Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Selasa, 30 Juni 2009

Berfikir dan Bertindak secara positif tanpa emosi

Oleh : tri wahyuni'98

sobat,
Pernahkah anda di hadapkan dalam sebuah posisi sulit?Dimana anda dihadapkan dengan masalah yang sangat kecil sekali menyelesaikannya?
Saya yakin pasti kita semua pernah menghadapinya. namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita menghadapi permasalan tersebut.
Ada dua jawaban dalam hal ini. Pertama, anda memilih untuk meninggalkan masalah tersebut karena mungkin saja anda merasa ragu atau merasa tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut.. Kedua, anda memilih untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab.
Yang menjadi bahasan saya kali ini adalah tindakan yang kedua, yaitu bagaimana menyelesaikan masalah tersebut.
Sobat, kita terlahir sebagai pemenang.mengapa saya katakan spt ini.karena kelahiran kita dari rahim ibu kita bermula dari kompetisi dasyat dari beribu ribu sel sperma, hingga tinggal satu saja sperma yang unggul dan berkualitas untuk membuahi sel telur, dan lahirnya kita. Berarti dr lahir kita suudah memiliki mental pemenang.benar?

Menyelesaikan masalah ternyata tidak juga sulit dan tidak juga mudah. Semua itu tergantung dari kita melihat persoalan itu sendiri.bila kita melihat pesoalan tersebut sulit dan banyak tenaga untuk menghasilkannya,maka akan demikian pula juga yang akan kita hadapi,

Tapi,bila kita melihat dari kaca mata lain, yaitu bila persoalan itu mudah diselesaikan walaupun sangat rumit,, maka hal itu pula yang kita hadapi.

Sobat,, yang lebih penting dari itu pula yaitu bagaimana kita berfikir,bersikap secara positif dan tanpa emosi menyelesaikan masalah itu. Rasa positif sangat diperlukan dalam hal ini.kita perlu memberikan rasa positif pada diri kita, sehingga kita dapat memandang persoalan itu sebagai hal positif bukan sebagai hambatan.semakin positif kita,maka semakin mudah pula kita menghadapinya.

Yang terakhir adalah tanpa emosi atau tenang.ini juga salah satu kunci penting. Dengan menyelesaikan masalah tanpa emosi dan tenang, maka semua persoalan akan semakin mudah diselesaikan,kita tidak akan bertindak dengan kepala panas menghadapi masalah.karena emosi bisa membuat semua semakin kacau dan rumit. Jadi tidak emosi alias tenang menjadi kunci. Anda setuju dengan saya?

Tri wahyuni'98
Note : tulisan ini ditulis disela waktu istirahat ngikutin traning sama suami di banjarmasin. Dan tulisan ini terinspirasi dari salah satu pengalaman yang saya hadapi saat bersamaan dgn masa traning
Ya

Kamis, 18 Juni 2009

Menjadi Besar

Pada tulisan saya terdahulu tentang The Flying Geese sebuah teori yang dikemukakan Saburo Okita (Jepang) yang menggambarkan formasi kepemimpinan ekonomi dan teknologi di kawasan Asia dimana Jepang dan Cina berada dalan barisan depan , sementara Indonesia berada pada bagian ekor, kembali mengingatkan saya akan relevansi teori itu dalam kondisi global dan regional akhir-akhir ini. Kasus mahasiswa Indonesia David Hartanto di Singapura, Manohara, Siti Hajar dan ratusan kasus penaniayaan TKW hingga kasus Amabalat yang kembali memanas seolah menjadi penanda bahwa tak ada yag perlu ditakuti dengan negara dengan nama Indonesia. Seolah siapa saja maupun negara mana saja berhak atas perlakuan yang tidak layak terhadap Indonesia lengkap dengan penduduknya.

Sudah sejak lama sekali rasanya bangsa ini tak bicara banyak dalam konteks hubungan bangsa-bangsa di dunia. Kawan tentu ingat bahwa torehan emas bangsa ini di level internasional belum kering, tentang bagaimana bangsa ini ikut menjadi pemrakasa Konferensi Asia Afrika, kemudian menjadi motor Gerakan Non Blok, aktif dalam OPEC dan masih banyak lagi peran kita dalam upaya perdamaian dunia. Pada level ini bukanlah hanya semata unjuk gigi, sekedar gagah-gagahan sementara secara internal bangsa ini rapuh tetapi lebih dari sekedar itu, sebagai sebuah bangsa yang berdaulat pengakuan dan penghargaan sebagai sebuah bangsa layak kita terima. Sehingga dalam upaya pelaksanaan peran aktif kita dalam level global maupun dalam konteks hubungan perekonomian dunia menjadikan kita sebagai bangsa yang sejajar dengan bangsa lain. Bukan sebagai negara inferior yang boleh saja diperas sumber daya alam dan manusianya karena kita tak layak sejajar dengan bangsa lain. Maka sama saja ini merupakan penjajahan era baru.

