Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Rabu, 24 Desember 2008

SIMPLE THINGS

Oleh Ahmadi Addy S
Coba rekan-rekan perhatikan sekeliling anda, ada berapa banyak orang-orang yang kurang beruntung seperti fakir miskin, anak jalanan, pengemis atau orang yang tersesat. Pernah anda bayangkan hanya dengan beberapa receh uang logam telah menyelamatkan mobil kita dari goresan pengamen/anak jalanan yang usil karena tidak dikasih uang. Atau sebungkus nasi yang kita berikan kepada fakir miskin, yang hanya menyelamatkan dirinya dari kelaparan hari itu saja, tapi lihat ekspresi wajah dan tubuhnya ketika menerima pemberian kita itu. Atau menununjukkan arah kepada seseorang yang tersesat, saya yakin energi yang kita butuhkan tidak lebih dari kalori yang dihasilkan sebutir kacang.

Pernah datang melayat kepada seseoarang yang ketika ditanya rata-rata orang menjawab, dia orang baik. Dikatakan baik hanya gara-gara setiap bertemu orang dia selalu tersenyum dan menyapa. Hanya itu saja dikatakan baik. Tidak perlu membangun sekolah, menyumbang keramik untuk masjid, atau bagi-bagi uang ketika mau lebaran.

Suatu ketika anda datang kepada teman karib atau pasangan anda dengan segudang persoalan hidup entah pribadi, keluarga, pekerjaan. Anda menumpahkan semua kepada teman/pasangan anda. Padahal anda tahu temen/pasangan anda bukan ahli dalam persoalan itu dan ternyata dia hanya mendengarkan saja dengan seksama tentunya. Tak ada saran atau nasihat canggih layaknya psikolog, konsultan keuangan, yang keluar dari mulutnya hanya, gitu ya, yang sabar ya, kamu pasti bisa, paling canggih hanya apa yang bisa saya bantu?. Itu saja. Tapi itu cukup bagi anda bukan. Hanya ada mau mendengar. Temen anda atau pasangan anda tidak perlu sekolah tinggi, mencari gelar doktor atau phd untuk membantu anda.

Semua hal diatas adalah sederhana bagi kebanyakan anda yang membuka blog ini, uang receh, sebungkus nasi, senyuman, pendengar yang baik karena mustahil anda bisa membuka blog ini kalau hanya punya uang recehan, berpenghasilan hanya cukup membeli sebungkus nasi. Tapi lihat pengaruhnya jika kita melakukannya.

Semua asal adalah dari yang sederhana, kita tercipta dari pertemuan organ satu sel, sperma dan sel telur, organ primitif, berkembang menjadi organ super komplek. Lihat bagaimana penemuan kapal terbang, komputer, mobil, internet, susu rendah kalori, makanan kaleng semua dari ide-ide sederhana dan berawal dari impian.

Berangkat dari ide sederhana tentang pembuatan blog untuk komunitas sosek unibraw ini sebagai sarana meretas kembali silaturahim yang sempat terganggu, saya sangat menaruh respek kepada sang kreator, designer, temen-temen yang sekedar berkunjung, yang menulis, yang mengisi kotak tamu dan yang menginformasikan kepada temen-temen lain.

Dalam setiap kesempatan saya buka internet saya selalu membuka blog ini, hanya sekedar melihat ada apa disini, siapa yang menulis, kadang tidak penting apa isi tulisan itu, justru yang terbayang adalah penulisnya, sekarang dimana, kabarnya bagaimana, teringat dulu seperti apa, bagaimana saya kenal dia, mungkin kalau Andrea Hirata (Laskar Pekangi) tahu saya dianggap mengidap penyakit gila nomor 45, suka bernostalgia..he..he... Ada info apa, sesekali menulis, semacam pengobat rasa rindu kepada kawan-kawan. Kemarin kawan Luqman 96 mengatakan kepada saya kalau ternyata banyak teman yang berkunjung ke blog ini, walaupun tidak menulis atau mengisi buku tamu (bahasa kampung) tapi terlihat dari IP address. Dan saya senang mendengar gara-gara blog ini temen-temen Jabotabek pernah berkumpul. Termasuk juga saya kemarin ketemu Luqman 96 yang tiba-tiba seperti Roy Suryo, ahli IT, dan juga kawan Siswanto 96 yang tiba-tiba berubah sedikit religius, macam ustad Yusuf Mansyur...he..he..Dari yang sederhana menjadi bermakna. Kedepan pasti ada hal besar yang bisa dilakukan. I am sure...insyaAllah.

