Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Rabu, 02 Februari 2011

Menjadi Korban 30 Tahun-an, Mau...? (Renungan buat kita yang masih dijajah oleh pekerjaan)

Pengantar :
Ternyata ada satu kesamaan yg unik antara gejolak di Mesir yang terjadi saat ini, dengan Reformasi 1998 di Indonesia dan masa kerja kita menuju masa pensiun. Kesamaan sederhananya adalah, bahwa keberanian untuk "memerdekakan" diri ternyata umumnya dilingkungan kita membutuhkan waktu 30 tahun.Akankah kita terjajah dalam kerangkeng dunia kerja selama 30 tahun juga ?

Nah, dalam konteks di atas itulah, maka dalam kesempatan ini saya mohon ijin untuk menampilkan tulisan utuh dari Bpk.Muhaimin Iqbal berjudul "Menjadi Korban 30 Tahun-an, Mau...?" sumber asli dari tulisan ini saya dapatkan dari
Semoga dengan ditampilkannya tulisan ini di blog kita tercinta dapat membuat kita belajar bersama dan memiliki persiapan diri yang lebih baik daripada generasi pekerja yang terdahulu.
Berikut tulisan lengkapnya, selamat menikmati.
Salam, Luqman (Sosektaers Unibraw,1996)

==============
Menjadi Korban 30 Tahun-an, Mau...? PDF Print E-mail
Oleh Muhaimin Iqbal
Rabu, 02 February 2011 07:14

Hari-hari ini Mesir bergolak karena rakyat sudah tidak tahan lagi dengan tirani 30 tahun yang mereka derita dalam rezim Hosni Mubarak. Mereka mungkin belajar dari Indonesia tahun 1998 – ketika kita waktu itu mengalami hal yang serupa untuk periode rezim yang kurang lebih juga mirip yaitu 32 tahun. Pertanyaannya adalah mengapa baru setelah 30 tahun-an orang berani melakukan perubahan ?. Inilah yang terjadi di kita pada umumnya, kita hidup bersama gajah di ruang tamu kita – tetapi kita enggan untuk mengusirnya.



Bukan hanya rakyat Indonesia atupun rakyat Mesir, tidak sedikit pekerja yang merasa tertekan dan terjajah dalam pekerjaannya – tetapi sebagian besar mereka baru bisa memerdekakan diri juga setelah 30 tahunan – yaitu setelah pensiun. Bila Anda mulai bekerja pada usia 23 tahun dan pensiun pada usia 55 tahun, maka Anda bekerja selama 32 tahun – setara dengan satu rezimnya Orde baru atau rezimnya Mubarak !. Maka alangkah sayangnya bila di usia terbaik Anda tersebut – Anda tidak merdeka untuk berbuat yang terbaik menurut Anda sendiri.



Lantas apa faktornya yang membuat orang harus menunggu 30 tahun-an untuk bisa ‘merdeka’ ?. Pertama tidak banyak yang punya keberanian, di Indonesia misalnya sudah ada gerakan mahasiswa yang berani menentang pemerintah sejak tahun 70-an ; tetapi jumlah mereka saat itu kurang banyak sehingga mudah ditumpas.



Kedua karena tidak banyaknya dukungan, keberhasilan gerakan mahasiswa tahun 1998 adalah juga karena banyaknya dukungan masyarakat luas dan para tokoh-tokoh masyarakat. Saya ingat saat itu bahkan ada seorang ibu yang setiap hari membungkusi nasi untuk dikirim ke anak-anaknya dan temen-temen anaknya yang berhari-hari demo di Senayan. Hal ini tidak terjadi di tahun 1970-an.



Ketiga adalah karena complacency – orang merasa puas dengan apa yang ada sehingga enggan melakukan perubahan. Orang-orang yang merasa diuntungkan dengan adanya rezim yang ada baik di Indonesia sampai tahun 1998, mupun di Mesir sampai sekarang – tentu mereka tidak senang dengan arah perubahan yang ada – dan mereka inilah yang menjadi penghalang atas upaya perubahan itu.