Segelintir orang berpendapat bahwa kondisi kekinian internal bangsa ini jauh lebih penting dari segala hal yang berkaitan dengan dunia luar. Picik sekali bagi saya mereka ini, mereka seolah mencoba melenakan dengan mengingatkan betapa menyedihkannya bangsa ini, angka kemiskinan tinggi, masyarakat hidup serba sulit, cukup sudahlah bangsa ini menderita, jadi buat apa berfikir tentang poisisi kita di kawasan regional dan global. Tak perlulah kita berpusing-pusing dengan segala persoalan bangsa lain. Sebuah pertanyaan sederhana coba kita kemukakan kepada mereka, bagaimana mengharapkan respek bangsa lain sementara kita cuek dengan bangsa lain.

Saya bukan ahli hubungan internasional, tetapi dalam konteks kekinian yang semakin mengglobal maka mengatur dan menempatkan bangsa ini dalam formasi regional maupun global amat sangat penting. Karena sumber daya bangsa ini baik berupa alam maupun manusia telah menyebar ke seluruh bangsa-bangsa di dunia. Bagaimana bisa kita membangun internal bangsa ini sementara gangguan dari luar senantiasa mengintai bangsa ini. Dan paling penting adalah bagaimana mengamankan dan melindungi sumber daya alam dan manusia kita di dalam maupun di luar negeri. Setiap jengkal kedaulatan tanah, air dan segala yang terkandung di dalamnya bisa saja tergerus oleh bangsa asing, setiap darah dan air mata tertumpahkan oleh pahlawan-pahlawan devisa kita di negeri seberang, bagaimana bisa dikatakan sebagai sebuah negara yang besar dan berdaulat sementara tanah, air, darah terenggut dan air mata ibu pertiwi senantiasa tertumpah, hanya karena tak ada yang memiliki respek terhadap kita.

Bangsa ini memilki modal sosial yang sangat besar, jauh bahkan lebih besar dari negara-negara Eropa Barat yang saat ini berada dalam puncak kemakmuran ekonomi. Coba tengok saja kekayaan alam berlimpah, sumber daya manusia luar biasa, belum lagi sistem sosial yang amat dahsyat, gotong royong, kekeluargaan, nilai spiritualitas yang tinggi berpadu dengan budaya khas yang unik. Bangsa ini memiliki potensi menjadi bangsa besar yang sejahtera dan berkemakmuran. Tak ada alasan sebenarnya bangsa ini tumbuh kerdil, kelaparan dalam lumbung padi di bawahnya, merasa silau dengan gemerlap bangsa lain sementara kita berdiri di atas gunung emas.

Sebagai layaknya sebuah bantera maka bangsa ini membutuhkan seorang nahkoda dengan jiwa kepemimpinan yang kuat. Tahu kemana bangsa ini akan mengarungi samudera, menjadi sebuah negara berwibawa dan membawa kemakmuran bagi rakyatnya. Kita memimpikan para pemimpin kita seperti para generasi pertama bangsa ini, yang dalam hati dan tindakannya senantiasa untuk melayani bangsa ini. Saya tahu pasti banyak orang mencibir nilai sebuah idealism di tengah budaya hedonism dan populis. Idealisme menjadi tontonan yang aneh. Tapi yang lebih menyedihkan adalah kita menuntut para pemimpin kita untuk berlaku ideal, bersih dan berwibawa sementara kita bertingkah seperti orang yang telah kehilangan jiwa kita, mayat berjalan yang rakus. Dan dalam sebuah bahtera bagaimana pemimpin kita telah menjadi sososk nahkoda dan asistennya lengkap dengan karakter, hati, dan tindakannya yang berusaha membawa bahtera ini selamat , sementara kita sebagai penumpang berlaku tak bijak membuat onar dan membahayakan keselamatan bantera. Apa jadinya?

