bagian harta kita, atau selalu ada sebagian masyarakat, yang mendiamkan hartanya. Maka zakat, infaq, shadaqah, wakaf (juga qardun hasan/pinjaman baik – pinjaman tanpa imbal hasil apapun, dan semata-mata untuk tujuan menggerakkan ekonomi masyarakat) adalah semacam ‘flushing’ di peredaran darah ekonomi, agar harta macet di simpul arteri bisa berjalan kembali.

Dengan mekanisme ini, ekonomi menjadi seimbang kembali, dan pihak-pihak hepi. Terangkat derajat dan kesejahteraannya bersama. Selalu ada gap antara yang miskin dan yang kaya, tapi jaraknya tipis saja. Pada jaman Umar ibn Khattab dan Umar bin Abdul Aziz tercatat, level ekonomi terbawah terkikis habis, sehingga sulit salurkan zakat, bukan karena tak ada muzakki, tapi justru tak ada mustahik. Level ekonomi menengah tetap ada, tapi mereka bukan objek penerima zakat dan jaminan negara. Sehingga di masyarakat, bagian piramida terbawah hilang. Jumlah terbesar ada di level menengah, dan sebagian kecil di level atas.

Bandingkan dengan fakta yang ada di masyarakat sekarang. Menurut Ust. Dr. Irfan Syauqi Beik, potensi zakat Indonesia Rp 100 Trilyun per tahun (dunia : Rp 6 ribu Trilyun), baru terkumpul 1,5% - nya atau hanya Rp 1,5 Trilyun. Angka ini jelas belum mampu menjadi solusi kemiskinan dan pengembangan taraf kehidupan separuh lebih penduduk negeri ini yang berada di bawah garis kemiskinan. Hasil litbang Kompas yang dikutip geraidinar.com menyebutkan penduduk miskin dengan pengeluaran USD 2 – 4 per hari berjumlah 59,24% atau 146,3 juta jiwa. Ini mendekati angka World Bank yang menyebut angka 170 juta jiwa, dan 3 kali lipat lebih dibandingkan angka versi pemerintah yang meng-klaim ‘hanya’ 30 juta penduduk miskin.

Apakah memang menyimpan emas termasuk menimbun harta? Jika kewajiban ziswaf ditunaikan dan menjadi kesadaran kolektif sehingga potensi sebesar Rp 100 Trilyun per tahun di negeri ini benar-benar dapat digalang, menurut saya tidak ada celah untuk saling menyalahkan. Itu baru tentang zakat, PR pertama kita.

Ada hal lain, seringkali muncul desakan pertanyaan berikutnya : “Harta masyarakat harus lebih banyak mengalir lewat lembaga keuangan dan perbankan, agar ekonomi bisa bergerak lebih cepat. Jika menyimpan emas, ini tak terjadi.”

Saya harus tanya balik untuk memastikan yang bertanya tahu keterhubungan langsung jumlah dana yang kita tabung dengan produktivitas ekonomi. Jika kita menabung atau menyimpan sejumlah uang di bank, berapa dari jumlah itu yang akan mengalir untuk membiayai roda ekonomi sehingga menyebabkan pertumbuhan?

Sekitar 10%-15% jika Anda tabung di bank konvensional.
Atau mencapai 70% jika Anda tabung di bank syariah.

Saya mesti bilang Anda yang menyimpan uang jutaan bahkan milyaran rupiah di bank-bank konvensional sebagai orang yang dzalim yang merugi, apalagi jika tak keluarkan zakatnya. Dzalim karena uang itu kecil sekali yang menetes ke level ekonomi di bawah untuk jadi modal usaha dan lainnya, dan inilah sebenarnya hakikat menimbun harta. Rugi karena return-nya tak memadai, kalah dari laju inflasi : naik 6% - 8% per tahun saja, melawan inflasi yang mencapai rata-rata 10% (6% inflasi umum dan 12% inflasi kebutuhan pokok). Berdosa pula karena tak tunaikan zakat. Lebih-lebih tak barakah (bertambah) karena tak keluarkan shadaqah.