Tiga faktor keberanian, dukungan dan complacency tersebut ternyata juga menjadi penyebab yang sama seseorang bisa ‘terjajah’ dalam pekerjaannya selama 30 tahunan sampai pensiun.



Banyak sekali pekerja yang tidak nyaman dengan pekerjaannya, tertekan karena harus melaksanakan sesuatu yang tidak sejalan dengan hatinya – tetapi sebagian besarnya tidak cukup keberanian untuk melakukan perubahan, baik secara internal di dalam lingkungan tempat bekerja ataupun melompat keluar dan menciptakan pekerjaannya sendiri. Dalam sebuah seminar di Surabaya baru-baru ini, teman pembicara saya dengan semangat ber-api-api menyerukan ditinggalkannya riba – tetapi tanpa sadar dia sendiri masih bekerja di institusi yang ‘mbah’-nya riba dan belum cukup keberanian untuk meninggalkan institusi tersebut.



Lingkungan dekat juga tidak selalu mendukung karena istri , anak-anak, apalagi orang tua dan para mertua Anda – mungkin akan menjadi penentang pertama ketika Anda mengutarakan niat keluar dari pekerjaan untuk berwiraswasta. Bagi orang-orang generasi orang tua kita dan generasi para mertua kita – yang masih terimbas pengaruh feodalisme, menjadi priyayi atau pegawai adalah pekerjaan yang terbaik menurut mereka. Mereka akan cenderung enggan memberikan dukungan pada anak dan menantunya untuk mulai merintis usahanya sendiri.



Penyebab ketiga Complacency umumnya diderita para pekerja yang sudah mapan, karena umumnya untuk mereka ini semua biaya ditanggung perusahaan, semua urusan ada yang membereskan – maka mengapa mau bercapek-capek mulai segala sesuatunya dari nol ?.



Bulan pertama saya berwiraswasta misalnya adalah bulan yang sangat kacau, saya bahkan tidak tahu membayar telepon, air, listrik kemana. Ini karena selama lima belas tahun semua diurusi oleh kantor tempat saya bekerja. Belum lagi masalah kesehatan , pajak, asuransi dlsb. tiba-tiba menjadi urusan sendiri – yang selama ini tidak pernah mengurusnya.



Terlepas dari berbagai permasalahan tersebut, saya bersyukur bisa ‘memerdekakan’ diri lebih cepat dari temen-temen seangkatan kerja saya. Saya tidak harus menunggu 30-an tahun bekerja sampai pensiun – baru merdeka dari pekerjaan-pekerjaan yang tidak sepenuhnya sejalan dengan hati saya.



Jadi masihkah Anda akan menunggu sampai usia pensiun untuk bisa ‘merdeka’ dan memulai berkarya di perusahaan Anda sendiri – yang bisa jadi ada di cita-cita Anda sedari muda ?. Kini mungkin waktu yang tepat untuk Anda mulai memikirkannya secara serius. Berpikirlah seperti rakyat Indonesia tahun 1998 dan rakyat Mesir sekarang, bahwa kita bisa ‘merdeka’ sekarang !. InsyaAllah.

=======================


noted :
Buat teman2 Sosektaers yang ingin diskusi banyak perihal investasi Emas secara umum dan investasi Dinar Emas secara khusus berikut teknikal dan strateginya, temans bisa sharing ke saya via media komunikasi yang tersedia dengan mengklik ---> contact

Kamis, 20 Januari 2011

Akhirnya terungkap, mengapa kita harus mengamankan tabungan dlm bentuk emas


Dear Temen2 Sosektaers, untuk mengisi kekosongan blog kita tercinta ini, berikut saya sajikan tulisan dari milis sebelah yang ditulis oleh Bpk.Endy Junaedy Kurniawan salah seorang praktisi investasi Dinar Emas di Indonesia.