Sekali lagi saya bukan pengagum demokrasi tetapi sebagian besar rakyat telah memilih jalan demokrasi untuk saya dan anda yang tidak mengagumi demokrasi, untuk itulah demokrasi kita terima sebagai jalan yang harus dilalui. Semua perangkat demokrasi harus kita terima sebagai bagian dalam menentukan arah bangsa ini. Maka momen pemilihan presiden yang akan berlangsung besik Juli adalah syarat yang harus dilakoni dalam ritual pemilihan pemimpin guna kepentingan keberlanjutan bangsa ini. Konsekuensi biaya yang muncul adalah sangat logis, karena momen pemilihan pemimpin dalam negara demokrasi adalah sama pentingnya dengan kebutuhan akan makan. Kita tidak perlu iri dengan negara penganut monarki atau kerajaan dimana penentuan pemimpin telah diwariskan, lebih irit dan cepat. Dan dengan menerima itu adalah langkah awal menjadi dewasa dalam bernegara dan bersiaplah untuk menjadi besar. Manfaatkan momen pilpres sebagai ajang pemilihan pemimpin yang mampu membawa kejayaan bangsa ini..

Mengembalikan kewibawaan bangsa ini sebagai negara yang berdaulat sebagaiman amanat konstitusi, adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki calon pemimpin bangsa ini di masa datang. Sementara bangsa ini berbenah membawa kemakmuran bagi rakyatnya, bangsa ini perlu tumbuh menjadi bangsa besar yang mampu menjaga, melindungi segenap tanah, air, udara dan nyawa penduduknya dari ancaman dari luar. Karena kita berhak…

Salam Ahmadi Addy Saputra (Boy)

Jumat, 12 Juni 2009

HIKMAH DARI PENSIL

Seorang anak bertanya kepada neneknya yang sedang menulis sebuah surat .

"Nenek lagi menulis tentang pengalaman kita ya? atau tentang aku?" Mendengar
pertanyaan si cucu, sang nenek berhenti menulis dan berkata kepada cucunya,

"Sebenarnya nenek sedang menulis tentang kamu, tapi ada yang lebih penting
dari isi tulisan ini yaitu pensil yang nenek pakai." "Nenek harap kamu bakal
seperti pensil ini ketika kamu besar nanti" ujar si nenek lagi.

Mendengar jawab ini, si cucu kemudian melihat pensilnya dan bertanya kembali
kepada si nenek ketika dia melihat tidak ada yang istimewa dari pensil yang
nenek pakai. "Tapi nek sepertinya pensil itu sama saja dengan pensil yang
lainnya." Ujar si cucu. Si nenek kemudian menjawab, "Itu semua tergantung
bagaimana kamu melihat pensil ini." "Pensil ini mempunyai 5 kualitas yang
bisa membuatmu selalu tenang dalam menjalani hidup, kalau kamu selalu
memegang prinsip-prinsip itu di dalam hidup ini." Si nenek kemudian
menjelaskan 5 kualitas dari sebuah pensil.

"Kualitas pertama, pensil mengingatkan kamu kalo kamu bisa berbuat hal yang
hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis, kamu jangan
pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkah kamu dalam hidup
ini. Kita menyebutnya tangan Tuhan, Dia akan selalu membimbing kita menurut
kehendakNya" .

"Kualitas kedua, dalam proses menulis, nenek kadang beberapa kali harus
berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil nenek.
Rautan ini pasti akan membuat si pensil menderita. Tapi setelah proses
meraut selesai, si pensil akan mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga
dengan kamu, dalam hidup ini kamu harus berani menerima penderitaan dan
kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang yang lebih
baik".

"Kualitas ketiga, pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk
mempergunakan penghapus, untuk memperbaiki kata-kata yang salah. Oleh karena
itu memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini, bukanlah hal yang jelek. Itu
bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar"..

"Kualitas keempat, bagian yang paling penting dari sebuah pensil bukanlah
bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalam sebuah pensil. Oleh sebab
itu, selalulah hati-hati dan menyadari hal-hal di dalam dirimu".

"Kualitas kelima, adalah sebuah pensil selalu meninggalkan tanda/goresan.
Seperti juga kamu, kamu harus sadar kalau apapun yang kamu perbuat dalam
hidup ini akan meninggalkan kesan. Oleh karena itu selalulah hati-hati dan
sadar terhadap semua tindakan".