(Untuk diketahui, masyarakat kita juga masih ‘tak adil’ dalam berzakat. Mereka sibuk bertanya nishab-haul zakat hanya ketika simpanannya emas, padahal tabungan, deposito dan simpanan lainnya di bank juga adalah objek zakat)

95% dari total uang beredar di muka bumi digulirkan, digandakan segelintir pihak, menciptakan gelembung uang yang semu di sektor keuangan, bukan di sektor riil yang berarti memperbesar produksi untuk mengimbangi konsumsi.

Maka sebetulnya sungguh aneh, di tengah melesatnya IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan), mengalirnya Hot Money dari luar Indonesia ke bursa semenjak pertengahan 2010, kemudahan memperoleh kredit (konsumtif) di tengah masyarakat, Indonesia sendiri terancam de-industrialisasi. Sinyal kekhawatiran ini dikirim sendiri oleh Bank Indonesia, berikut dampaknya : turunnya nilai tambah industri nasional, tergerusnya aktivitas perekonomian, pengangguran dan kemiskinan.

Banyak sekali fakta negatif diluar sana. Bayangkan, non-productive loan, semacam kredit usaha yang telah disetujui, parkir sebesar puluhan trilyun di bank. Ini terjadi juga di banyak negara, terutama Amerika. Kredit itu seharusnya mengalir menjadi tambahan modal di sektor industri untuk menggerakkan ekonomi, tapi tak jadi, karena kekhawatiran akan resiko usaha, dan penerima kredit merasa lebih untung dan pasti mendapatkan keuntungan (berupa bunga) dengan cara membuat dana itu parkir di bank. Atau di-investasikan di sektor keuangan, bukan di sektor riil.

Di sisi lain, pengusaha kecil sulit sekali mendapatkan dana pinjaman. Padahal mereka sangat membutuhkannya untuk perluasan usaha, ekstensifikasi market dan penambahan tenaga kerja. Melihat dua fakta diatas, sungguh tak adil. Situasi ini disebabkan oleh rendahnya dukungan sektor perbankan dalam pemberian kredit ke sektor industri. Fokus mereka masih di sektor jasa keuangan, yang tak berhubungan langsung dengan penyerapan tenaga kerja dan tersedianya produk yang murah di pasar.

Selama 2010, pertumbuhan industri hanya 4%, tertinggal dari pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6%. Angka pengangguran bertambah. Di pasar, pelaku usaha lebih mudah dan murah memperdagangkan barang impor (terutama dari Cina) daripada memperjualbelikan hasil industri dalam negeri yang justru lebih mahal dan tak terjangkau harganya oleh pembeli. Cina dan India, dua negara yang sama potensinya (persentase kapasitas tersimpan) dengan Indonesia dalam hal sumber daya manusia/tenaga kerja adalah dua negara yang mampu menyeimbangkan kemampuan produksinya daya beli pasar. Sementara Indonesia, seperti diakui Menkeu pada awal dilantiknya, 70% aktivitas ekonominya digerakkan oleh sektor konsumsi.

Maka sebetulnya persoalan tak sesederhana ketika kita melontarkan ‘tuduhan’ bahwa menyimpan emas berarti telah menginisiasi mandeg-nya perekonomian.

Kesadaran ber-zakat, infaq dan shadaqah masyarakat masih sangat rendah (meski terus meningkat tiap waktu), di sisi lain kebijakan perbankan yang tak mendukung sektor riil, adalah dua sebab yang paling sistemik menyebabkan banyak persoalan ekonomi.

Masyarakat punya logika dan pertimbangan sendiri ketika memutuskan apakah menyimpan emas ataukah tabungan untuk keperluan penyelamatan asset pribadi.