untuk mendapatkan akses informasi terkait dinar emas, teman2 bisa kunjungi lapak online distribusi dinar emas milik saya dengan mengklik link di Forum Jual Beli Kaskus
atau bisa menghubungi saya via chatting ym dengan mengklik icon YM "hansip" disamping kanan.
Atau menghubungi kontak saya dengan mengklik-->contact

Ok,temans..berikut tulisannya :)
Salam, Luqman Setiawan (Sosektaers'96)

ANCAMAN DEINDUSTRIALISASI : AYAM (JANGAN) MATI DI LUMBUNG PADI

Written by Endy Junaedy Kurniawan


Assalamualaikum

Saya sering menerima masukan bernada kritik bahwa menyimpan emas termasuk kategori menimbun harta, sementara menimbun harta itu dilarang karena membuat harta tak beredar untuk menggerakkan ekonomi, dan ujungnya dikhawatirkan memiskinkan sebagian masyarakat. Islam melarang penimbunan harta, tidak ada keraguan.

Jawaban awal yang bisa dikedepakan untuk hal ini sebenarnya adalah adanya perintah zakat, anjuran infaq, shadaqah dan wakaf harta. Islam mengatur ini karena pasti selalu ada bagian harta kita, atau selalu ada sebagian masyarakat, yang mendiamkan hartanya. Maka zakat, infaq, shadaqah, wakaf (juga qardun hasan/pinjaman baik – pinjaman tanpa imbal hasil apapun, dan semata-mata untuk tujuan menggerakkan ekonomi masyarakat) adalah semacam ‘flushing’ di peredaran darah ekonomi, agar harta macet di simpul arteri bisa berjalan kembali.

Dengan mekanisme ini, ekonomi menjadi seimbang kembali, dan pihak-pihak hepi. Terangkat derajat dan kesejahteraannya bersama. Selalu ada gap antara yang miskin dan yang kaya, tapi jaraknya tipis saja. Pada jaman Umar ibn Khattab dan Umar bin Abdul Aziz tercatat, level ekonomi terbawah terkikis habis, sehingga sulit salurkan zakat, bukan karena tak ada muzakki, tapi justru tak ada mustahik. Level ekonomi menengah tetap ada, tapi mereka bukan objek penerima zakat dan jaminan negara. Sehingga di masyarakat, bagian piramida terbawah hilang. Jumlah terbesar ada di level menengah, dan sebagian kecil di level atas.

Bandingkan dengan fakta yang ada di masyarakat sekarang. Menurut Ust. Dr. Irfan Syauqi Beik, potensi zakat Indonesia Rp 100 Trilyun per tahun (dunia : Rp 6 ribu Trilyun), baru terkumpul 1,5% - nya atau hanya Rp 1,5 Trilyun. Angka ini jelas belum mampu menjadi solusi kemiskinan dan pengembangan taraf kehidupan separuh lebih penduduk negeri ini yang berada di bawah garis kemiskinan. Hasil litbang Kompas yang dikutip geraidinar.com menyebutkan penduduk miskin dengan pengeluaran USD 2 – 4 per hari berjumlah 59,24% atau 146,3 juta jiwa. Ini mendekati angka World Bank yang menyebut angka 170 juta jiwa, dan 3 kali lipat lebih dibandingkan angka versi pemerintah yang meng-klaim ‘hanya’ 30 juta penduduk miskin.

Apakah memang menyimpan emas termasuk menimbun harta? Jika kewajiban ziswaf ditunaikan dan menjadi kesadaran kolektif sehingga potensi sebesar Rp 100 Trilyun per tahun di negeri ini benar-benar dapat digalang, menurut saya tidak ada celah untuk saling menyalahkan. Itu baru tentang zakat, PR pertama kita.

