Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Jumat, 27 Februari 2009

"JENDRAL NAGABONAR" FOR PRESIDENTE ?


Posted by Luqman Setiawan

Bukan lantaran mau ikutan latah dan memboroskan waktu,kalau topik kita kali ini akan mengulas tentang Kang Deddy Mizwar yang ngepop berjuluk "Jenderal Naga Bonar"nya. Semuanya bermula dari sebuah berita yang mengalir begitu saja dari siaran "Seputar Indonesia" kemarin siang. Mewartakan "angin surga" baru perihal calon presiden alternatif buat bangsa yang tengah menyambut pesta demokrasinya.Publik pun sontak terhenyak lantaran figur yang kali ini di usung nampaknya bukan nama sembarang nama di jagad dunia hiburan tanah air. Deddy Mizwar sang "Jenderal Naga Bonar" yang cukup familier kita kenal.Sesosok figur yang belakangan ini rajin menghiasi layar kaca nusantara saat peak season tertentu dengan produk "opera sabun" bernuansa ruhani bernilai rating tinggi.Sebut saja buah seni tangan dinginnya dalam "Kiamat sudah dekat" dan "Para pencari Tuhan".Di tambah lagi dengan pemunculan Kang Deddy yang cukup intensif dalam aneka iklan. Wal hasil, popularitas kian melekat di telapak tangan Kang Deddy dan seolah menyatu dalam garis keberuntungan aktor gaek yang satu ini.
Namun demikian,sebagaimana judul yang usung dimuka.Seberapa pantas bin realistiskah "Jenderal Naga Bonar" ini bisa sungguhan menjadi presiden NKRI ? Apakah ini bagian dari skenario film baru kang Dedy, atau sekedar guyon memberikan hiburan alternatif ditengah kejenuhan masyarakat terhadap "libido" politik elit negeri ini yang tengah di puncak gejolak yang membara ?
Andai,asumsi yang pertama benar.Yakni,kang Deddy Mizwar serius mengadu nasib bertarung memperebutkan kursi RI-1 menantang sang Incumbent Paduka yang mulia SBY.Maka itu artinya sami mawon dengan konsekuensi bahwa do'i harus "berebut" dan "sikut2an" untuk meraih opini dan dukungan publik berhadap-hadapan dengan para penantang papan tengah lainnya macam Wiranto,Prabowo,Sultan (bukan Sultan Jorghi ya ; p),sampai Nur Wahid (yang belakangan ini "malu-malu" menunggu hasil skor pemilih parpolnya berikut titah dewan syuro-nya dulu). Nama lainnya,Megawati. Mungkin pesohor untuk papan tengah atas lainnya (yang menang atau tidaknya "Ibu kita" ini tergantung poros koalisi yang beliau bangun kelak).
Di tinjau dari sisi keabsahan. Satu tembok besar di depan mata sudah langsung menghadang mimpi besar sang "Jenderal Naga". Tembok tersebut berupa ,aturan main (rule of the game) untuk "hajatan" pilpres kali ini.Jika pun sang "Jenderal Naga" ini nekad maju lewat jalur independent (tanpa melalui parpol) sudah dipastikan tertutup sudah impian besar tersebut.Sumber penghadangnya adalah bunyi titah UU tentang Pilpres yang sukses disahkan elit politik di parlemen yaitu "mengunci" Capres hanya bisa sahih ikut pilpres melalui jalur Parpol atau gabungan Parpol yang meraup total minimum 20% suara Pemilu parlemen.
Lantas adakah sepercik harapan Bang Naga Bonar ini demi meraih jalan terjalnya menuju Istana Merdeka dapat terwujud?
Sinyal pertama muncul samar dalam suar media di hari yang sama kemarin.Adalah Muhaimin Iskandar alias Cak Imin yang mantan counterpart kita di era reformasi.Dengan jabatan sebagai Ketua Umum Parpol papan tengah nasional yang cukup sukses berkali-kali selamat dari intrik dan aneka konflik,Cak Imin merupakan elite politisi Parpol yang pertama menyebut nama Jenderal Naga sebagai alternatif Capres yang di usung partainya.Tentu namanya alternatif,sang Jenderal masih harus melampaui banyak proses saringan yang membutuhkan banyak pengorbanan utama; dana-dana-dana-dan waktu untuk me-lobbi.
Sinyal kedua adalah dukungan dari jaringan artis se nusantara yang mengklaim 1 juta artis akan mendukung sang "Raja Copet--Jenderal Naga" ini.Praktis kemunculan penantang baru ini kemarin bakal membuat peta politik diantara para penantang bakal penuh dinamika lagi.
"Jenderal Naga" bukannya tanpa perhitungan untuk nekad maju ke barisan Capres.Barangkali dia merasa mendapatkan vitamin optimisme dari sejarah bangsa-bangsa lain tempat dimana profesi seperti aktor dan seniman bisa mewujudkan mimpi sebagai Presiden.Nun,satu dekade yang lampau.Seorang penyair yang pandai meracik orasi berbumbu deklamasi yang sangat memukau tiba-tiba mengejutkan publik negaranya saat maju menjadi Capres menantang Capres2 yang berasal dari politisi2 hebat yang telah kenyang asam garam politik di negerinya.Dan lebih menggemparkan lagi,sang Penyair menang telak meraup 2/3 lebih suara pemilih.Sang penyair bernama Vaclav Havel itu akhirnya terpilih secara demokratis sebagai presiden di Rumania.Nah kalo di Rumania saja,Presiden Penyair aja bisa menjadi Presiden Negaranya,di Indonesia ada Sutardji Khalsum Bachri yang disahkan dalam dunia kepenyairan Indonesia sebagai Presiden Penyair Indonesia.Saya pernah lihat beliau berdeklamasi dan orasi seni,sungguh indah dan menggugah,dan saya menjadi mafhum,mengapa penyair seperti Vaclac Havel akhirnya bisa menang pilpres.Kita juga punya penyair untuk rakyat proletar bernama Widji Tukul (idolanya Siswanto,kayaknya ; p).Sayang beliau raib tak jelas rimbanya, diculik oleh orang2 tak bertanggungjawab.Andai dia masih hidup,mungkin sudah maju jadi Capres juga.Di era 80-an saat puncak perang dingin dan kebangkrutan suatu negara besar akibat skandal elit dan runtuhnya kepercayaan publik.Seorang aktor populer dalam peran2 protagonisnya sebagai cowboy yang budiman,nekat maju dalam konvensi pencapresan parpol.Singkat cerita,sang aktor "cowboy" tadi terpilih sebagai presiden bahkan berturut-turut hingga 2 periode (andai UUnya mengatur bisa seumur hidup,mungkin dia terpilih lagi).Sang cowboy budiman ini belakangan kita kenal sebagai Ronie (bukan Slamet ya ; ( ) alias Ronald Reagen presiden USA yang diusung oleh Partai Republik. Untuk menyebut artis se lvel Arnold Swazneger yang sukses sebagai gubernur California,atau yang citarasa lokal macam idolanya mas Boy yakni Rano Karno alias si Doel yang berhasil terpilih sebagai Wagub Tangerang.Ditambah Dede yusuf yang jumawa terpilih sebagai Wagub di Jawa Barat.Semua itu bak menambah serum optimisme akang Deddy Mizwar untuk maju terus menggapai impian sebagai Presiden NKRI.
Sekali lagi,untuk semua yang saya paparkan di atas. Belum jaminan bahwa "Jenderal Naga Bonar" ini serius untuk benar2 maju sebagai Capres NKRI. Seperti asumsi kedua yang saya sampaikan di atas. Bisa jadi,"Jenderal Naga" sedang mementaskan serial megadrama teranyar yang melibatkan emosi dan antusiasme se-banyak2nya orang.Dan di balik layar dia tertawa puas menikmati betapa "lugunya" bangsa ini yang terlalu besar hidup dalam pengharapan dan kesia-siaan terhadap elite-elite pujaannya. Sementara sang pujaan hidup menangguk keuntungan ; menikmati sebesar2nya keuntungan dari perniagaan janji2 kosong bersama para kroninya.