Mereka akan memilih yang terbaik dari sisi proteksi untuk melindungi simpanan dari ancaman inflasi. Mereka memerlukan simpanan yang melindungi Rupiah yang setiap saat bisa tak bernilai karena dibenamkan depresiasi nilainya terhadap mata uang asing. Mereka mementingkan likuiditas (kemudahan dalam mencairkan ketika memerlukan dana tunai) saat ada kebutuhan mendadak ataupun perlu tambahan modal usaha.

Semua jawabannya ada pada simpanan emas. Bukan simpanan di produk perbankan.

===================================================================
noted :
Buat teman2 Sosektaers yang ingin diskusi banyak perihal investasi Emas secara umum dan investasi Dinar Emas secara khusus berikut teknikal dan strateginya, temans bisa sharing ke saya via media komunikasi yang tersedia dengan mengklik ---> contact

Rabu, 05 Januari 2011

The REAL DIAMOND

Sering kita denger, ungkapan DIAMOND is DIAMOND

Diamond ato berlian adlh barang berharga, bernilai tinggi,....dmnpun dia berada, sekalipun di dasar bumi, dasar lautan bahkan dicomberan sekalipun, ketika dia diangkat tetaplah diamond

Itulah kualitas pribadi kita, kl kita pribadi yg berkualitas, dlm arti kompetensi kita tinggi, attitude kita terjaga, mk dmnpun lingkungn.kita, seburuk apapun itu, kita tetaplah pribadi yg mengesankan,..spt layaknya diamond,..mk setiap org layak dan hrs berlomba2 menjadi pribadi yg berkualitas,..

Tp sadarkah kita bhw berlian yg bernilai tinggi itu ada krn kerja keras penambang yg menemukannya, diolah oleh para pekerja pabrik dan diberi sentuhan seni oleh para perancang bercita rasa tinggi,..hingga sampe pada para penikmat seni lewat para pemasar dan tersimpan elegan dlm ruangan terhormat

Itulah kita kawan, pribadi kita yg berkualitas tdk akan berguna tanpa sentuhan tangan dan pribadi yg hebat,....

Siapakah mereka??merekalah org tua kita yg melahirkan kita ke dunia, merekalah guru2 kita, keluarga, saudara kita, sahabat kita, rekan2 kita dmnpun itu, sekolah kita dulu, lingkungan rumah kita dan tempat kerja kita...merekalah yg tiada henti mengasah dan memberi nilai pd pribadi kita,....

Tanpa mereka kita tetaplah diamond yg ada di dasar bumi

Maka berterima kasihlah pd mereka, sayangi, hormati mereka, jaga martabatnya dan bantulah mereka dan jadilah THE REAL DIAMOND

Ahmadi Addy (BoY)

Kamis, 30 Desember 2010

Siapa bilang saya tidak nasionalis??

Menggelitik rupanya bagi seorang Panji, pemuda kelahiran sebuah desa di ujung Pulau Jawa bagian timur ketika dia mendengar seorang anak kecil bertanya kepadanya “Wasior itu Indonesia??”. Ya dengan adanya televisi yang menjangkau wilayah pedesaan maka seperti kita memiliki kaca pembesar yang mampu memperlihatkan kepada kita, hal-hal yang semula tersembunyi.

Banyak penjelajahan yang dilakukan oleh industri media ini hingga ke pelosok tanah air, sehingga semakin membuka wacana kita bahwa nusantara ini begitu luasnya. Tentunya semakin luas wilayah maka semakin kaya akan potensi yang dimilikinya. Entah siapa yang paling bertanggung jawab atas pemersatuan nusantara ini, Gajahmada, mahapatih Majapahit yang melakukan penaklukan nusantara lewat Sumpah Palapa atau bangsa Belanda yang mampu diangkat oleh para pendiri bangsa sebagai musuh bersama yang membangkitkan semangat kebersamaan.