Ada hal lain, seringkali muncul desakan pertanyaan berikutnya : “Harta masyarakat harus lebih banyak mengalir lewat lembaga keuangan dan perbankan, agar ekonomi bisa bergerak lebih cepat. Jika menyimpan emas, ini tak terjadi.”

Saya harus tanya balik untuk memastikan yang bertanya tahu keterhubungan langsung jumlah dana yang kita tabung dengan produktivitas ekonomi. Jika kita menabung atau menyimpan sejumlah uang di bank, berapa dari jumlah itu yang akan mengalir untuk membiayai roda ekonomi sehingga menyebabkan pertumbuhan?

Sekitar 10%-15% jika Anda tabung di bank konvensional.
Atau mencapai 70% jika Anda tabung di bank syariah.

Saya mesti bilang Anda yang menyimpan uang jutaan bahkan milyaran rupiah di bank-bank konvensional sebagai orang yang dzalim yang merugi, apalagi jika tak keluarkan zakatnya. Dzalim karena uang itu kecil sekali yang menetes ke level ekonomi di bawah untuk jadi modal usaha dan lainnya, dan inilah sebenarnya hakikat menimbun harta. Rugi karena return-nya tak memadai, kalah dari laju inflasi : naik 6% - 8% per tahun saja, melawan inflasi yang mencapai rata-rata 10% (6% inflasi umum dan 12% inflasi kebutuhan pokok). Berdosa pula karena tak tunaikan zakat. Lebih-lebih tak barakah (bertambah) karena tak keluarkan shadaqah.

(Untuk diketahui, masyarakat kita juga masih ‘tak adil’ dalam berzakat. Mereka sibuk bertanya nishab-haul zakat hanya ketika simpanannya emas, padahal tabungan, deposito dan simpanan lainnya di bank juga adalah objek zakat)

95% dari total uang beredar di muka bumi digulirkan, digandakan segelintir pihak, menciptakan gelembung uang yang semu di sektor keuangan, bukan di sektor riil yang berarti memperbesar produksi untuk mengimbangi konsumsi.

Maka sebetulnya sungguh aneh, di tengah melesatnya IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan), mengalirnya Hot Money dari luar Indonesia ke bursa semenjak pertengahan 2010, kemudahan memperoleh kredit (konsumtif) di tengah masyarakat, Indonesia sendiri terancam de-industrialisasi. Sinyal kekhawatiran ini dikirim sendiri oleh Bank Indonesia, berikut dampaknya : turunnya nilai tambah industri nasional, tergerusnya aktivitas perekonomian, pengangguran dan kemiskinan.

Banyak sekali fakta negatif diluar sana. Bayangkan, non-productive loan, semacam kredit usaha yang telah disetujui, parkir sebesar puluhan trilyun di bank. Ini terjadi juga di banyak negara, terutama Amerika. Kredit itu seharusnya mengalir menjadi tambahan modal di sektor industri untuk menggerakkan ekonomi, tapi tak jadi, karena kekhawatiran akan resiko usaha, dan penerima kredit merasa lebih untung dan pasti mendapatkan keuntungan (berupa bunga) dengan cara membuat dana itu parkir di bank. Atau di-investasikan di sektor keuangan, bukan di sektor riil.

Di sisi lain, pengusaha kecil sulit sekali mendapatkan dana pinjaman. Padahal mereka sangat membutuhkannya untuk perluasan usaha, ekstensifikasi market dan penambahan tenaga kerja. Melihat dua fakta diatas, sungguh tak adil. Situasi ini disebabkan oleh rendahnya dukungan sektor perbankan dalam pemberian kredit ke sektor industri. Fokus mereka masih di sektor jasa keuangan, yang tak berhubungan langsung dengan penyerapan tenaga kerja dan tersedianya produk yang murah di pasar.