*Source from milis.
Posting by @Luqman, all rights not reserve...hehehehe

Selasa, 09 Juni 2009

Save Our Blogs....





Posted by Luqman Setiawan



Seringkali saya terlalu lebih memikirkan soal jumlah pengunjung, juga perkara feedback di blog ini. Saya begitu sedih,campur prihatin. Kenapa blog ini sepi, padahal kian hari waktu berganti, jumlah Sosektaers di account Facebook saya semakin bertambah. Di depan mata juga kian terlihat, betapa teknologi berbasis online kian merajalela merasuk dunia. Mulai bilik kamar tidur hingga ruang publik.

Perlahan keprihatinan saya sedikit demi sedikit mulai pudar. Terutama, setelah saya mulai memberanikan diri untuk mau berkaca kembali pada diri sendiri dan pada personil inti pendukung blog ini.

Dengan berkaca, saya melihat.Bahwa problem terbesarnya ada pada diri sendiri. Bahkan saya menjadi geli sendiri, posting saya "terbaru" tentang Menjadi yang berguna adalah ter tanggal 3 Juni 2008, berarti sudah lebih dari 1 tahun saya absen tidak mengupdate blog. Seperti tidak mau ketinggalan, juragan blog ini--Oom Rachman, kelihatannya, nasibnya juga hampir2 sama.Klik disini untuk melihat posting terkini di blog Oom Rachman yang memuat foto tentang tradisi khataman Al Qur'an, ter tanggal 12 Desember 2008.
Machboeb alias papa, mungkin agak mendingan. Postingnya tentang gilanya demokrasi dan di re-posting dengan judul yang sama di blog ini terukir tanggal 26 april 2009.

Diluar yang diatas, saya melihat blog dari kawan kita Yayuk dengan kualitas posting yang lebih serius. Blog Yayuk bisa di klik disini. Sayang, posting terbarunya yang sebenarnya sangat menarik tentang Quantum ikhlas jadi terasa menggantung,lantaran dibuat bersambung, namun sudah lebih dari 6 bulan sejak tanggal posting tersebut (12 Desember 2008) hingga kini belum juga dibuat sambungannya.

Nampaknya menjadi PR besar bagi kita semua untuk menyelamatkan eksistensi dari blog kita masing-masing. Harapannya,blog pribadi yang kuat akan menyokong eksistensi blog sosektaers menjadi lebih baik dalam melayani dahaga netter sosektaers di masa yang akan datang. Semoga.

Kamis, 04 Juni 2009

Kasus Prita Mulyasari, Mengekang Hak Kebebasan Mengeluarkan Pendapat?

Kasus Prita Mulya yang belakangan ini santer diberitakan, bahkan nyaris menyaingin kasus Manohara, cukup membuat saya mengernyitkan dahi dan berfikir cukup panjang.

Prita yang seorang rumah tangga, awalnya hanya memberikan curhat di surat elektronik atau email mengenai keluhannya tentang pelayanan sebuah rumah sakit tempat dia berobat. Tapi entah mengapa, email curhat tersebut menjadi bumerang karena dianggap penginaan dan fitnah sebagai bentuk pencemaran nama baik.

Jujur saja, saya pribadi sangat tertarik dalam mengikuti berita ini. Rasanya baru kasus prita lah yang pertama di Indonesia yang muncul sebagai bentuk pencemaran nama baik dalam bentuk email dan dikategorikan cyber. Dan saya berasumsi, bahwa sebenarnya Prita sendiri tidak bermaksud melakukan pencemaran nama baik seperti yang dituduhkan. Toh, itu hanya sebuah tulisan dalam bentuk curhatan biasa. Prita pun sama seperti manusia yang lain, punya hak untuk mengeluarkan pendapat walaupun hanya berupa sebuah curhatan. Tapi entah mengapa hal itu sedemikian dianggap seriusnya oleh pihak rumah sakit.

Mungkin bisa saja dari pihak penggugat menilai Prita melanggar hukum dari segi cyber law dan undang-undang di dunia electrik seperti email tersebut. Tapi yang jadi masalah sendiri, bahwa Prita sendiri pun tidak mengetahui adanya UU cyber law seperti itu. Dan jujur saja, saya sendiri pun tidak MUDENG alias BELUM JELAS dengan keberadaan UU tersebut. Karena memang UU dan cyber law sendiri di Indonesia belum tersosialisasi dengan benar.