Kita patut berbangga pada generasi tua kita yang telah berjasa menyatukan nusantara dari daratan Aceh hingga Tanah Papua. Ada ratusan suku, ribuan bahasa dan jutan species yang numpang hidup di ibu pertiwi ini. Tak mudah jalan yang mereka tempuh untuk membangun negeri ini. Hanya orang2 yang memiliki visi dan kegilaan yang luar biasa yang mampu melakukannya,…

Sebagai seorang pemuda yang lahir pada masa kini, Panji dibesarkan oleh penuturan sejarah bangsa ini dari orang tuanya, guru dan buku-buku karena memang dia bukan pelaku sejarah awal perjuangan bangsa ini. Maka sebagaimana pemuda yang lain, dia masih agak bingung dengan rasa nasioanalisme. Ini soal rasa bukan sekedar kata-kata bahwa saya cinta tanah air. Seperti tak ada yang menuntut bahwa Panji harus mencintai Indonesia, sebagaimana kekasih Panji yang sedang berada di kota lain yang selalu menuntut Panji untuk mencintainya dan setia padanya. Karena adanya tuntutan itulah yang senantiasa diucapkan berkali-kali dan adanya rasa yang sebaliknya maka cinta itu tumbuh subur kian hari. Ya itulah itulah Panji, tiba2 angannya melayang2 karena pertanyaan anak kecil tadi, memikirkan betapa luasnya Indonesia dan betapa susahnya perjuangan para pendahulunya,..Hingga dia membuat kesimpulan kalau bukan cinta yang menggerakkan mereka untuk berjuang, apalagi??

Tak ada yang menuntutnya untuk mencintai bangsa ini, dia terlahir begitu saja, kemudian tumbuh menjadi anak2, bermain, belajar kemudian tumbuh dewasa dan menyukai lawan jenis, sekarang Panji telah lulus kuliah, bekerja di sebuah perusahaan bagus, memiliki seorang kekasih yang siap dinikahi. Hidup yang menyenangkan rupanya. Tak ada yang salah, Panji dulu juga aktif di organisasi kemahasiswaan, sering ikut kegiatan, dan sebagai pemeluk Islam yang baik, dia menjalankan ajaran agamanya semampunya dengan penuh kegigihan, termasuk di dalamnya berinfaq dan membayar zakat sebagai kewajibannya. Dan membayar pajak tentunya lewat perusahaannya,…hehehe.

Hingga pertanyaan menggelitik hatinya, apakah saya ini orang yang mencintai Indonesia, kalau iya, apa buktinya?? Sering waktu kecil dulu, berulang kali dalam pelajaran sejarah, gurunya mengatakan perkara cinta tanah air, hingga ketika kuliah sering mendengar kata nasionalisme,…Tapi Panji-pun sampe saat ini belum bisa menjawab pertanyaan seberapa nasionalis-kah dirinya. Walau begitu kadang darahnya sempat naik ketika pernah ikut berdemontrasi kala mahasiswa dikatakan sebagai mahasiswa yang tidak memiliki rasa nasionalisme. Siapa bilang saya tidak nasionalis??

Pertanyaan yang bagi Panji kadang muncul ditengah derita bangsa ini karena bencana alam yang seolah tidak mau pergi, pengkhianatan oleh anak2 bangsa ini, darah saudara kita yang tertumpah di negeri orang, dan lain banyak hal yang bangsa ini membutuhkan kegigihan anak2 bangsa untuk kembali memperoleh kejayaan dan kesejahteraan sebagaimana para pendahulunya merebut kemerdekaan bangsa ini.

Sebuah pertanyaan besar untuk seorang biasa, Panji serta jutaan pemuda termasuk kita yang mungkin saja bernasib lebih baik atau tidak lebih baik dari Panji.

A Addy Saputra (Boy)



Selasa, 16 November 2010

Ketika Presiden Amerika Menggantikan Bonanza..

Pengantar :

Posting ini adalah salinan utuh dari tulisan Bpk.Muhaimin Iqbal di geraidinar.com , praktisi ekonomi syariah,blogger,dan tinggal di Depok.Dalam posting ini, semoga kita dapat mengambil manfaatnya terkait dengan kebijakan ekonomi Amerika.