Selama 2010, pertumbuhan industri hanya 4%, tertinggal dari pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6%. Angka pengangguran bertambah. Di pasar, pelaku usaha lebih mudah dan murah memperdagangkan barang impor (terutama dari Cina) daripada memperjualbelikan hasil industri dalam negeri yang justru lebih mahal dan tak terjangkau harganya oleh pembeli. Cina dan India, dua negara yang sama potensinya (persentase kapasitas tersimpan) dengan Indonesia dalam hal sumber daya manusia/tenaga kerja adalah dua negara yang mampu menyeimbangkan kemampuan produksinya daya beli pasar. Sementara Indonesia, seperti diakui Menkeu pada awal dilantiknya, 70% aktivitas ekonominya digerakkan oleh sektor konsumsi.

Maka sebetulnya persoalan tak sesederhana ketika kita melontarkan ‘tuduhan’ bahwa menyimpan emas berarti telah menginisiasi mandeg-nya perekonomian.

Kesadaran ber-zakat, infaq dan shadaqah masyarakat masih sangat rendah (meski terus meningkat tiap waktu), di sisi lain kebijakan perbankan yang tak mendukung sektor riil, adalah dua sebab yang paling sistemik menyebabkan banyak persoalan ekonomi.

Masyarakat punya logika dan pertimbangan sendiri ketika memutuskan apakah menyimpan emas ataukah tabungan untuk keperluan penyelamatan asset pribadi.

Mereka akan memilih yang terbaik dari sisi proteksi untuk melindungi simpanan dari ancaman inflasi. Mereka memerlukan simpanan yang melindungi Rupiah yang setiap saat bisa tak bernilai karena dibenamkan depresiasi nilainya terhadap mata uang asing. Mereka mementingkan likuiditas (kemudahan dalam mencairkan ketika memerlukan dana tunai) saat ada kebutuhan mendadak ataupun perlu tambahan modal usaha.

Semua jawabannya ada pada simpanan emas. Bukan simpanan di produk perbankan.

===================================================================
noted :
Buat teman2 Sosektaers yang ingin diskusi banyak perihal investasi Emas secara umum dan investasi Dinar Emas secara khusus berikut teknikal dan strateginya, temans bisa sharing ke saya via media komunikasi yang tersedia dengan mengklik ---> contact

Rabu, 05 Januari 2011

The REAL DIAMOND

Sering kita denger, ungkapan DIAMOND is DIAMOND

Diamond ato berlian adlh barang berharga, bernilai tinggi,....dmnpun dia berada, sekalipun di dasar bumi, dasar lautan bahkan dicomberan sekalipun, ketika dia diangkat tetaplah diamond

Itulah kualitas pribadi kita, kl kita pribadi yg berkualitas, dlm arti kompetensi kita tinggi, attitude kita terjaga, mk dmnpun lingkungn.kita, seburuk apapun itu, kita tetaplah pribadi yg mengesankan,..spt layaknya diamond,..mk setiap org layak dan hrs berlomba2 menjadi pribadi yg berkualitas,..

Tp sadarkah kita bhw berlian yg bernilai tinggi itu ada krn kerja keras penambang yg menemukannya, diolah oleh para pekerja pabrik dan diberi sentuhan seni oleh para perancang bercita rasa tinggi,..hingga sampe pada para penikmat seni lewat para pemasar dan tersimpan elegan dlm ruangan terhormat

Itulah kita kawan, pribadi kita yg berkualitas tdk akan berguna tanpa sentuhan tangan dan pribadi yg hebat,....

Siapakah mereka??merekalah org tua kita yg melahirkan kita ke dunia, merekalah guru2 kita, keluarga, saudara kita, sahabat kita, rekan2 kita dmnpun itu, sekolah kita dulu, lingkungan rumah kita dan tempat kerja kita...merekalah yg tiada henti mengasah dan memberi nilai pd pribadi kita,....

Tanpa mereka kita tetaplah diamond yg ada di dasar bumi

Maka berterima kasihlah pd mereka, sayangi, hormati mereka, jaga martabatnya dan bantulah mereka dan jadilah THE REAL DIAMOND

Ahmadi Addy (BoY)