Kamis, 26 Februari 2009

Menjelang Contrengan


Tinggal menghitung hari saja kemeriahan pesta demokrasi segera digelar. Pemilu merupakan tradisi demokrasi, ritual wajib yang harus dijalani penganut demokrasi. Pada masa orde baru euforia pemilu amat sangat terasa, pemilu menjadi sesuatu yang dinanti kedatangan walapun hasil akhir tetap bisa ditebak. Tak ada perubahan signifikan terhadap pemilu, karena pemenangnya itu-itu saja dan kebijakan itu-itu saja. Tetapi pemilu tetap saja menarik, jumlah pemilih tinggi, PPS dimana-dimana rame. Masyarakat antusias.

Justru pada era sekarang yang diklaim sebagai era kebebasan, euforia, antusiasme menurun dan jumlah golput besar. Pemilu, pilkada dan sejenisnya menjadi sesuatu yang menjemukan. Jenuh. Apatis. Putus asa. Sebagian para pakar menyebutnya sebagai wujud rendanhya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan akhirnya pada sistem negara ini. Padahal negara ini sudah sepakat memilih demokrasi, dan alat untuk menyalurkan aspirasi untuk perubahan ya pemilu, suka atau tidak suka. Sebagai refreshing saja saya mengajak kita merenungi sejarah bangsa ini.

Kedatangan armada Cornelis de Houtman pada ekpedisi ke Timur Jauh yang disponsori oleh Compagnie va Verre pada bulan Juni 1596 M di Banten, untuk pertama kali mendarat di kepulauan nusantara ini dan dilanjutkan ekspedisi lainnya, ibu pertiwi masih beramah hati menerima mereka. Hingga kemurahan hati pangeran Jayakarta yang memberikan pulau Onrust atau lebih dikenal pulau Kapal yang terletak diutara Jakarta kepada armada dari Belanda pada tahun 1610 M, dilanjutkan kolonisasi oleh VOC dan lima tahun kemudian rencana penyerangan ke Batavia dirumuskan di pulau ini. Seolah pangaeran Jayakarta menggali kuburannya untuk rakyat bangsanya sendiri.

Seperti kita ketahui VOC yang lebih kita kenal kompeni, merupakan kongsi dagang besar yang mendunia, mungkin sekarang semacam multinasional, memiliki hak istimewa yang tercantum dalam pasal 34 dan 35 actroi pendiriannya. Hak untuk memonopoli perdagangan dan membuat perjanjian dengan raja-raja lokal, hingga berujung pada untuk melakukan penindasan, pembunuhan dan penjajahan. Kolonisasi bangsa ini dalam wujud Hindia Belanda telah menciptakan petaka bagi penduduk pribumi. Sudah berapa banyak kekayaan bangsa ini yang dikeruk dan berapa banyak nyawa yang melayang akibat kolonialisme ini.

Setelah 63 tahun merdeka berdaulat secara de facto dan de jure seolah terasa hambar ketika kita berkaca pada realita bahwa sesungguhnya kita tidaklah berdaulat. VOC mungkin yang terkejam tapi “anak didik” mereka yang menjelma menjadi perusahaan mulitnasional modern hidup dan tumbuh berkembang subur di negeri tercinta ini. Perusahaan skala besar dan strategis menyangkut sandang-pangan penduduk negeri hingga lembaga keuangan nasional yang dikuasai oleh asing. Dengan dalih globalisasi perdagangan dunia dalam era pasar bebas maka semua negara di dunia termasuk Indonesia dipaksa untuk melegalisasi dan meratifikasi keberadaan WTO, sebagai sebuah perkongsian. Mirip dengan pemberian hak istimewa kerajaan Belanda kepada VOC.

Dengan dalih meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah orde baru dan penerusnya, pengelolaan sumber daya alam Indonesia diserahkan kepada pihak asing, karpet merah layaknya pahlawan atau bintang pujaan untuk investor asing. Mirip pemberian pulau Onrust oleh pangeran Jayakarta kepada VOC.

Sejarah senantiasa berulang, rentetan peristiwa masa lalu akan berpengaruh terhadap masa kini. Apa yang kita lakukan sekarang besar kecil akan berpengaruh kepada setiap kejadian pada masa mendatang. Tak terputus semua ada sebab dan akibat. Dan sejarah bukan sekedar benda mati berupa kota lama lengkap dengan bangunan tuanya, situs-situs sejarah hingga logika sejara yang belum terpecahkan dan senantiasa menjadi bahan diskusi di “menara-menara” gading yang bernama intitusi pendidikan dan lembaga penelitian.

Setelah mengalami pergantian kepeminpinan, amanat dalam konstitusi negara kita untuk mensejahterakan rakyat banyak masih jauh. Pemimpin masih saja mengandalkan pencitraan yang sempurna daripada berkotor-kotor melayani rakyat. BBM turun yang sebenarnya adalah hadiah dari langit yang diberikan Tuhan karena harga dunia merosot tajam dianggap sebagai sebuah prestasi keberhasilan. Angkuh. Begitu pula rakyat kita, penderitaan akibat penjajahan membuat bangsa ini kuat namun juga malas. Rakyat mudah sekali terpesona dan terpikat oleh keindahan yang semu. Saling rebut saat ada pembagian “rejeki” dari segelintir orang kaya di Indonesia menjelang hari raya tertentu. Yang kaya sombong, yang miskin tamak. Larut dalam aliran sesat yang menawarkan pengalih perhatian terhadap kesulitan hidup. Ini adalah penyakit...

Tak heran maka penajajahan era baru yang oleh Sukarno dan Agus Salim disebut neo-kolonialisme tumbuh subur di negeri tercinta ini hingga sekarang. Tapi bukan tanpa harapan.

Pada tanggal 24 Agustus 1949 persidangan maraton memasuki babak akhir, persidangan yang kita sebut Konferensi Meja Bundar. Moh. Hatta salah satu putra terbaik bangsa ini memimpin delegasi Indonesia dalam pengakuan kedaulatan Indonesia yang sebelumnya telah diprokamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh dia dan Soekarno sebagai wakil rakyat Indonesia. Sokarno dan Hatta adalah produk terbaik bangsa ini lepas dari segala kontroversinya. Generasi ini adalah puncak dari generasi sebelumya pada era Diponegoro, Pattimura, Teuku Umar, Hasanudin dan lain. Hasil dari konferensi tersebut sebagai tonggak kedaulatan bangsa Indonesia atas kolonialisme Balanda.

Sejarah bisa terulang, kolonialieme bisa diawali dan juga bisa diakhiri. Demikian juga dengan neo-kolonialisme, bisa dimulai dan juga bisa diakhiri. Tinggal generasi mana dari negeri ini yang akan mengakhiri, dan sejauh mana generasi sekarang termasuk kita mengambil peran. Hingga akhirnya nanti Proklamasi Kemakmuran bisa dikumandangkan di Indonesia ini. Jika boleh saya bermimpi maka saat sekaranglah neo-kolonalisme harus diakhiri. Demikianlah mimpi Diponegoro, mimpi Patimura, mimpi Hasanudin, walau belum menjadi nyata mereka sudah berbuat yang besar dan kemerdekaan sudah mereka peroleh secara pribadi. Dan kalau beruntung kita adalah Sokarno dan Hatta sekarang, bermimpi dan melihatnya menjadi nyata.

Bagaimana caranya? Kalau memang anda masih percaya demokrasi maka sejarah bisa ditorehkan melalui partisipasi anda. Mungkin hasil yang diperoleh tidak serta merta ada. Dengan ikut mencontreng besok pada pemilu 2009, tidak kemudian tahun 2010 Indonesia langsung ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi itu menjadi sebuah pembelajaran dan pengorbanan bagi bangsa ini seperti yang dilakukan Diponegoro dan kawan-kawan. Dan kalau Allah menghendaki maka hasil pemilu besok seperti layaknya Proklamasi Kemakmuran sebagai Proklamasi Kemerdekaan jilid 2. Karena generasi pendiri bangsa ini bisa menikmati kemerdekaan adalah akibat dari sejarah yang ditorehkan oleh Diponegoro dan kawan-kawan. Sekali lagi jika anda masih percaya demokrasi. Karena sebagaimana senjata dan semangat dalam perjuangan kemerdekaan maka pemilu dan semangat dalam demokrasi adalah sama pentingnya.