Salam,
Luqman Setiawan

Ketika Presiden Amerika Menggantikan Bonanza...



Pada awal tahun 1970-an ketika televisi di rumah saya di kampung masih ditonton orang sekampung, penonton selalu mbludak pada saat penayangan film cowboy Bonanza. Ternyata bukan hanya di Indonesia, di negeri asalnya sendiri – Amerika – serial televisi tersebut juga sangat popular. Maka, mumpung mayoritas orang Amerika lagi di depan televisi – pada suatu malam di tanggal 15 Agustus 1971 – Presiden Amerika waktu itu Richard Nixon – muncul menggantikan episode Bonanza yang di tunggu-tunggu rakyat Amerika.

Pesan penting yang disampaikan Nixon waktu itu ternyata tidak hanya mengejutkan rakyat Amerika – tetapi juga mengguncang ekonomi dunia – sehingga sampai saat ini kejadian tersebut dikenal sebagai Nixon Shock – kejutan Nixon. Sejak saat itulah Dollar yang seharusnya bisa bebas ditukar kembali dengan emas dengan nilai tukar di kisaran US$ 35 – US$ 40 /Oz, menjadi tidak bebas lagi dan tidak ada lagi patokan nilai penukarannya. Pelepasan kaitan US$ dengan emas inilah yang kemudian merombak secara total tatanan keuangan dunia dan melambungkan harga emas hingga kini.

Selama 40 tahun sejak kaitan US$ dan emas dilepas, harga emas-pun melonjak sekitar 40 kali-nya yaitu dari US$ 35/Oz ke US$ 1,400/Oz. Namun bukan hanya kenaikan harga emas dalam jangka panjang ini saja yang diubah oleh kemunculan Nixon yang menggantikan Bonanza tersebut diatas, tetapi secara filosofi uang dunia telah berubah total dari sesuatu yang riil menjadi sesuatu yang semu.

Seolah seperti disengaja, sejak saat itu orang melihat US$ seperti melihat Bonanza atau serial televisi lainnya. Semua penonton tentu tahu bahwa apapun yang ditayangkan oleh televisi di film-film seperti Bonanza tersebut adalah sesuatu yang semu, rekaan semau-maunya oleh sang sutradara – namun tetap saja penonton begitu menikmatinya.

Maka demikian pula dengan US$ ( atau mata uang kertas lainnya), nilainya dengan mudah semau-mau-nya dimainkan oleh pemegang otoritas di masing-masing negeri, tetapi kita semua tetap begitu mempercayai dan menyukainya. Masyarakat dunia tahu bahwa the Fed-nya Amerika misalnya barusan mencetak uang dari awang-awang dengan istilah keren Quantitative Easing - yang berarti seluruh pemegang US$ dirugikan dengan daya beli yang menurun – sebagai ‘penonton’ tetap saja tidak ada yang protes dan tetap saja menikmatinya.

Yang lebih mendasar lagi, uang yang bernilai semu yang dijaman modern ini di trigger oleh Nixon Shock tesebut diatas – kini telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan kita – ikut-ikutan menjadi semu pula. Krisis 1997/1998 di Indonesia misalnya, telah tiba-tiba menciptakan keunggulan competitive yang semu bagi kita – karena tanpa pencapaian apapun – kita tiba-tiba bisa membalik dari defisit di neraca perdagangan menjadi surplus.

Petinggi-petinggi Amerika sampai presiden-nya sekalipun, tidak henti-hentinya menekan China agar menaikkan nilai tukar mata uangnya sehingga ekspor Amerika bisa meningkat dan impor dari China menurun. Sebaliknya China juga tidak dengan mudah mau menaikan nilai mata uang-nya karena bila ini dilakukan akan membunuh daya saing export-nya.