Berkenaan dengan hal itu juga, saya jadi agak parno sedikit. Bukan apa-apa sih, banyak banget tulisan saya yang sudah tersebar di berbagai media cetak dan elektronik. Sampai-sampai saya sempat berfikir dan timbul keraguan untuk menulis lagi. Padahal menulis bagi saya, ibarat sebuah anak bayi yang tidak bisa lepas dari ibunya... Ibarat membaca dan menulis, selalu saling membutuhkandan melengkapi satu sama lain :) Dari menulislah, saya banyak mengeluarkan semua bentuk ide, pikiran, curhat, bahkan ketika mengalami masa bad mood. Tapi bagaimana bila semua kebebasan mengeluarkan pendapat yang dituangkan dalam tulisan di bayang-bayangi dengan UU dan Cyber Law yang sampai saat ini belum jelas bentuk isi dan sosialisasinya. Wah, bisa mati dong kreatifitas kita untuk menulis.

Okelah memang suatu saat ada waktu dengan UU dan Cyber Law yang akan di tetapkan. Tapi alangkah lebih baik bila pemerintah mensosialisasikan dulu di masyarakat kita. Rasanya janggal kan, bila seseorang itu dituduh melakukan tindakan yang salah, sedangkan dia dan bahkan masyarakat sendiri pun tidak tahu bila itu sebuah kesalahan fatal.

Ini murni pendapat saya pribadi lho. dan saya berdoa semoga Prita diberikan kemudahan oleh Allah SWT dan tidak ada satu pun hukum yang menjeratnya. Kasihan kedua anaknya yang masih kecil dan masih membutuhkannya... Mudah-mudahan saja pihak penggugatnya juga diberikan kelapangan supaya bisa melihat kasus ini dari hati nurani .. Amien...

tri wahyuni'98

Selasa, 02 Juni 2009

The Power of Sosektaers

Post by Luqman Setiawan

The Power of Sosektaers. Adakah itu ?
Kalo The Power Rangers seh ada.
Konon,pada jamannya 10-11 taon yang lampau.
Sosektaers merupakan kekuatan yang disegani kawan dan kompetitor (gak nyebut lawan yah,karna gak ada lawan yg abadi kata Eyangnya Sis).
Terlibat dalam setiap peristiwa penting di kampus,
dengan tetap menjaga jarak dengan setiap front yang saling tarik menarik; ini yang menarik.
Sehingga Sosektaers Unibraw terkenal dengan tagline : "Tidak kemana-mana,tapi ada dimana-mana".

Karena namanya juga konon,
maka bisa jadi cuma legenda,ato isapan jempol dongeng pengantar tidur buat eye catching Maba2 calon Sosektaers biar ada semangat terhadap identitas corpusnya.

Masa lalu biarlah berlalu.
Yang masa kini ?
Disinilah kita berkumpul.
Untuk saling memperkuat diri.
Enrichment.
Saling memperkaya diri masing2.Dengan Iman, Ilmu,dan Amal. Mari kita berlomba-lomba mengejar prestasi.

Kelak.
Dengan berkumpul.Dan mengasah diri resiprokal.Kekuatan baru akan muncul.
Siap mencerahkan jagad dunia persilatan pengejar elmu.
Untuk itu.
Sinergi menjadi kemestian.Karena
Kekuatan akan terjadi jika,lebih dari 1 orang mau merendahkan egonya.Mau saling berbagi.
Juga mau saling menjaga.
Ini bukan soal kalkulasi matematika,apalagi utak atik bak pedagang.
Ini untuk masa depan.
Yang lebih baik
buat anak2 saya,anda,dan semua.
Mereka berhak mendapatkan warisan terbaik dari kita.
Ilmu Amaliah.
Amal Ilmiah.

Viva Sosektaers Unibraw !
Tidak pernah menyesal
pernah hidup sepenuh hati bersama...
Untuk selamanya....