Salam Boy

Rabu, 25 Februari 2009

PELAJARAN BERHARGA DARI WARUNG KOPI

Sebagai orang kampung yang perantauan, setiap kali pulang kampung selalu menyempatkan diri minum kopi di warung kopi langganan saya di pinggir jalan. Ngopi jahe atau teh jahe sambil nyamil gorengan rasanya nikmat sekali. Cukup dua puluh ribu rupiah untuk mentraktir 4 orang kawan saya dikampung. Gelas sederhana, penganan yang ala kadarnya, tempat yang jauh dari mewah, dan meja dari kayu yang sudah tua. Tidak ada kemasan yang membuat nya menarik seakan2 kita ada di kafe2 kopi yang menjamur di Bali atau Jakarta. Sebenarnya ada nilai lebih yang saya dapatkan ketika saya ngopi di kampung pinggir jalan. Suasana kebersamaan, kekeluargaan, sosialisasi ke masyarakat itu sebenarnya yang saya cari. Karena diwarung kopi pinggir jalan tersebut berbaur berbagai macam orang dengan latar belakang yang berbeda.

Kadang2 ditemani oleh pengamen yang menyanyikan lagu Iwan Fals (orang yang lebih merakyat dibanding wakil rakyat) atau lagu SLANK dengan kritikan ala Jakarta membuat saya berat untuk kembali pulang ke tanah perantauan. Disini saya merasakan hidup sebagai manusia Indonesia (atau khususnya orang Jawa) seutuhnya. Bisa bersosialisasi, bercerita, bermasyarakat yang sangat sulit didapat di kota besar sekarang ini. Merasakan bisa berinstropeksi bahwa saya ternyata semakin individualis, merasa seakan2 lebih pintar dengan orang2 di kampung saya.

Berbaur dengan berbagai macam orang tanpa ada yang merasa pintar, bebas berpendapat, dan bebas dalam berekspresi. Terkadang tukang becak, loper koran, penjual vcd bajakan dengan spontan saling berpendapat. Dan saya merasakan ini riil dan realitas kehidupan masyarakat kita.
Tema pembicaraan mulai dari yang remeh temeh sampai ke yang berat tentang masalah politik mewarnai perbincangan di warung kopi. Semua sederajat, tidak ada lebih pintar, dan saya merasakan bahwa merekalah nantinya yang akan menentukan pilihannya dalam pemilu april nanti. Kesepakatan dalam tema2 pembicaraan diambil berdasarkan kemufakatan. Tidak ada yang tercederai dalam proses ini. Walaupun menurut saya hal2 yang disepakatin kadang2 jauh dari nalar saya yang seakan2 sudah merasa menjadi kaum intelektual. Tapi itulah fakta masyarakat warung kopi, miniatur masyarakat kita yang toleran, sederhana, terbuka dan apa adanya.
Di warung kopi ini saya merasakan diri saya adalah orang Timur dengan budaya yang adiluhung. Dan tidak bisa dibandingkan dengan budaya manapun walaupun saya mempelajari peradaban dan budaya2 dunia. Saya merasakan menginjak bumi dan inilah tempat saya berpijak.
Kopinya pun dari jenis robusta, produksi asli perkebunan kopi di tanah Indonesia, rasanya pahit dan karena kadar cafeinnya tinggi cukup membuat saya dapat menahan kantuk lebih lama. Gelasnya pun sederhana, sesederhana penjualnya yang punya cita2 agar anak2nya bisa kuliah di PT dan bekerja di tempat yang lebih nyaman. Tidak bernasib sama seperti dirinya.

Nasehat pun mengalir dengan tulus jika ada orang yang kelihatan suntuk dan membutuhkan nasehat. Terkadfang orang yang gak punya uangpun bisa berhutang untuk minum kopi di warung kopi tersebut. Tanpa ada perhitungan yang rumit pengutang pun bisa menikmati kopi dengan nikmatnya. Sangat kekeluargaan, saya tergelitik untuk bertanya kpd penjualnya gmn kalau yang utang tidak bayar. Sungguh sangat menyentuh hati saya jawabannya, dia bilang gak apa2 nanti Tuhan pasti akan memberikan rejeki yang lebih besar dari nilai hutang segelas kopi tersebut. Penjual menganggap itu sedekah atau amal jariah. Saya merasakan pelajaran yang luar biasa disini. Sudah sedemikian individualkah saya?? Sungguh beruntung di kampung saya masih ada warung kopi yang sederhana, jauh dari modernisasi kota metropolitan. Ternyata nilai luhur bisa saya dapatkan dari warung kopi. Banyak pelajaran berharga saya dapat dari sana.


SAI SEA'96

Senin, 23 Februari 2009

EH EH TAU GAK SIH...EH EH SORI YA...EH EH JANGAN NGAREP DEH KALO GITU

Sering sekali kalimat awalan itu saya dengar di komunitas indo ketika saya berada dinegeri orang diberbagai penjuru dunia, jauh dari kampung halaman, yang notabene mereka mereka ini masih baru tinggal di negeri sebrang, bila dibandingkan yang sudah lama menetap dan bahkan ended up dengan berkeluarga dengan orang asli sana.

Rasa ingin pamer, show off, unjuk kemampuan, saling dengki, menjadi perbincangan ibu ibu kalau lagi kumpul kumpul yang notabene para bapak juga ikut ketularan. tidak ada lagi rasa malu dan unggah ungguh ketika bertengkar dimuka umum, diparkiran rumah sakit ataupun didepan teman teman sendiri. "eh eh sori ya, kemarin kita ke kota x, setiran sendiri, sori ya gak ngajak ngajak, lagian rugi juga kan ngajak ngajak kalo yang diajak gak punya duit"..."eh eh sori ya, kalau kita pulang balik indo pakai maskapai berbeda kan kita gak ada masalah sama yang namanya mahal"..."eh eh tau gak sih si anu habis beli mobil lagi, harganya $4000, bla bla bla...". masih inget juga saya ketika saya mendapat undangan untuk makan malam dirumah teman ternyata niat terselubungnya adalah dia ingin pamer tv layar datar dan tread mill yang baru dia beli, dan rencananya akan dikirim ke indo, atau pengalaman saya waktu saya baru pertama kali tiba disuatu negara dan meminta bantuan teman teman yang dermawan masalah perabotan rumah, saya dikata-katai tak tahu malu, gembel, gak punya modal....dan kagetnya justru saya dan keluarga kebanyakan dibantu oleh orang orang yang datang dari bangsa lain, bukan dari bangsa sendiri...

Kagetan...itulah mungkin kata-kata yang langsung terlintas dalam benak saya...para manusia ini yang dari indo jauh jauh datang merantau dan menimba ilmu serta pengalaman begitu terhenyak dengan segala kemudahan dan fasilitas yang didapatkan...mungkin juga kalimat "kacang lupa kulit" juga tepat ya.....let's say dari gaji indo yang belum tentu mencapai $200 per bulan, menjadi minimal $18 per jamnya. semua yang didapatkan adalah barang yang pastinya berkualitas, fasilitas selalu nomer satu, makanan selalu yang higienis. saling banding dan saling pamer mendapatkan yang terbaik adalah hal yang biasa dikomunitas ini, yang terkadang memang kelewatan dan bahkan merembet ke masalah agama dan organisasi. padahal harapan saya waktu pertama kali tiba kala itu, adalah, saya atau kami yang terasing dinegeri antah berantah ini haruslah saling bantu dan dukung satu sama lain, saling rukun lah...supaya negeri yang sedang kami tinggali inipun juga tidak memandang sebelah mata pada orang orang seperti kami ini. "go back to your country!" pengusiran yang sering didengar teman teman disana meskipun alhamdulillah tidak pernah terjadi pada saya.