Dengan mata uang yang semu tersebut, daya saing export suatu negara yang seharusnya ditentukan oleh efisiensi industri, inovasi, competency , creativity dan lain sebagainya tereduksi fokusnya menjadi seolah hanya tergantung pada tinggi rendahnya nilai tukar mata uang negara yang bersangkutan.

Solusi yang semu tidak bisa menyelesaikan masalah yang riil, maka kita tidak harus terlena dengan tontonan ‘Bonanza’-nya Amerika. Bersama-sama sebagai bangsa kita harus secara riil berkarya yang unggul, membenahi segala macam peraturan yang menghambat usaha, menekan biaya produksi dengan inovasi dan bukan menekannya dengan ongkos buruh yang rendah.

Kalau toh nilai tukar Rupiah jatuh terhadap US$ ataupun sebaliknya meningkat tajam terhadap US$, janganlah tontonan ‘Bonanza’ ini menjadi fokus kita. Problem kemiskinan dan pengangguran kita adalah riil, maka hanya solusi riil yang kita butuhkan. Wa Allahu A’lam.

Di-update pada Senin, 15 November 2010 08:51 author : Muhaimin Iqbal

Kamis, 11 November 2010

Obama Pulang Kampung

”Sate..Bakso..enak ya!” Tentunya kata-kata ini akan selalu terngiang di telinga kita. Kata-kata yang keluar dari orang nomor satu di sebuah negara adidaya. Masih ada kata-kata lainnya, seperti ”Indonesia adalah bagian dari diri saya” atau ucapan ”Assalamualaikum” di awal dan di akhir pidatonya. Semuanya pasti memberikan kesan baik bagi beberapa kalangan (yang tentunya juga ada beberapa kalangan lainnya yang menganggap ucapan-ucapan itu hanya kamuflase untuk memikat dan mendapatkan simpatik).

Itulah realita yang kita lihat pada saat om Barry Obama ’pulang kampung’ ke Indonesia kemarin. Walaupun Jakarta harus macet karena beberapa ruas jalan ditutup dimana-mana, dan seluruh orang dari berbagai kalangan seperti dosen, pengusaha, pejabat tinggi, dokter, bidan, karyawan hingga mahasiswa dari berbagai daerah rela berjubel-jubel antri untuk masuk ke Gedung Balairung UI sejak pukul 7 pagi demi menyaksikan kuliah umum Obama,dan saya pribadi juga harus merasakan akibat yang disebut ”Obama’s Coming Unfairness” di tempat saya bekerja, namun kedatangannya membawa harapan yang besar bagi bangsa kita. Pidato yang memukau dengan isi yang memunculkan harapan baru bagi setiap orang yang mendengarkan, serta dikemas dengan tampilan yang mempesona membuat semua orang tidak ingin menoleh sedikitpun dari seni panggung yang dibawakan oleh orator ulung ini. Semoga apa yang disampaikan oleh om Barry kemarin dapat dia buktikan, dan dapat menjadi contoh teladan bagi pemimpin negara lainnya. Amiiin....

Fida Meilini
SEA’99

Kamis, 04 November 2010

Sebuah tulisan yang menyentuh dari guru, dosen, atasan, serta sekaligus orang tua bagi saya. Semoga dapat menjadi renungan bagi kita semua, bahwa kita harus bersiap-siap menghadapi masa depan Indonesia dan merubahnya menjadi lebih baik.
Fida Meilini - SEA'99


BERMAIN MATA DENGAN BENCANA (SINDO – 4 NOVEMBER 2010)
RHENALD KASALI

FLIRTING,menggoda atau bermain mata, dengan bencana tampaknya menjadi masalah serius bangsa ini. Bencana,sama seperti lalu lintas di perkotaan, tak pernah tuntas terselesaikan. Ia hanya baru bisa ditangani dengan baik bila manajemen, termasuk manajemen bencana, berada di tangan bangsa ini. Tanpa manajemen bencana Anda hanya akan menyaksikan hal yang sama datang berulang-ulang. Bencana seakan-akan selalu datang tiba-tiba dengan korban ratusan tewas tak dapat diselamatkan. Early warning system tidak bekerja dengan baik dan kalaupun ada selalu diabaikan. Seperti apakah manajemen bencana itu?