Memahamkan Demokrasi dalam konteks KeTuhanan dan Kerakyatan

Oleh Ahmadi Addy Saputra
Bukan mau ikut-ikutan bicara soal politik yang hampir tiap hari terdengar ataupun terbaca di media nasional maupun lokal ataupun sekedar obrolan ringan di pojok terminal, warung kopi, seputar carut marut panggung politik kita, soal kisruh partai, pemalsuan dokumen oleh caleg, pejabat yang tersandung kasus korupsi, gugat menggugat hingga infotainmnet yang menyajikan kehidupan para politisi yang sebagian menjadi artis dadakan atau para artis yang menjadi politisi dadakan, tapi mencoba mengajak anda merenungkan kembali eksistensi demokrasi di negeri tercinta yang mau tidak mau kita ada bagian, partisipator, suksesor bahkan korban pelaksanaan demokrasi di Indonesia menjelang Pemilu 2009.

Lima tahun lalu kita telah berhasil membuat sejarah dengan menjadi negera demokrasi terbesar ke 4 di dunia, negara demokrasi dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, pendek kata dalam dunia “perdemokrasian” kita termasuk jagoanlah. Lembaga demokrasi telah terbentuk, lembaga kepresidenan, DPR/MPR hingga lembaga-lembaga baru seperti KPK dan MK. Euforia ini telah membawa kemeriahan pada setiap sendi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Harapan telah membuncah, tetapi muara dari segala sendi adalah ekonomi, ujung-ujungnya perut rakyat. Rakyat kenyang, negara tenang. Para pembela demokasi berdalih bahwa tak ada kaitan langsung demokrasi dengan kesejahteraan ekonomi,karena demokrasi hanya memfasilitasi kebebasan untuk menentukan nasib berdasarkan kehendak rakyat terbanyak. Maka tak heran tempo hari Wapres Yusuf Kalla mengatakan bahwa demokrasi hanya alat bukan tujuan, tapi anehnya pernyataan itu mengundang orang untuk bereaksi keras pula. Dasar demokrasi!

Tak kalah gencarnya pula para pengkritik demokrasi dari jaman baheula seperti Plato hingga ilmuwan sekarang yang selalu mengkaitkan-kaitkan demokrasi dengan kesejahteraan rakyat. Salah satunya masih ingat pernyataan tokoh utama, salah satu pendiri Singapura, Lee Kuan Yew, ketika ditanya tentang keberhasilan Singapura menjadi macan Asia, stabilitas jawabnya tegas, Singapura tidak butuh demokrasi, karena demokrasi tak bisa memberikan stabilitas. Terserah deh, dalam demokrasi semua boleh berpendapat.

Terlepas dari semua diskursus tentang demokrasi bangsa ini telah terlanjur mendaulat demokrasi sebagai aturan main kenegaraan. Perkara ada yang menolak itu masalah lain karena bagi saya sependapat dengan JK bahwa demokrasi hanya alat bukan tujuan. Bagi aktivis demokrasi tidak perlulah mengatakan bahwa demokrasi adalah harga mati, naif, ini buatan manusia. Dan para penentangnya tunjukkan bahwa ada sistem lain yang lebih bagus tapi dengan cara-cara santun tentunya. Kalau bisa!

Demokrasi dalam kurun waktu selama ribuan tahun telah mengalami evolusi, hal ini tentu berkaitan dengan sosiokultural negara-negara di dunia. Lain Eropa, lain Amerika, lain Indonesia. Itu yang perlu dipahami. Sosiokultural pembentukan Indonesia hingga proklamasi telah lekat dengan nilai spiritual dan keragaman. Bangsa ini dibangun atas agama-agama dan kepercayaan serta keragaman budaya dari ujung Barat Aceh hingga ujung Timur Papua. Kompromi atas keragaman makna spiritual dan budaya inilah yang membentuk kekhasan Indonesia dibanding negara lain. Maka dalam UUD 1945 nilai spiritual dan keragaman menjelma menjadi nilai Ketuhanan dan Kerakyatan. Jadi apapun kata orang tentang Pancasila, yang jelas nilai tersebut ada dalam pembukaan UUD 1945. Seberapa ngototnya para aktifis demokrasi yang ingin menjiplak demokrasi ala barat maka tampaknya akan menghadapi tembok besar dasar konstitusi kita.

Reorientasi dan revitalisasi pada tujuan negara ini menjadi langkah solutif untuk mereduksi kembali gagasan-gagasan dan wacana-wacan kebangsaan yang selama ini semakin jauh dari identitas bangsa kita. Mungkin para tokoh generasi tua terlalu kuat menggemggam “tradisi” kenegaraan dalam budaya ewuh pakewuh sehingga kadang susksesi kepemimpinan berjalan “mundur” atau mungkin para tokoh generasi muda terlalu jauh tercabut dari akarnya sehingga dia berbicara dalam bahasa politik “asing” yang mengancam identitas dan kedaulatan bangsa. Tantangan terbesar tentunya pada bagaimana nilai-nilai Ketuhanan dan Kerakyatan ini diproyeksikan dan direalisasikan dalam konteks kenegaraan baik dalam sistem pemerintahan, penyusunan UU hingga pembuatan kebijakan taktis. Nilai-nilai Ketuhanan amat dekat dengan moralitas, integritas, ketulusan dan pengorbanan sedangkan nilai-nilai Kerakyatan amat dekat dengan kepekaan, kepedulian, keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan. Seluruh nilai tersebut sudah mengalir dalam darah tiap-tiap penduduk dan pemimpin bangsa ini, karena kita mewarisinya dari para pejuang kemerdekaan bangsa ini. Pendek kata sudahkah pemimpin bangsa ini bertindak dengan moralitas tinggi sehingga jijik melakukan korupsi atau sudahkah kebijakannya berpihak pada rakyat sehingga tidak asal main gusur, dan menaikkan harga.

Dalam tatanan demokrasi modern ini maka kekuasaan absolut menjadi berkurang dan kekuasaan terbagi dalam beberapa delegasi. Hal ini memungkinkan terjadinya pembagian desentralisasi kekuasaan yang juga kesewenang-wenangan. Demokrasi juga melibatkan semua stake holders negara ini, baik yang well educated maupun unwell educated, Hal ini memungkinkan keterlibatan aktif semua elemen negeri ini yang juga memunculkan “tirani” baru yaitu kelompok pemenang pemilu. Maka demokrasi dalam tatanan kehidupan bangsa bukanlah yang utama tetapi nilai yang mendasari pelaksanaan demokrasi tersebut. Sehingga trauma Plato terhadap demokrasi dapat terobati.

Tetapi perlu diingat juga dalam demokrasi bahwa keterlibatan aktif ada pada semua stake holders, bukan semata pada pemimpinnya, sehingga nilai Ketuhanan dan Kerakyatan juga perlu diaktualisasikan oleh semua elemen masyarakat. Pendek kata demo menentang UU Pornografi apakah perlu ada? Atau sering kita berbicara atas nama rakyat, rakyat yang mana? Akhir kata, pelaksanaan demokrasi di Indonesia harus tetap berlandaskan nilai Ketuhanan dan Kerakyatan, sehingga kita menjadi bangsa yang bermartabat dan menggugurkan tesis bahwa demokrasi tidak mengenyangkan rakyat.

Plato, Radikalisasi Demokrasi, Individuasi

Oleh Jose Marwan
Penulis adalah jurnalis media elektronik
Dalam The Republic, Plato menyuguhkan sebuah analogi bagaimana para awak sebuah kapal berebut ingin menjadi nahkoda kapal meskipun mereka tidak pernah belajar tentang navigasi. Bagaimana mungkin kaum yang awam tentang kapal, musim, langit, bintang dan angin bisa dipercaya menahkodai sebuah kapal, inilah sindiran Plato. Analogi ini adalah kritik Plato terhadap kondisi demokrasi di tanah Athena, sebuah kota kecil yang menjadi tanah air demokrasi. Plato menyindir demokrasi sebagai sistem yang mengabaikan pencarian kebenaran itu sendiri, dan lebih pasrah pada kehendak mayoritas dengan refrennya Vox Populi Vox Dei. Benarkah kehendak mayoritas selalu benar? Apa yang menimpa Socrates adalah antiklimaks dari demokrasi, ketika seseorang yang jujur dan bijak harus mati dalam tegukan racun karena mayoritas menghendakinya. Plato mungkin alergi dengan demokrasi karena tragedi Socrates, gurunya itu. Karenanya dia mengusulkan agar suatu negara dipimpin oleh seorang raja-filsuf, yang bisa di-analogkan sebagai seorang nahkoda kapal yang tahu betul tentang musim, angin, tanda-tanda langit dan perbintangan. Keputusan untuk mengembangkan dan mengarahkan layar tidak bisa diserahkan kepada segerombolan kuli kapal yang tak tahu seluk-beluk navigasi. Sama dengan suatu negara, keputusan untuk menggerakkan kemanan suatu negara akan berjalan, tidak bisa diserahkan kepada segerombolan orang yang tak kompeten tentang ketatanegaraan. Tragedi Socrates jelas menjadi afirmasi, kehendak mayoritas, suara terbanyak, belum tentu mewakili kebenaran. Dimana relevansi kritik Plato ini bagi demokrasi kita?
Radikalisasi Demokrasi
Saat ini, kita melihat euforia para artis yang menjadi atau mungkin lebih tepatnya dijadikan calon legislatif (caleg) dan kepala daerah. Juga terbuka pintu gerbang bagi para calon independen untuk maju sebagai pemimpin di negeri ini. Pertanyaan menarik adalah, sejauh mana ruang demokrasi ini bisa membawa kebahagiaan bersama, seperti tujuan berpolitik itu sendiri ala Socrates? Kalau dikaitkan dengan sindiran Plato tentang awak kapal yang berebut menjadi nahkoda kapal, apakah kita justru sedang menuju ke sana? Apakah kita justru sedang membuka celah dimana para awak-awak kapal berebut untuk berdiri di geladak dan memproklamasikan diri sebagai nahkoda? Apakah, jika itu kita sebut pemilu, bisa menjadi penyaring yang efektif untuk memilih satu orang yang benar-benar tahu bagaimana caranya menahkodai negara ini? Apakah pemilih sudah cukup rasional untuk mempertanggungjawabkan pilihannya?
Rangkaian kekhawatiran di atas mungkin satu sisi gelap dari demokrasi itu sendiri. Kita berada dalam perhimpitan, dimana kita mengalami apa yang disebut William D. Gairdner (1997) sebagai radikalisasi demokrasi dan satu sisi kita didudukkan pada dataran rasionalitas masyarakat yang masih rendah. Radikalisasi demokrasi itu terlihat ketika seorang pemimpin menjadi tidak begitu mudah dan leluasa membuat keputusan yang menurutnya baik, karena ketakutan akan menghadapi gelombang interupsi sampai interpelasi dan demonstrasi. Radikalisasi demokrasi mendapatkan bentuknya ketika sebuah keputusan pemimpin akan begitu mudah diubah dan digoyang ketika ditekan oleh sekelompok massa yang membawa at-ribut dan berdemo di jalan.
Dalam bentuknya yang radikal, demokrasi akhir-nya hanya menjadi suatu sistem pemerintahan untuk menyenangkan dan menenangkan massa, bukan untukkebenaran yang sebenar-benarnya. Di sinilah relevansi kritik Plato terhadap demokrasi. Dalam bahasa lain, demokrasi mensyaratkan suatu kondisi rasionalitas masyarakat yang tinggi sehingga ketika kita memilih seorang pelawak atau artis untuk menjadi pemimpin, kita mendasarkannya pada suatu alasan argumentatif, bukan hanya dilandaskan pada pilihan senang dan tidak senang. Kentalnya politik aliran di bangsa kita tentu menjadi pelatuk tersendiri untuk membunuh demokrasi secara pelan-pelan. Sebab demokrasi sejati membutuhkan suatu masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang kokoh, yang bertanggung jawab, yang argumentatif

Yang Dipilih dan yang Memilih
Demokrasi membutuhkan individu-individu yang tercerahkan, yang memahami apa arti kalah dan apa makna menang, yang bisa menyelesaikan setiap persoalan secara hukum dan menghindari cara-cara manipulatif dan koruptif. Istilah raja-filsuf, yang diamanatkan Plato, harus ditafsir lebih luas, tak hanya sekedar mengacu pada satu atau dua orang, tapi pada individu-individu dalam masyarakat yang juga harus menjadi raja-raja dan filsuf-filsuf dalam arti seseorang yang bisa menggapai pengertian yang dalam tentang kebenaran. Ini, tak hanya berlaku pada mereka yang dipilih, tapi juga pada mereka yang memilih. Dalam bahasa Immanuel Kant, individu yang tercerahkan adalah individu yang otonom yang bisa membuat keputusan berdasarkan apa yang ada di dalam individu itu sendiri, bukan ditentukan pada apa yang ada di luar individu (heteronom). Seruan Kant yang sangat terkenal adalah “Sapere Aude”, beranilah berpikir sendiri. Individu yang tercerahkan adalah individu yang berani berpikir sendiri, berani membuat keputusan sendiri, tanpa terbebani untuk ikut dengan pilihan ulamanya atau pendetanya dan tanpa termanipulasi oleh money politic. Demokrasi adalah seni mencari kebenaran yang paling benar dari antara sekian kebenaran yang dianggap benar. Karena itu, tantangan demokrasi kita saat ini adalah, membangun sebuah masyarakat yang mampu melakukan deliberatio dan discretio sehingga menghasilkan sebuah pilihan yang bertanggung jawab. Di sinilah diperlukan individuasi, proses menjadi individu. Masyarakat kita harus menjadi masyarakat yang terdiri dari sekumpulan individu yang bisa menentukan jalan hidupnya sendiri, bukan segerombolan massa yang mudah diprovokasi. Dalam Individuality in Our Day, Dewey mencatat demokrasi selalu bergerak dengan sikap ilmiah. Dewey menekankan pentingnya masyarakat menjadi suatu komunitas ilmiah yang bisa melawan politik pembodohan penguasa. Bahkan dalam Freedom and Culture, Dewey bersikukuh bahwa masa depan demokrasi diiringi oleh penyebaran sikap ilmiah yang menggantikan prasangka, takayul dan pikiran picik. Jadi, bukankah kita tak perlu risau seandainya para awak kapal berebut menjadi nahkoda, toh mereka semua tahu tentang navigasi, bukan?
Copyright © Sinar Harapan 2008
Tulisan ini sengaja saya ambil dari Harian Sore Sinar Harapan versi online-nya hari Jumat 31 Oktober 2008 no. 6034. Tulisan ini cukup menarik sebagai wacana kita semua menjelang tahun pemilu 2009.Salam (Ahmadi Addy Saputra)

Kamis, 11 Desember 2008

Kick off Gathering Blogger Sosektaers-Ub di Jakarta

Ki-Ka :Boy,SAI,Lq

Posting by Luqman Setiawan



Warm welcome Sosektaers unibraw di seantero jagat,

Akhirnya kita berjumpa kembali,demikian mungkin kata-kata yang mengemuka dari ketiga Sosektaers yang fotonya termuat diatas. Alkisah,satu hari menjelang perayaan penjagalan teman2 sekampung Oom Boy (Sapi boyolali,pen),tepatnya malam takbiran.Bertempat di outlet Solaria mall Cibubur Junktion,dengan bermodalkan sebaris sms kilat maka bertemulah saya selaku juru warta alias notulen dengan provokator blog kita tercinta ; Kamerad Siswanto Ariadi alias SAI,dan Denmas Ahmadi Addy Saputra alias Boy lantaran cah asli Boyolali.

Tanpa banyak merangkai kata,dihadapan hidangan santap malam yang seadanya,meluncur deras perbincangan perihal nasib Blog kita tercinta ini.Sepinya blog dari atensi khalayak pembaca,traffick yang terus konsisten menyusut,dan satu persatu raibnya Redaktur pengisi tulisan (post maker) blog ini menjadi perhatian serius perbincangan 6 mata ini. Andai,pertemuan malam itu ditetapkan sebagai pertemuan resmi,niscaya akan terlahir deklarasi baru seputar per-bloggeran Sosektaers Unibraw.

Beberapa kesimpulan sepihak yang bisa saya tarik dengan paksa lantaran meluapnya informasi yang mengalir pada pertemuan tersebut adalah,komitmen blogger sosektaers untuk aktif kembali mengisi catatan online (posting),mendirikan jaringan baru melalui milinglist di yahoogroups.com,dan mengajak para netter yang berasal dari Sosektaers Unibraw untuk bergabung dan berpartisisapi eh inget boy mulu,maksudnya berpartisipasi aktif membuat blog ini kembali hidup dan memberi arti bagi kehidupan keseharian warga Sosektaers dimanapun adanya.

Memo yang lebih penting lagi,Kickoff gathering blogger Sosektaers Unibraw ini akan jadi ritual untuk kurun waktu tertentu yang akan sosialisasikan lebih baik lagi []