Miris kalau melihat komunitas seperti ini, alhasil orang orang yang seperti kami ini berusaha menjauh dari "dunia kagetan" mereka, menjauh dari "ajang pamer" mereka yang notabene pasti diakhiri dengan rasa sirik dan gosip...berjuang menyatukan persepsi masalah perbedaan agama dan organisasi...yang dipikir lagi...lho kok kita ini malah jadi seperti terpecah belah begini keliatannya...aduh...kalo pengen indo bersatu dinegeri sendiri, eh eh jangan ngarep deh kalo gitu lha wong dinegeri orang kita juga terpecah belah.... serba susah dan salah...


cheers

hesthi

Minggu, 22 Februari 2009

PONARI EFFECT

Sebuah fenomena yang sangat memprihatinkan muncul di kota Jombang yang penuh dengan nuansa agama karena banyaknya pondok pesantren dan kyai. Batu yang bagi sebagian orang digunakan sebagai material mampu dijadikan oleh Ponari dan panitianya menjadi mesin pencetak uang hanya dengan membuka praktek pengobatan alternatif "pencelupan batu ajaib ke dalam gelas berisi air" yang kemudian digunakan sebagai obat dengan cara meminumnya. Beratus2 ribu orang telah datang ke tempat tersebut untuk membuktikan kebetulan hal tersebut yang kebenarannya sendiri masih tidak terbukti.
Ada 2 hal yang merupakan catatan penting dalam hal tersebut yaitu ketidakpercayaan masyarakat terhadap fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah entah karena dokternya yang males nanggapin warga gak mampu atau harganya yang kemahalan dan eksploitasi panitia terhadap kebebasan seorang anak.
Masalah pertama muncul karena mahalnya biaya pengobatan dan sangat bertele2nya pengurusan surat miskin untuk pengobatan murah. Entah karena kurang niatnya pemerintah atau karena kesehatan masyarakat gak diatur di UUD 45 ya?????. Puskesmas yang banyak tutup sebelum waktunya atau obat2an yang banyak dipermainkan.
Masalah yang kedua juga sama parahnya sehingga seorang anak dipaksa bekerja dengan sangat keras sehingga tidak bisa bersekolah dan bermain. Hingga akhirnya kak seto datang dari komisi perlindungan anak yang malah memberikan solusi tentang pembuatan tandon agar bisa lebih dimanfaatkan oleh orang banyak. (lho kok kak seto malah terjerumus dalam hal begituan ya???)
Yang pasti terpukul adalah pemerintah khususnya departemen kesehatan dan pondok pesantren yang ada di daerah tersebut. Artinya peran keduanya masih belum terlihat. bayangkan dalam pengobatan tersebut hanya dengan mencelupkan batu dan dan kemudian meminumnya. Dan dari pengakuan orang2 yang telah menjalani pengobatan mengaku telah lebih baik kondisinya tanpa ukuran klinis yang jelas seperti angka kolesterol, gula dan sebagainya. Dan bahasa yang dipakai untuk mengukur adalah dapat tidur lebih nyeyak, badan agak enakan...gak jelas!!!!!!!
Yang lebih parah ada lagi orang2 yang mencoba memanfaatkan kesempatan ini dengan membuka praktek yang serupa...... bayangkan kalau sekarang dihitung sudah ada 3 orang dukun lagi yang muncul dengan metode yang serupa. dua orang di Jombang (lagi) dan yang satu di bangkalan madura (dua2nya tempat dengan daerah yang sangat religius menurut saya)??????
ujung-ujungnya ternyata duit juga.... dengan cara menempatkan kotak amal di tempat tersebut nilainya gak main2 kalo dihitung2 Ponari udah ngumpulin duit 500 jt lebih....... kalo dibuat beli minuman air mineral gelas dapat berapa tuh?????
Ya mudah2an gak muncul lagi deh dan semoga membuat pemerintah terlecut dan segera memperbaiki fasilitas kesehatan sehingga mengurangi orang yang terjebak dalam hal2 klenik seperti ini. Amin.
Mohon maaf kalo ada yang percaya dengan Ponari (katanya lukman mau kesana sih hehehe) tapi Insya Allah saya nggak deh........

rachman

KOPI



Tulisan ini saya buat sudah lama pada waktu saya berada di Canberra kemarin, sekedar ingin berbagi apa yang timbul dibenak saya kala itu, cheers....


Kapan itu, hesthi beli kopi dipinggir jalan…ya…seperti warung lah, yang jual cuman buka tenda dan meja kecil dengan perabotannya. Kopi ini gak hesthi minum ditempat tapi, dibawa sambil menuju ketempat kuliah yang jaraknya juga aduhai.

Kenapa kok akhirnya gelas kopi ini sempat hesthi potret? Karena mengingatkan hesthi sama penjual kopi diwarung2 pinggir jalan ditanah air beta, penjual kopi di warung nasi rawon depan pasar dinoyo, penjual kopi di daerah gajayana dan sumbersari, belum lagi penjual kopi didalem pasar dinoyo dan pasar kawak madiun.

Benar2 beda ya….disini semua jualan dikemas dalam bentuk menarik dan berkualitas, mau minum saja lho kok ya elegan sekali, tutupnya disesuaikan dengan kebutuhan dan bentuk bibir si konsumen. Panasnya kopi juga disesuaikan…denagn kata lain tidak terlalu panas sehingga konsumen bias langsung minum. Bikinnya juga cepat dan tangkas…pake alat modern dong, supaya pembeli tidak menunggu lama (padahal nunggu lama juga rela kok, apalagi kalo yang jual cakep), si penjual juga pake kaos tangan dengan alasan higienis, sebelum gelas ditutup, diatas kopi diberi taburan coklat yang padahal juga gak ada efek apapun sama rasa kopinya. Harganya padahal lumayan juga lho, satu gelas kopi kecil sekitar $2, kalo yang besar $3.50, tapi bagi kami disini, harga segitu ya…nothing lah dibandingkan penghasilan kerja seminggu antara $500-600.

Mari kita bandingkan dengan kampung halaman, pertama kali yang kita lihat adalah wajah2 lusuh para kuli dan tukang becak plus hawa rokok dimana2, belum lagi penjualnya seringnya ibu2 dengan berat badan yang berlebih dengan kebayanya yang asal pake…habis bangun pagi sih….cara jualnya pun tidak mengindahkan higienitas, setelah comot2 makanan dengan tangan indahnya, tuker2an duit dengan pembeli yang lain kemudian bikin kopi…..2 sendok makan penuh kopi dan gula, ditaruh digelas panjang, diseduh dengan air termos…yang termosnya pun bisa dibilang sudah tidak layak pakai, setelah itu gelas ditaruh diatas lepek dan selanjutnya disajikan. Tidak ada senyuman manis nan menawan seraya bilang “have a good day” atau “thank you, enjoy your coffee”, apalagi taburan coklat diatas kopi. Si pembeli kopi akhirnya disajikan kerepotan akan panasnya kopi bikinan ibu endut, serba salah dan susah…pengen diminum saat itu juga tapi dengan resiko bibir seksi bak Angelina Jolie. Jadi terpaksalah kopi ditaruh dilepek dulu, sambil bibir dimonyong2kan sepanjang mungkin supaya minumnya jadi sedikit2. Belum lagi setelah minum harus bersih2 bibir dan mulut, jangan sampe kalo ketawa lebar nanti sisa2 kopi masih ketinggalan disana….malu lah. Dari segi harga…..aduh…jangan sampe mahal ya, penghasilan seminggu juga berapa, itu saja dicari dengan berdarah2. Si penjual juga pasrah dengan harga segitu2 saja, yang kalo dikurskan ke dollar australia, hampir gak ada 50 sen, apa mau dibayar plus bonus misuh2 dari pembeli? Belum lagi kalo yang beli preman pasar, mau tambah bogemnya juga? Masih untung dagangan laku, dengan arti kata, ada harapan hidup dan makan untuk hari besok.