Before–During–After
Manajemen bencana terdiri atas tiga fase, yaitu sebelum, selama, dan setelah bencana.Bangsabangsa yang produktif,maju, dan peduli terhadap keselamatan warga negaranya akan fokus pada penanganan ketiganya. Sebaliknya, bangsa yang reaktif hanya fokus pada penanganan pascabencana, yaitu pemberian bantuan kesehatan dan makanan, pembersihan jenazah, penguburan massal,rekonstruksi, dan rehabilitasi. Bangsa-bangsa yang produktif bertindak proaktif dan sangat menghargai knowledge management. Mereka mempelajari tandatanda alam,perubahan-perubahan karakter alam dan cara-cara pencegahan sebelum bencana itu tiba. Berkebalikan dengan itu, bangsabangsa yang reaktif cenderung terlambat bergerak, saling menyalahkan; bukan mengedepankan solusi, melainkan hanya bermain dengan justifikasi. Mereka ini hanya bermain mata dengan bencana, sehingga bencana pun tergoda mendatangi dan mengeruk harta benda dan nyawa manusia. Selama bangsa ini hanya fokus pascabencana saja, hampir pasti hanya rasa frustrasi yang akan datang. Jumlah korban akan tetap sama besarnya.Citra sebagai bangsa yang maju sulit didapat.Jangankan respek, bantuan pun lamalama enggan datang.Nilai manusia yang rendah di mata negara sendiri akan juga diberlakukan rendah di dunia kerja. Lingkaran setan saling menyalahkan jelas harus dihapus hari ini juga. Jumlah korban hanya bisa diatasi jika early warning system hadir dan bekerja dengan baik, konstruksi-konstruksi baru untuk penyelamatan (defence contruction), contingency planning, dan rapid response. Hal seperti ini bisa dengan mudah dilihat di Aceh, tak lama BRR menjalankan tugasnya. Menara-menara penyelamatan dibangun di sejumlah titik, sehingga rakyat dengan cepat dapat dievakuasi pada radius yang dekat. Yang belum kita lihat sampai saat ini adalah mekanisme kerja cepat penanganan bencana. Penanganan ini harus bisa bersifat real-time. Saat bencana terjadi, saat itu juga bantuan tiba. Tidak boleh lagi ada alasan cuaca buruk, ombak tinggi, awan mendung, telekomunikasi terputus, kantor pemerintah daerah ikut terseret gelombang, keluarga aparat pemda ikut tertelan bencana atau alasan-alasan klasik seperti tidak adanya alat angkut yang memadai. Ayo, berpikirlah lebih maju. Kita hidup di tengah-tengah peradaban modern. Payung undangundang penyerahan dana dan bantuan yang bersifat real-time harus segera dibuat. Dalam keadaan darurat, dana tak boleh dijadikan alasan.Ia bisa digeser menjadi prioritas utama. Sekarang yang masih menjadi masalah adalah birokrasi. Saya kira birokrasi Indonesia belum sempat bertobat. Birokrasi jelas harus segera dirampingkan kalau kita ingin bisa segalanya serbacepat.