Bidadari yang Terlupakan

Pentas pemilihan presiden kembali akan digelar, sebentar lagi. Nuansa ambisi untuk memenangkan kursi kepresidenan begitu terasa dari masing-masing pasangan capres-cawapres dan tim suksesnya. Saya kira tidak ada yang bermasalah dengan hal tersebut, justru bagi saya yang sangat aneh apabila ada pasangan capres-cawapres yang tidak memiliki kegairahan memenangkan kontes lima tahunan ini. Ya, tentu saja bagaimana bisa memenangkan persaingan dunia dan tampil kembali sebagai negara besar sementara keinginan untuk mememangkan dirinya saja tidak ada. Saya bukan ahli psikologi tapi bukankah begitu proses kehidupan manusia, seorang anak bagaimana bisa diajarkan berbagi sementara rasa memiliki saja tidak dibangun dulu. Bagaimana bisa menularkan kegairahan membangun bangsa kepada seluruh rakyat sementara kegairahan untuk dirinya saja tidak ada.

Kegairahan pemenangan tersebut tak lepas dari isu-isu sensitif dan populis yang sengaja diangkat ke permukaan. Beberapa isu krusial yang menonjol mungkin adalah isu pemberantasan korupsi pada awalnya, Tetapi kemudian justru berbalik arah arah ke arah ekonomi. Saya tidak tahu siapa yang memulai. Tapi tanpa bermaksud berpihak padanya, maka Prabowo secara sukses mengangkat isu ini sedemikian krusial. Melalui jasa media massa terutama televisi seolah Prabowo ingin membuktikan kesalahan-kesalahan kebijakan ekonomi saat ini dan mengklaim dengan kembali berpihak pada wong cilik masalah kemiskinan bangsa ini bisa teratasi. Mungkin dalam ilmu marketing Prabowo sudah mencapai tahap branding sementara calon lain masih dalam tahap introducing dalam menggunakan media iklan. Dan pada tahap ini masih sendirian dan secara realitas ternyata tak mampu mendongkrak suara Gerindra secara mengejutkan.

Maka isu-isu lain yang berkaitan dengan wong cilik kembali naik popularitasnya tatkala pertempuran SBY dan JK mengenai BLT dan BBM mengerucut menjadi wacana “pematenan” ide atas program tersebut. Merasa tak mampu bersaing ke pentas kepresidenan maka dengan dalih kesamaan platform dengan PDIP maka “perkawinan” paksa Megawati dan Prabowo kembali menawarkan program kerakyatan kepada public.

Dari waktu ke waktu wong cilik dalam pemahaman saya adalah petani pedesaan dan nelayan, masyarakat miskin kota sebagai pelaku ekonomi mikro termasuk buruh dan sekumpulan orang yang kesempatan ekonominya terhambat oleh sistem senantiasa menjadi primadona, layaknya seoarang gadis kampung yang tiba-tiba naik panggung menjadi pementas, ya bidadari cantik yang enak dibicarakan pada masa kampanye untuk menarik simpati.

Sebagaimana saya sampaikan pada awal tulisan saya, maka kegairahan para capres dan cawapres dalam mengangkat isu-isu kepedulian terhadap wong cilik SBY-Boediono dengan image kebapakannya SBY sebagai pengayom, percaya atau tidak itu cukup menyentuh hati rakyat Indonesia yang kurang kasih sayang…hahaha..ditopang image Boediono sang ahli ekonomi. Atau JK-Wiranto dengan image cekatannya dalam menyelesaikan masalah, cepat dan tegas diperkuat dengan slogan lebih cepat lebih baik…mungkin termasuk kampanye duluan..hehe..atau bahkan Mega-Prabowo yang sejak awal memang PDIP selalu menjaga image sebagai partai wong cilik dari dulu, ditopang permainan angka oleh Prabowo dengan menunjukkan alokasi anggaran untuk wong cilik…cukup mengesankan sementara rakyat Indonesia memang seneng duit…hehehe

Hanya saja bahwa pertunjukkan beauty contest para capres-cawapres akan segera mengalami klimaks ketika musim kampanye nanti, dan selesai ketika presiden-wapres terpilih. Wong cilik akan menjadi bidadari yang terlupakan, karena pertunjukkan telah selesai. Roda kehidupan berjalan kembali, disana sini wong cilik harus kembali harus berjibaku berbagi lahan dengan para pemodal besar. Keberpihakan akan menjadi wacana langitan yang jauh di awang-awang…

Dan itu jika terjadi maka tulisan ini menjadi basi kembali karena begitulah adanya dan tulisan-tulisan serupa pada sepuluh tahun yang lalu masih relevan dengan kondisi sekarang. Tidak ada yang istemewa. Tapi bagaimana jika kemudian pada pemerintahan nanti membalikkan semua tesis yang ada, menawarkan kebijakan baru yang lebih berpihak pada wong cilik, kata Mubyarto, ekonomi kerakyatan. Karena selama orde baru dan sampe sekarang kita memang cenderung liberal bukan Boediono saja…hahaha..Tapi memang hebatnya kala orde baru, ibarat kata “roti isi”, luarnya kerakyatan, dalamnya liberal. Masih inget KUD, KUT, KKP, swamsembada pangan, utang negara, IMF, WTO. Jadi besok liberal atau kerakyatan????