Mengingat kampung, jadi sedih kalau melihat dan merasakan perbedaan2 ini yang notabene kita ini masih jauh sekali mencapai pemerataan kesejahteraan. Tapi ada rasa kangen juga, melihat semua sisi tradisional orang2 kita sendiri, bikin kita tertawa karena kelucuannya sekaligus turut prihatin atas roda kehidupannya.
cheers
hesthi

Senin, 16 Februari 2009

5 PILAR KEMENANGAN SOSEKTAERS UNIBRAW

P
Posted by Luqman Setiawan

"Slowly but sure"
Lambat tapi pasti,Blog kesayangan kita bersama ini mulai nampak geliat kehidupannya.Meskipun amat sangat lambat untuk ukuran sebuah situs online.Namun,setidaknya Blog Sosektaers ini bak ingin memberikan satu pesan buat seluruh khalayak Sosektaers di seantero jagad maya; bahwa sejarah kebersamaan di masa silam waktu "mengais" ilmu di Jurusan Sosek Faperta Unibraw bukanlah satu hal yang mudah dihapus dalam relung-relung memori kita.Dan melalui blog inilah,setidaknya kita berusaha mengobati sepercik kerinduan akan masa lampau.Seraya berbagi pengetahuan juga pengalaman hidup.

Maka dalam kesempatan yang singkat ini,ijinkan hamba sahaya ini untuk ikut urun rembuk sekedar memanaskan diskusi putaran minggu ini.

Blog ini memang didedikasikan untuk sekedar melepas kangen.Mengalir saja bak air,dan no tendension.Tapi,setidaknya,ada 5 pilar kemenangan sejati yang terkandung dalam blog Sosektaers Unibraw.Saat kelimanya terasa "that's it !" ..."gue bangets ! or..it was done to my public space !"...saat itulah saya kira,..Blog ini telah memenangkan "pertempurannya" di medan juang dunia maya.

Oh iya,Sosektaers semua.Sebelum kita bahas ringkas pilar2 kemenangannya seperti apa.Mari kita bahas dulu,siapa sebenarnya musuh kita bersama ?yeah, who's our common enemy ?Musuh kita bersama dari awal blog ini berdiri sampai kiamat nanti adalah...KEBODOHAN ! atau KEJAHILIYAHAN,or apapun itu yang berkaitan dengan kemiskinan ilmu.Beberapa kali saya ulas dalam posting sebelumnya.Soal pepatah kaum zionis.."Who own the information,own the World !!!" pepatah itu menjadi sangat populer dikalangan think thank organisator kelas dunia saat dikumandangkan oleh Baron Rostchild di kastilnya pada abad pertengahan saat merancang cara cepat menguasai dunia dengan membuat resep (blueprint) yang terkenal dengan sistem ekonomi monetaris; ekonomi berbasis uang kertas dan berpusat pada elit swasta bernama Bank (note:terbukti sukses ! memiskinkan dunia,kan).Intinya,saat informasi tidak kita dapatkan secara komprehensif,maka laku tindakan kita akan terdistorsi,kacau--berantakan.Dan akhirnya,kita hanya akan menjadi--tidak lebih dari sekedar-- "abdi yang shalih" (bahasa halus dari budak) kehidupan sosial ekonomi yang tidak berkeadilan.

Maka,sambil menunggu kejutan2 selanjutnya yang akan terus bergerak.Here...5 pilliar of winning for Sosektaers' blogger...

Pilar Pertama,..."Integrity".Quote statementnya..."Integrity is our reality,not only a commitment" .Intinya,bukan blogger Sosektaers unibraw namanya,kalo tidak memiliki integritas dalam praktek kesehariannya,baik di dunia maya maupun di dunia nyata.Kutipan point-nya ; Integritas adalah praktek nyata kita,bukan sekedar komitment doang (!).Lebih lengkapnya akan kita kupas tuntas dalam posting selanjutnya,okeh.Lanjut kang...

Pilar Kedua,..."Compliance".Quote statementnya..."No more truth without critical reason".Pesan dasarnya adalah,bahwa seorang Blogger Sosektaers sejati adalah pribadi yang tidak akan (never..never..and never) menerima setiap informasi or ilmu apapun itu tanpa dikaji dengan matang dan hati-hati.Ciri yang paling mudah dilihat,jika Sosektaer telah terjangkit virus "Compliance" adalah...kritis terhadap segala hal,mau menerima segala sesuatu tapi yang "make sense".Ulasan lengkapnya soal Compliance ini akan kita bahas tutas pada kesempatan posting berikutnya. Oke,Bro..Sis...terus mang....

Pilar Ketiga,..."Empowering".Quote statementnya..."Enrich people,get rich forever."Waah...pilar yang satu ini kesannya kayak marketing banget ya..
Enggak juga kawan.Pada kesempatan yang tersedia nanti kita akan temukan betapa dahsyatnya efek melingkar dari"memberi" dalam konteks memberdayakan orang lain disekitar kita terhadap konsekuensi yang akan kita terima kemudian.Ciri Sosektaers Unibraw yang sukses terjangkit virus ini adalah...dalam keseharian hidupnya lebih fokus pada "Nilai tambah apa yang bisa saya berikan untuk...".Lanjut masss...

Pilar keempat,..."Chalenger". Lho..kayak nama roket NASA yang meledak dan menewaskan astronoutnya ya?
Quote statementnya..."Change,We Can Believe in"...Walaaaah...kok jadi copy paste kampanyenya Om Barrack Obama ya? Seorang Sosektaers Unibraw tulen adalah seorang Chalenger sejati.Tidak tidak hanya puas dengan kemapanan yang telah diraih,tapi juga terus berikhtiar untuk melompat..melampaui ..puncak puncak gunung prestasi selanjutnya.Ulasan soal ini kayaknya bakal asyik untuk didiskusikan panjang lebar.Pada waktu yang tersedia selanjutnya akan kita belejeti habis2an.Okye...Bro..Sis...and the last one is...

Pilar Kelima,..."Champions".Quote statementnya..."Forever Champions is forever loves".Rada melankolis,dramatis,tapi happy ending.ya kan.Sosektaers yang mengidap virus ini akan memiliki sikap yang optimis dalam sikap,tindakan,dan perkataannya.Kemenangan diraih selamanya dalam tiap wacana,rencana,proses,dan hasilnya.Karena kita percaya bahwa manusia diciptakan untuk berikhtiar meraih masimal RidhaNYA. Seorang real Champions ,adalah seorang yang terbuka pikiran,hati,dan perasaannya terhadap apapun.No hearth feeling,dan selalu aktif mereproduksi kualitas kehidupan yang lebih baik.Semoga masih cukup waktu buat saya dan all blogger Sosektaers untuk bisa mem"bumi"kan apa yang kita bahas kali ini.Kalo ada yang kesalahan dan kekurangan,itu pasti,dan saya bertanggungjawab atas apa yang saya tuliskan pada posting kali ini.
Anda bisa keep in touch with PM to
YM address luqman.setiawan (selama saya online ya)
or..
email to:
luqman.setiawan@gmail.com
or..
milinglist sosektaers unibraw @ klik di icon atas

so...
any coment,please ?

Minggu, 15 Februari 2009

Krisis Gombal LKM FP UB

Universitas Brawijaya yang biasa dikenal dengan Unibraw atau UB saat ini sudah banyak sekali perubahan, baik dalam segi fisik, fasilitas maupun sistem pengajaran, apalagi buat anda yang sudah lebih dari 3 (tiga) tahun tidak pernah berkunjung ke UB pasti terkejut.

Dari segi fisik sangat terlihat perubahan yang sangat berarti, jalan masuk yang dulu hanya dari satu gerbang (jalan veteran) dan tidak ketat untuk masuk, sekarang dapat diakses dari semua gerbang yang ada di unibraw. Setiap gerbang ada petugas yang memeriksa kendaraan yang keluar masuk, dengan dilengkapi portal seperti kalau kita ke gedung-gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan. Jalan utama yang menghubungkan antara gerbang Veteran dan Soekarno Hatta semakin lebar dan di tengahnya terdapat median jalan. Didepan rektorat dibuat bundaran yang ditengahnya terdapat tugu UB. Ditambah dengan adanya gazebo di sisi timur bundaran yang dapat digunakan untuk mahasiwa berkumpul.

Fasilitas juga berubah, saat ini hampir setiap titik di UB dapat diakses Hot-spot secara gratis oleh mahasiswa, sesuatu yang mungkin 3 tahun lalu belum dapat dirasakan. Sehingga jika kita berputar-putar di UB banyak kita jumpai mahasiswa yang membawa Laptop dengan mengakses hot-spot tersebut. Faslitas laboratorium-pun juga semakin bertambah.

Bagaimana dengan Fakultas pertanian? Fakultas pertania-npun juga berbenah dan berubah. Segi fisik mengalami perubahan, jika dulu gazebo hanya di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) maka hampir setiap gedung jurusan memiliki gazebo, sehingga tempat kumpul-kumpul mahasiwa tidak hanya terkonsentrasi di PKM saja. Di setiap gazebo dilengkapi dengan aliran listrik, sehingga mahasiswa tidak perlu khawatir laptopnya kehabisan batre. Selain itu juga disediakan fasilitas hot-spot gratis untuk mahasiswa disetiap gedung jurusan, sehingga mahasiswa dengan mudah mengakses internet baik dalam rangka akademis, maupun hanya senang-senang saja. Ruang kuliah beberapa telah dilengkapi AC beneran, kalau dulu juga pake AC, tapi itu Angin Cendela. Beberapa ruang kuliah juga telah dilengkapi dengan LCD proyektor, untuk kuliah mahasiswa dan dosen tidak perlu lagi membuat transparan OHP dan selesai kuliah berebut untuk difotocopy

Sistem pengajaran-pun menurut pengamatan saya juga berubah, benar apa yang dikatakan oleh saudara kita yang pernah menulis tentang metode pengajaran yang ybs lakukan di UB. Saat ini kuliah hanya dilakukan selama 4 hari, senin, selasa, kamis dan jumat, mulai pagi hingga sore (mungkin juga bisa malam). Khusus hari Rabu adalah hari praktikum, sabtu dan minggu kegiatan akademis libur kecuali jika ada keadaan tertentu. Parktikum? Semakin banyak. Jika dulu di Sosek terkenal paling sedikit praktikum maka saat ini sosek-pun juga banyak praktikum. Hal ini juga ditunjang dengan fasilitas lab dan sarana lainnya yang memadai. Menurut pengakuan adik-adik mahasiswa, beberapa dosen sudah mewajibkan menggunakan bahasa Inggris, apakah itu untuk perkuliahan, tugas maupun ujian.

Jika kita lihat sekarang dibandingkan dengan 3 atau bahkan 10 tahun yang lalu, pasti kita akan iri melihat fasilitas yang dinikmati olah adik-adik kita. Jangankan fasilitas hot-spot seperti sekarang ini, setiap mahasiswa belum tentu punya komputer, bahkan bisa menggunakan komputer walapun hanya rental-pun sudah alhamdulillah. Akan tetapi semua kemudahan itu menjadikan Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) semakin sepi. Jangan pernah bayangkan PKM saat ini sama dengan 5 atau bahkan 10 tahun yang lalu dimana 24 jam dalam 7 hari tidak pernah sepi. Saat ini hari sabtu dan minggu bahkan terkadang hari lainnya-pun sepi tidak tampak sebagai pusat kegiatan mahasiswa.

Bagaimana ini bisa terjadi? Menurut mahasiswa, mayoritas dari mereka mengaku kelelahan mengingat beban kuliah saat ini sangat berat, tuntutan akademis kepada mereka menyebabkan mereka kekurangan waktu untuk diluar kegiatan akademik. Mereka terkadang jam kuliah mereka menyamai jam kerja dimana masuk pagi dan selesai sore. Hampir setiap hari mereka dicekoki dengan tugas dan laporan praktikum. Bahkan sabtu dan minggu-pun harus menyelesaikan tugas dan praktikum yang ada. Dengan sistem pengajaran seperti ini mayoritas mahasiwa kelabakan untuk membagi waktu yang dimiliki untuk kuliah, organisasi dan pribadi.

Jika dulu sore hari mahasiswa bisa menyisihkan waktu untuk berorganisasi maka saat ini mayoritas mahasiswa msngungkapkan sudah tidak mungkin. Jika mereka tidak kuliah, maka waktu tersebut harus digunakan untuk menyelesaikan tugas yang mereka miliki, sehingga tidak terbersit untuk berorganisasi. Padahal sabtu-minggu libur, seharusnya bisa dimanfaatkan untuk organisasi? Pada kenyataannya berbeda, dengan waktu kuliah yang mirip orang kantoran, maka sabtu minggu mereka ingin beristirahat total dirumah, bahkan tidak jarang sabtu minggu-pun masih harus mengerjakan tugas.

Itulah kenyataan yang dialami oleh organisasi kemahasiswaan saat ini, semakin berkurangnya tingkat pasrtisipasi mahasiswa. Lembaga kegiataan mahasiswa (LKM) Faperta saat ini dalam kondisi yang mati segan hidup-pun sulit. Kecil sekali partisipasi mahasiswa kepada organisasi di Fakultas pertanian. BEM dan DPM sebagai inti LKM FP UB pun juga sering tidak aktif, hal ini juga diikuti oleh beberapa HMJ dan UKM. Ruangan merekapun sepi bahkan lebih sering tutup tak ada penghuni dan kegiataan. Hanya beberapa HMJ dan UKM yang masih bertahan. Saya jadi ingat dulu ketika Permaseta tidak ada kegiataan, ada istilah buat “Tape”. Sekarang beberapa organisasi di LKM FP UB yang berlomba buat “Tape”

Bagaimana dengan Permaseta? Permaseta-pun terkena imbah “krisis gombal” juga, semakin lama tingkat partisipasi mahasiswa juga semakin menurun bahkan bisa-bisa Permaseta dapat bubar 2 atau 3 tahun lagi jika kondisi tidak diperbaiki. Permaseta bisa menjadi pabrik “Tape” lagi. Sebuah istilah dimana ruangan organisasi tidak pernah dibuka mirip dengan orang buat tape. Pengurus dan senior Permaseta yang ada, merasa kesulitan untuk menarik anggota dengan alasan akademis. Padahal setiap tahun anggota baru permaseta tak kurang dari 200 orang, tapi tingkat partisipasinya sangat kecil sekali.

Sebuah ironi, dimana fasilitas dan sistem pengajaran yang disempurnakan akan tetapi dapat mematikan organisasi kemahasiswaan. Seharusnya perkembangan fasilitas dan sistem pengejaran dapat bersinesrgi dengan kegiataan kemahasiswaan, bukan malah mematikan. Kegiatan akademis seyogyanya memberikan kesempatan kegiatan kemahasiswaan untuk dapat berkembang, dikarenakan kegiataan kemahasiswaan dapat melengkapi akademis selama di perguruan tinggi.

Sebuah harapan agar rekan-rekan kami yang duduk sebagai pengajar dapat bersinergi dengan adik-adiknya yang saat ini sedang dibimbing Universitas Brawijaya. Memberikan kesempatan adik-adiknya untuk mengembangkan diri di organisasi dan juga membimbing mereka sebagai senior diluar kegiatan akademis. Akan tetapi hal itu tidak dapat dijalankan jika kemauan dari mahasiswa untuk membagi waktunya baik untuk akademis dan organisasi yang tidak ada.

Semoga permaseta semakin berkembang dan Unibraw semakin Jaya.

juga bisa anda lihat di
www.machbub_papa.blogspot.com



Kamis, 12 Februari 2009

Salah Adopsi

Saya juga tidak tahu awal mulanya bagaimana bisa saya sebagai orang Jawa telinga ini lebih nyaman mendengarkan lagu yang dinyanyikan oleh Samsons dan band-band yang lain daripada alunan musik kelompok penabuh gamelan mengiringi sinden (penyanyi) Jawa. Atau mendengarkan Melly Guslow bernyanyi daripada mendengarkan Waljinah mendendangkan Macapat. Apakah karena sejak kecil bahwa musik pop lebih familiar di telinga saya daripada tembang-tembang Jawa. Di radio, di sekolah, di kampus, di tempat kerja, stasiun, pasar, mall, rumah sakit dan angkutan umum. Saya pikir apakah karena saya termasuk orang kosmopolitan, lebih toleran terhadap budaya orang lain. Khas manusia produk pendidikan modern dan lumayanlah walaupun tidak tinggi-tinggi amat, cukup S1, masih masuk dalam kasta intelelektual. Maaf sedikit narsis. Tapi ternyata tidak juga, mohon maaf, tetangga saya hanya tamat SD, tapi selera akan musik sama, beda aliran saja. Penggemar bang Haji dan bang Mansyur S. Musik dangdut, yang katanya budaya kita, tapi sama saja itu musik impor. Atau anak-anak kecil dikampung yang lebih fasih mendendangkan lagunya Peter Pan daripada karya Bu Kasur. Kalaupun bisa menyanyikan lagunya Bu Kasur sekedar tuntutan saja dari gurunya bukan kegemaran.

Belum lagi “dosa” yang saya buat karena lebih menyukai nonton film di bioskop daripada pagelaran wayang kulit. Melihat kondisi fisik saya, warna kulit, bentuk tubuh, cara bicara saya yakin bahwa saya adalah anak kandung ibu pertiwi ini. Tapi kenapa segala sesuatu yang berkaitan dengan ciri khas ibu pertiwi saya kurang menyukai. Apa mungkin saya termasuk yang beberapa kawan menyebutnya “anak haram” ibu pertiwi. Lahir dan besar dalam asuhan ibu pertiwi tetapi kemudian menghianatinya, pejabat yang merampok harta rakyat, bukankah rakyat saudara kandungnya, pengusaha yang suka menindas,, membabat habis hutan, menimbun sembako untuk kepentingan bisnis, rakyat yang rakus, politisi memelintir kepentingan rakyat, seniman menyesatkan dan kaum bromocorah yang membuat kerusakan di rumah ibunya sendiri. Kalau dibanding dengan mereka mungkin dosa saya kepada ibu pertiwi masih dosa kecil. Barangkali..

Hingga suatu ketika saya berpikir apakah produk-produk budaya yang lahir dari ibu pertiwi dari Sabang sampai Merauke adalah suatu wasiat yang harus dijalankan, peninggalan yang harus dilestarikan. Seorang kawan berkata kepada saya bahwa tidak penting apakah dirimu fasih berbahasa ibu kamu, mendendangkan lagu kesukaan ibu kamu, berpakaian dengan pakaian ibu kamu, tetapi jauh lebih penting adalah sebagai kecintaan terhadap ibu kamu dengan melayani kebutuhannya. Pejabat harus mengenyangkan rakyatnya. Pedagang berbuat jujur pada pembelinya. Si kaya menyantuni yang yang miskin. Tidak merusak alam tempat ibu pertiwi. Politisi tidak berbohong. Seniman mencerahkan. Rakyat taat hukum. Luar biasa sepertinya. Maka saya berpikir bahwa mungkin ibu pertiwi jauh lebih mencintai kawan Tionghoa atau blasteran yang wajahnya sering muncul di sinetron sekarang, yang sering disebut bukan penduduk pribumi, selama mereka melayani ibu pertiwi ini.

Ternyata Allah memberikan anugerah kepada saya untuk bertemu dengan orang-orang luar biasa, hingga saya bertemu dengan kawan saya yang seorang penabuh gamelan Jawa. Hasil pembicaraan dengan kawan saya tadi tidaklah membawa pencerahan kepada saya. Karena saya semakin bingung. Kawan saya bertutur tentang sejarah gamelan, fungsi, hingga citra yang bisa diangkat darinya. Luar biasa. Setiap not, syair, mengandung kalimat adiluhung, tak seperti lirik-lirik lagu picisan sekarang. Belum lagi tuturnya tentang wayang kulit dan lain-lain. Saya pikir orang-orang luar biasa ini lebih pantas jadi anak kandung ibu pertiwi.

Dalam banyak diskursus tentang budaya dan ke-Indonesiaan maka budaya menjadi alat yang ampuh dalam membentuk kualitas masyarakat. Budaya menjadi modal sosial yang digunakan dalam pembangunan bangsa ini. Karena omong kosong tanpa modal sosial yang cukup bangsa ini akan bisa berdiri kokoh. Modal sosial semacam gotong royong, toleran, ramah, santun dan inklusif. Kesenian didalamnya ada musik merupakan proyeksi budaya yang berkembang. Hegemoni budaya dari barat yang melakukan penetrasi offensif melalui media terutama media visual baik secara sadar maupun tidak telah memperngaruhi pola pikir kita.. Paradigma dan cara pandang kita sebagai anak bangsa, anak ibu pertiwi berbelok sekian derajat setiap harinya. Hingga akhirnya posisi kita memandang persis ke negara-negara barat. Apabila ini dilakukan secara berjamaah atau secara massal maka ini sama saja proses penyerahan diri, penghambaan pada nilai-nilai budaya mereka. Jika budaya telah dikuasai maka tunggu saja hingga saat nanti harta, jiwa, raga akan diminta. Persembahan untuk sesembahan baru penduduk ini.

Lantas dimana posisi saya, gamelan, musik pop, tetangga saya yang tidak hanya tamat SD, dangdut kawan saya penabuh gamelan. Atau kawan saya di Aceh, tari Saman, modern dance, rock n roll. Atau kawan saya di Bali, Sulawesi dan bagaimana dengan anda. Bagaimana menjelaskannya kepada ibu pertiwi, bahwa cinta saya, kawan saya, anda sangatlah besar. Apakah pada kesimpulan bahwa musik hanyalah alat budaya, mau gamelan, band, atau apalah yang penting pesan yang ingin disampaikan memiliki makna. Musik modern menjadi lebih sederhana dalam berkomunikasi karena beragamnya kesenian kita. Ismail Marjuki, WR Supratman menggunakan notasi modern. Lagu-lagu religi mengalir dalam alunan musik modern atau bernuansa etnik bangsa lain. Jadi mungkin analog dari bukan bahan suratnya tapi pesannya lebih penting. Atau pada tahap tertinggi dari cinta, hanya mampu memberi tanpa meminta, maka simbol-simbol cinta tidaklah penting. Atau memang saya telah durhaka. ??????

Tulisan ringan ini meluncur begitu saja. Salam Boy

Sabtu, 07 Februari 2009

BUKU “TIDAK CUKUP HANYA CINTA”


Judul Buku : Tidak Cukup Hanya Cinta
Pengarang : Tri Wahyuni
Halaman : 128 hal
Penerbit : Araska, Jogjakarta
Terbitan : Agustus, 2008

Akhirnya buku “Tidak Cukup Hanya Cinta” karya saya ini hadir juga.
Buku berjudul “Tidak Cukup Hanya Cinta” berisi 10 cerpen yang sebagian cerpen saya telah di pubikasikan di media cetak.
Buku ini mengambil tema seputar cinta dan persahabatan. Tema cinta dan persahabatan yang sengaja di hadirkan merupakan persoalan yang begitu dekat dengan kehidupan kita dan dapat ditemukan dalam kesaharian
Bahasa bersahaja dan persoaan bersahaja, bahasa sehari-hari dan persoalan sehari-hari. Kisah-kisah sehari-hari yang dipungut, diangkat dan didetikan dalam cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen ini.Silahkan menikmati membacanya
Tri Wahyuni'98

Rabu, 04 Februari 2009

Jamur Politik Bermekaran

Anda suka makan jamur? Jika anda tanyakan pada saya, pasti saya akan bilang “suka sekali, insyaAllah”. Kenapa? Jamur itu enak, apalagi kalo bulan-bulan seperti ini dimana hujan turun sepanjang hari-sepanjang bulan, merupakan waktu yang cocok untuk perkembangan jamur. Coba kita jalan-jalan ke pekarangan atau daerah dekat persawahan, pasti kita akan menemui banyak sekali jamur. Eh tapi maaf yang rumahnya sudah tidak punya atau jauh dari pekarangan dan persawahan. Kita akan menemui berbagai jenis jamur dari yang seperti paku payung kecil-kecil, seperti payung yang lebar bahkan jamur yang berwarna coklat kehitaman (tidak menarik untuk dipandang apalagi dimakan). Ada yang tumbuh di tanah, jerami, kayu hidup dan mati bahkan (maaf) kotoran hewan

Nah dari beberapa jamur itu ada yang bisa dimakan adapula yang tidak bisa dimakan bahkan beracun. Beda dengan jamur yang dibudidayakan, dimana memang benar-benar tidak harus tergantung musim hujan. Dikembangkan secara komersil dan memiliki daya jual yang tinggi. Anda pernah lihat yang mana? Atau pernah makan yang mana? Kalo saya insyaAllah pernah lihat yang liar dan yang dibudidayakan, pernah makan yang liar bahkan yang dibudidayakan. Yang saya makan harus dengan syarat, halalan thoyibban, tersedia untuk saya dan saya mau, hee...he...

Tapi saat ini banyak tumbuh jamur dimana-mana, apalagi tahun 2009 adalah tahun dengan iklim yang sangat mendukung. Lho kok bisa, padahal dengan gejala iklim yang mengalami ”penghangatan global” apa benar jamur bisa tumbuh subur? Jika kita lihat dipohon-pohon disekitar kita tumbuh jamur-jamur sangat cepat, bahkan dalam jangka waktu semalam saja kita akan menemukan jamur dalam ukuran dan warna yang beragam, bahkan di satu pohon bisa ada berbagai macam jamur, saling tindih, saling tutup, saling rusak bahkan saling ejek. Wah tambah aneh jamur kok bisa saling ejek? Emang jamur apa-an sih? Jawabnya jamur politik, yaitu spanduk, pamflet baliho, bendera partai, caleg, cagub yang berserakan dimana-mana, berebut tempat dengan pamflet ”sedot WC”, les piano hingga pil terlambat datang bulan.

Jika kita lihat sekarang banyak sekali poster, pamflet, bendera, baliho hingga stiker baik dalam ukuran kecil hingga seukuran lapangan bola volly dapat kita jumpai. Dari pemasangan yang berijin hingga pemasangan liar yang sembunyi-sembunyi. Pemasangannya-pun tidak memikirkan keindahan, ada yang dipasang di kaca belakang mobil, dipohon-pohon, bahkan yang ”beruang” bisa pasang di tower iklan. Selain merusak pemandangan juga membahayakan. Contoh di Surabaya baru-baru ini ada baliho besar milik seorang caleg roboh, mencederai ibu dan anak yang kebetulan lewat dibawahnya.

Semakin hari semakin banyak ”jamur-jamur” itu bertebaran apalagi menjelang pemilihan legeslatif bulan april ini. Jika kita buat hitung-hitungan maka akan sungguh mencengangkan. Apabila di suatu daerah pemilihan maksimum kursi yang diperebutkan adalah 10, maka jumlah celag adalah 10 kursi dikalikan 38 partai, dihasilkan 380 caleg. Tapi 380 caleg itu adalah untuk DPRD tingkat 2 atau kabupaten/kota, belum untuk DPRD provinsi dan DPR RI. Jika dipukul rata maka 380 caleg dikalikan 3 tingkatan lembaga DPR, menjadi 1.140 caleg. Bayangkan jika separuh caleg menggunakan media yang sama dengan ukuran yang berlomba-lomba besarnya, maka dapat dipastikan semua lokasi disekitar kita akan pernuh dengan ”jamur politik”.

Apakah salah menggunakan media tersebut? Tidak pernah salah, ”jamur politik” tersebut adalah salah satu media yang dapat digunakan untuk mempromosikan diri, menyampaikan pesan, menggaet pemilih hingga meningkatkan gengsi dari pemilik ”jamur politik” tersebut. Banyak orang yang mengatakan mubadzir cara-cara tersebut dikarenakan tidak komunikatif. Bahkan ada yang mengatakan jika di dalam ”jamur politik” tersebut fotonya saja tidak meyakinkan, bagaiman nanti ketika terpilih pasti kerjanya tidak meyakinkan. Bagi saya itu sah-sah saja, apalagi dengan seperti itu ekonomi indonesia dapat berputar ditengah kondisi yang kurang menentu, terutama usaha percetakan yang kebanjiran order.

Meskipun saya mengatakan sah-sah saja cara-cara tersebut, saya ingin mengkritisi atau mungkin tidak suka terhadap beberapa model ”jamur politik tersebut” diantaranya:

  1. Jika dalam ”jamur politik” yang dilatar belakang terdapat gambar orang lain, atau pernyataan bahwa si caleg adalah .... dari orang lain, apakah orang lain tersebut calon presiden yang diusungnyanya, ketua atau penasehat partainya atau mungkin orangtuanya. Bagi saya ini menunjukkan kekerdilan caleg tersebut, terlepas dia ingin mempromosikan orang lain tersebut. Karena dengan ”mendompleng’ orang lain menunjukkan jika tanpa orang tersebut dia tidak bisa apa-apa. Jika berani tampilkan diri sendiri tanpa latar belakang orang lain, maka akan menunjukkan bahwa calon tersebut adalah calon yang kuat, tidak terpengaruh orang lain dan tidak bergantung pada orang lain.
  2. Jika ”jamur politik” hanya untuk minta dipilih, dimana tidak komunikatif kepada konstituen. Memang ”jamur politik” sangat terbatas tidak bisa menyampaikan pandangan dari caleg tersebut. Akan terapi seharusnya caleg tersebut dapat menginformasikan dimanakah konstituen dapat bertemu atau menghubungi sang caleg untuk dapat berkomunikasi dua arah untuk mengetahui visi dan misi caleg serta aspirasi konstituen yang akan diwakilinya. Jika disimak bahwa hal itu sepertinya memang dihindari oleh mayoritas caleg, dimana mungkin mereka memiliki keterbatasan untuk berkomunikasi langsung, kurangnya kepercayaan diri untuk bertemu konstituen, mungkin ketakutan jika nanti harus melakukan kontrak politik, bahkan takut jika dimintai uang oleh konstituennya.
  3. Jika ”Jamur Politik” malah menjelekkan pihak lain, atau dalam bahasa kerennya ”black campaign”. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan dari pihak yang menjelekkan, untuk menutupi ketidakmampuan tersebut dengan menjelekkan pihak lain. Suatu tindakan yang kurang terpuji, jika kita hanya berupaya mencari kekurangan orang lain sedangkan dirinya sendiri tidak melakukan perbaikan. Jika masih caleg sibuk mencari kekurangan orang lain, maka apakah nanti setelah jadi mereka hanya sibuk mencari kekurangan orang lain bukannya malah bekerjasama untuk kemaslahatan masyarakat
  4. dll....dll...(masih banyak lagi...mungkin anda juga punya pandangan sendiri....)

Jadi berhati-hatilah dalam memilih ”jamur politik” apalagi jamur liar yang kita tidak tahu jenis apakah jamur tersebut, karena bisa-bisa kita yang keracunan dan rugi sendiri. Agar tidak salah, maka pilihlah ”jamur politik” yang dibudidayakan, dalam artian memang siap untuk membela rakyat, kita tahu jenisnya dan itulah ”jamur politik” dengan harga jual yang tinggi. Ini bukanlah catatan orang yang paham benar politik, tapi tulisan orang yang tergelitik kerhadap situasi politik saat ini

Matjhbeob, 99

anda juga bisa melihat di www.machbub-papa.blogspot.com