Persoalan Masyarakat
Manajemen bencana berhubungan erat dengan perilaku manusia. Harap maklum, tanpa pengetahuan yang memadai, manusia lebih banyak mengandalkan intuisi. Rakyat juga sering bermain mata dengan bencana. Manusia punya kecenderungan mengedepankan logika-logika bencana berdasarkan the best story, bukan the best facts. The best story bersifat emosional dan bias sehingga menyulitkan penanganan ke depan. The best story tampak pada bagaimana media mengalungkan simbol keagungan dan leadership pada Mbah Maridjan. Anda lihat sendiri,para pengamat politik dan scientist pun larut ke sana.Padahal kalau Anda kaji lebih rasional, Anda akan menemukan sebaliknya. Mbah Maridjan adalah simbol dari resistance to change dan kealpaan manusia membaca fakta karena latar belakang pendidikannya. Andaikan kearifan perubahan ada pada dirinya, dia tentu akan tetap eksis karena kata kuncinya adalah adaptif, bukan stay in resistance. Apa pun yang dilakukan manusia, bila tanpa manajemen bencana, akan selalu hadir human biases and distortion.Manusia bias karena pengalaman masa lalunya, potensi emosi, serta kealpaannya menghubungkan antara referensi yang dimiliki dengan situasi aktual di lapangan. Manusia cenderung berlebihan (overestimate) terhadap bencanabencana besar yang jarang datang, tetapi mengabaikan (underestimate) insiden-insiden kecil yang datang dan mudah dilupakan. Padahal, kejadian-kejadian kecil itu adalah sebuah ”warning system” yang diberikan alam demi kelestarian manusia. Anda mungkin masih ingat kejadian di Pantai Mai Khao,Thailand, yang dilanda bencana tsunami Desember 2004.Di pantai itu praktis tidak ada turis yang tewas. Padahal jumlah turis asing yang sedang berjemur di pantai sangat banyak. Pasalnya, seorang anak kecil berusia 10 tahun berhasil menyampaikan fakta kepada petugas dan orang tuanya saat ia menyaksikan tiba-tiba air di sepanjang bibir pantai berbuih, lalu airnya surut. Berbeda dengan yang saya dengar di tempat lain, anak ini segera berteriak dan lari diikuti orang tuanya, petugas hotel, dan turis-turis asing. Seminggu sebelumnya,di kelas geografinya, Tilly Smith, gadis berusia 10 tahun asal Inggris itu, baru saja belajar bahwa itulah pertanda tsunami. Di Aceh, ketika air laut tiba-tiba surut dan ratusan ikan menggelepar,para pelancong justru berlarian berebut mengejar ikan. Buat orang di Aceh dan Pukhet, tsunami tak pernah mereka lihat. Bagi mereka tsunami hanyalah mitos. Human biases. Dan terjadilah bencana.Mirip dengan apa yang mungkin ada di kepala Mbah Maridjan.

Aturan Prabencana
Akhirnya, hidup di lingkaran cincin api (ring of fire), mau tidak mau setiap anak Indonesia harus tahu bagaimana menyelamatkan bangsanya dari bencana dan membaca tanda-tanda bencana. Kendati demikian ada lima aturan yang perlu segera ditanamkan. Pertama,jauhkan sikap ”menggoda bencana” dengan kekuatan memahami risiko yang akan dihadapi. Meski datangnya bencanabencana besar di satu titik agak jarang (karena titik itu berpindahpindah), tapi sekali bencana datang probabilitas kerusakannya adalah 100%. Kedua, jangan biasakan menyangkal. Kebiasaan mempertentangkan intuisi dengan ramalanramalan akademik harus segera dijauhkan.Ketiga, bangun pusatpusat penyelamatan dalam bentuk menara-menara pengungsian yang dekat dengan pengungsian, jalan-jalan tembus yang lebar serta pemantauan yang tertata. Untuk daerah-daerah bencana, jelas akses masuk bantuan harus selalu ada dalam keadaan terawat baik. Keempat, beri perhatian pada sinyal-sinyal yang lemah, sekalipun jarang terjadi. Kelima, rampingkan birokrasi penyelamatan sekarang juga. Terakhir, jangan menunda-nunda kegiatan pemberian bantuan dengan alasan atau justifikasi apa pun. Terlepas dari itu semua, manajemen bencana bukanlah subject manajemen pencitraan. Ia murni merupakan anak dari manajemen kemanusiaan yang harus menjadi perhatian manusia dalam peradaban modern.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI