Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Rabu, 25 Februari 2009

PELAJARAN BERHARGA DARI WARUNG KOPI

Sebagai orang kampung yang perantauan, setiap kali pulang kampung selalu menyempatkan diri minum kopi di warung kopi langganan saya di pinggir jalan. Ngopi jahe atau teh jahe sambil nyamil gorengan rasanya nikmat sekali. Cukup dua puluh ribu rupiah untuk mentraktir 4 orang kawan saya dikampung. Gelas sederhana, penganan yang ala kadarnya, tempat yang jauh dari mewah, dan meja dari kayu yang sudah tua. Tidak ada kemasan yang membuat nya menarik seakan2 kita ada di kafe2 kopi yang menjamur di Bali atau Jakarta. Sebenarnya ada nilai lebih yang saya dapatkan ketika saya ngopi di kampung pinggir jalan. Suasana kebersamaan, kekeluargaan, sosialisasi ke masyarakat itu sebenarnya yang saya cari. Karena diwarung kopi pinggir jalan tersebut berbaur berbagai macam orang dengan latar belakang yang berbeda.

Kadang2 ditemani oleh pengamen yang menyanyikan lagu Iwan Fals (orang yang lebih merakyat dibanding wakil rakyat) atau lagu SLANK dengan kritikan ala Jakarta membuat saya berat untuk kembali pulang ke tanah perantauan. Disini saya merasakan hidup sebagai manusia Indonesia (atau khususnya orang Jawa) seutuhnya. Bisa bersosialisasi, bercerita, bermasyarakat yang sangat sulit didapat di kota besar sekarang ini. Merasakan bisa berinstropeksi bahwa saya ternyata semakin individualis, merasa seakan2 lebih pintar dengan orang2 di kampung saya.

Berbaur dengan berbagai macam orang tanpa ada yang merasa pintar, bebas berpendapat, dan bebas dalam berekspresi. Terkadang tukang becak, loper koran, penjual vcd bajakan dengan spontan saling berpendapat. Dan saya merasakan ini riil dan realitas kehidupan masyarakat kita.
Tema pembicaraan mulai dari yang remeh temeh sampai ke yang berat tentang masalah politik mewarnai perbincangan di warung kopi. Semua sederajat, tidak ada lebih pintar, dan saya merasakan bahwa merekalah nantinya yang akan menentukan pilihannya dalam pemilu april nanti. Kesepakatan dalam tema2 pembicaraan diambil berdasarkan kemufakatan. Tidak ada yang tercederai dalam proses ini. Walaupun menurut saya hal2 yang disepakatin kadang2 jauh dari nalar saya yang seakan2 sudah merasa menjadi kaum intelektual. Tapi itulah fakta masyarakat warung kopi, miniatur masyarakat kita yang toleran, sederhana, terbuka dan apa adanya.
Di warung kopi ini saya merasakan diri saya adalah orang Timur dengan budaya yang adiluhung. Dan tidak bisa dibandingkan dengan budaya manapun walaupun saya mempelajari peradaban dan budaya2 dunia. Saya merasakan menginjak bumi dan inilah tempat saya berpijak.
Kopinya pun dari jenis robusta, produksi asli perkebunan kopi di tanah Indonesia, rasanya pahit dan karena kadar cafeinnya tinggi cukup membuat saya dapat menahan kantuk lebih lama. Gelasnya pun sederhana, sesederhana penjualnya yang punya cita2 agar anak2nya bisa kuliah di PT dan bekerja di tempat yang lebih nyaman. Tidak bernasib sama seperti dirinya.

Nasehat pun mengalir dengan tulus jika ada orang yang kelihatan suntuk dan membutuhkan nasehat. Terkadfang orang yang gak punya uangpun bisa berhutang untuk minum kopi di warung kopi tersebut. Tanpa ada perhitungan yang rumit pengutang pun bisa menikmati kopi dengan nikmatnya. Sangat kekeluargaan, saya tergelitik untuk bertanya kpd penjualnya gmn kalau yang utang tidak bayar. Sungguh sangat menyentuh hati saya jawabannya, dia bilang gak apa2 nanti Tuhan pasti akan memberikan rejeki yang lebih besar dari nilai hutang segelas kopi tersebut. Penjual menganggap itu sedekah atau amal jariah. Saya merasakan pelajaran yang luar biasa disini. Sudah sedemikian individualkah saya?? Sungguh beruntung di kampung saya masih ada warung kopi yang sederhana, jauh dari modernisasi kota metropolitan. Ternyata nilai luhur bisa saya dapatkan dari warung kopi. Banyak pelajaran berharga saya dapat dari sana.