Salam Boy

Senin, 01 Juni 2009

Tentang Manohara....

Manohara....
siapa saja yang melihat wajahnya, pasti akan terkesima dengan kecantikannya. kulitnya yang putih bak pualam dan senyumnya yang rupawan.

Namun, berita tentang Manohara belakangan ini tentu membuat publik penasaran dan merasa iba. Manohara, seorang model indonesia yang namanya sempat masuk dalam daftar wanita tercantik versi sebuah majalah nasional, kini menjadi salah satu perhatian pemberitaan nasional maupun internasional.

Sebenarnya, bila dirunut benang merah dalam masalah ini, banyak hal yang saling berhubungan dengannya. Salah satunya, tentang ikhwal pernikahan Manohara dengan putra sultan tersebut. Jujur saja, siapa sih wanita yang tidak mau bila di nikahi oleh seorang pangeran yang pasti terlihat bibit,bobot,bebet yang berkualitas (hehehhe).. Ibarat kisah-kisah cinderella ataupun putri salju.. yang mana di awali oleh perkawinan yang super megah dan mewah. Dan menjadi impian nyaris semua wanita di muka bumi ini.

Namun, kembali lagi bagaimana perjalanan pernikahan dan endingnya? apakah akan bahagia seperti negeri-negeri dongeng tersebut? Ternyata, kisah cinta Manohara dan suaminya mewakili sisi lain ketidaksempurnaan pernikahan yang awalnya sangat megah dan mewah tersebut.

Sobat sosektaers...,
Bila saya bisa berpendapat, sebenarnya kisah hidup Manohara ini bisa terjadi pada siapa saja. Terlepas dalam status ekonomi manapun juga. Hanya saja pada kasus Manohara ini terlihat lebih ekslusif pemberitaannya, mengingat Manohara dan suaminya memang bukan orang yang biasa-biasa saja. Sang suami mempunyai kedudukan dan martabat keluarga sangat terpandang di Malaysia, begitu pula Manohara adalah salah satu model Indonesia...


Padahal..., kalau kita bisa lebih membuka mata lagi... masih banyak kasus-kasus seperti Manohara ini di Indonesia dan bahkan keadaannya lebih parah dan tragis lagi. Istilah ngetrend nya KDRT alias Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


Intinya disini, istilah KDRT tersebut ternyata bisa dialami oleh wanita dimanapun tanpa mengenal tempat, status,latar belakang, alias bebet,bobot,bibit. Dan mungkin ini juga sebagai pelajaran deh buat kita semua, yang mungkin belum menikah untuk lebih selektif memilih pasangan. Bebet,bobot,bibit memang penting, tapi yang lebih penting memilih calon yang takut pada Allah. hehhe... Mengapa demikian? Karena bila calon pasangan kita takut pada Allah, secara otomatis dia tidak akan berani melanggaran peraturan yang telah di tetapkan Allah, sehingga pasti ia akan tambah sayang dan perhatian sama kita hehehe...

Dan juga, untuk kita yang telah menjadi orang tua, untuk tetap berhati-hati memilih calon mantu alias pasangan buat anak kita kelak. Jangan tertipu pada bibit,bobot,bebet yang berkualitas saja, tapi selami lebih lanjut calon mantu kita..(sok tua deh..) Setidaknya saya belajar banyak dari sikap terbuka dari Ibu Desi, ibunda Manohara yang secara terus terang memang mengakui kekhilafannya sebagai orang tua. Tidak ada salahnya kan, bila kita memetik pelajaran dari kasus Manohara ini.

Sobat Sosektears.., ulasan tadi adalah sebagian dari ungkapan jujur dari hati saya sebagai pengamat berita (ceileee...) dan sebagai perempuan yang menyaksikan kisah Manohara dan ibunya. Sekarang gimana nih komentar dari sobat sosektaers sendiri.... saya tunggu komentarnya ya....

tri wahyuni'98