SAI SEA'96

6 komentar:

Anonim mengatakan...

Warung kopi,..positif dari sisi sosial ekonomi masyarakat,karena ada aspek sosialisasi pertukaran informasi.
Cuma kalo udah kelamaan di warung bisa wasting time,dan memboroskan waktu.
Biasanya,ada 2 puncak keramaian (peak season)nya warung kopi.Di pagi hari dan di malam hari.
Pemborosan waktu karena kelamaan nge-temp di warkop pagi hari berakibat hilangnya waktu2 berharga dlm beraktifitas "mencari" nafkah lahir.
Sedangkan wasting time karena nongkrong di warkop kelamaan pada malam hari menimbulkan terpotongnya waktu terbaik dalam beraktifitas "menikmati" nafkah batin.Apalagi kalo nongkrong di warkopnya saat malam jum'at-begadang hingga pagi,tentu itu melanggar sunnah Rosul (Rachman tahu itu,kalo Siswanto kemungkinan sdh lupa sejak berjauhan karena mutasi keluar pulau)...

Anonim mengatakan...

permasalahan wasting time sebenarnya bukan sekedar masalah nongkrong...
tetapi ketika seseorang bisa lupa akan eksistensi sebagai manusia..bekerja hingga larut malam, otak terkonsentrasi pada masalah materi setiap detik..
dalam manusia modern sering disebut sbg yg berdedikasi thd pekerjaan, ttp bg saya harga yang harus dibayar atas hilangnya nilai2 kepedulian, humanisme, termasuk keluarga...dan sebagian besar kita terjebak pada itu, tak terkecuali saya...so??
bkn bermksd melakukan pembenaran atas nongkrong berlama-lama di warung kopi, hanya saja mengingatkan bahwa jumlah yang terjebak dlm modernitas lbh bnyk dr penongkrong kopi...bahaya yang plg dekat kita..
salam Boy

Anonim mengatakan...

@Boy
Esensi dari warkop sebenarnya adalah manifestasi dari kebutuhan tersier manusia yg ingin rehat bin relaksasi."Lari" dari rutinitas.."kewajiban2" yg harus ditanggung oleh seseorang terhadap profesi,lingkungan sosial,dan rumah tangganya.
yang saya khawatirkan,"Warkop Hub(titik berkumpul warga)" ini jika terus menerus diawetkan sebagai bagian dari aktifitas maka hal itu bisa jadi habit.Habit macam demikian yg tercermin dlm tetralogi penutup novel laskar pelangi yg dikau sayangi.Bagaimana seniman sekaliber Andrea Hirata menggambarkan secara ironis mentalitas melayu yg hidup bersandar dari dunia gosip yg terpusat di warkop.
Pertanyaannya lagi,kalo mau rehat dan "memakmurkan" suatu tempat keramaian,kenapa gak nongkrong dan meramaikan masjid saja,misalnya?mau ngopi,olah raga maen tenis meja,ngelepasin stress,dan sosialisasi juga bisa,malah dapat pahala dan terjaga bisa sholat jama'ah tepat sesuai dengan waktunya.
Yang terakhir ini komentar gak serius dari saya,tapi kalo mau di coba..gak ada salahnya,kan ?

Anonim mengatakan...

betul jg walaupun ternyata si Ikalpun jg nongkrong di warung kopi kalo ktm tmn2nya..bedanya kualitas obrolannya...
atau para eksmud yang hobi tenis,golf dll tetapi ujungnya hunting "kesenangan dunia",...jadi intinya bukan2 kumpul2nya tapi kualitas kumpulnya..
tapi kalo kumpul di masjid untuk solat, jauh lbh baik dr apapun...:-))
diskusi dg ka2k lq emg ga pernah habis, seperti mereguk air danau..he..
pelepas dahaga bagi yang haus dan pemberi kehidupan bagi yang kering...mantep..
nah skrg neh tugas kawan SAI yang bertanggungjwb atas tulisannya..mau nambah koment atau tulis lagi..he..he..
boy

Anonim mengatakan...

@Boy...
Kalo danaunya..danau sunter yg item pekat dan bau comberan...?
yg ada..kamu minum bukannya segar..tapi malah langsung mati..
ha..ha..ha...

Anonim mengatakan...

kopinya satu bu....gak pake lama....
rachman