Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Kamis, 18 Juni 2009

Menjadi Besar

Pada tulisan saya terdahulu tentang The Flying Geese sebuah teori yang dikemukakan Saburo Okita (Jepang) yang menggambarkan formasi kepemimpinan ekonomi dan teknologi di kawasan Asia dimana Jepang dan Cina berada dalan barisan depan , sementara Indonesia berada pada bagian ekor, kembali mengingatkan saya akan relevansi teori itu dalam kondisi global dan regional akhir-akhir ini. Kasus mahasiswa Indonesia David Hartanto di Singapura, Manohara, Siti Hajar dan ratusan kasus penaniayaan TKW hingga kasus Amabalat yang kembali memanas seolah menjadi penanda bahwa tak ada yag perlu ditakuti dengan negara dengan nama Indonesia. Seolah siapa saja maupun negara mana saja berhak atas perlakuan yang tidak layak terhadap Indonesia lengkap dengan penduduknya.

Sudah sejak lama sekali rasanya bangsa ini tak bicara banyak dalam konteks hubungan bangsa-bangsa di dunia. Kawan tentu ingat bahwa torehan emas bangsa ini di level internasional belum kering, tentang bagaimana bangsa ini ikut menjadi pemrakasa Konferensi Asia Afrika, kemudian menjadi motor Gerakan Non Blok, aktif dalam OPEC dan masih banyak lagi peran kita dalam upaya perdamaian dunia. Pada level ini bukanlah hanya semata unjuk gigi, sekedar gagah-gagahan sementara secara internal bangsa ini rapuh tetapi lebih dari sekedar itu, sebagai sebuah bangsa yang berdaulat pengakuan dan penghargaan sebagai sebuah bangsa layak kita terima. Sehingga dalam upaya pelaksanaan peran aktif kita dalam level global maupun dalam konteks hubungan perekonomian dunia menjadikan kita sebagai bangsa yang sejajar dengan bangsa lain. Bukan sebagai negara inferior yang boleh saja diperas sumber daya alam dan manusianya karena kita tak layak sejajar dengan bangsa lain. Maka sama saja ini merupakan penjajahan era baru.

Segelintir orang berpendapat bahwa kondisi kekinian internal bangsa ini jauh lebih penting dari segala hal yang berkaitan dengan dunia luar. Picik sekali bagi saya mereka ini, mereka seolah mencoba melenakan dengan mengingatkan betapa menyedihkannya bangsa ini, angka kemiskinan tinggi, masyarakat hidup serba sulit, cukup sudahlah bangsa ini menderita, jadi buat apa berfikir tentang poisisi kita di kawasan regional dan global. Tak perlulah kita berpusing-pusing dengan segala persoalan bangsa lain. Sebuah pertanyaan sederhana coba kita kemukakan kepada mereka, bagaimana mengharapkan respek bangsa lain sementara kita cuek dengan bangsa lain.

Saya bukan ahli hubungan internasional, tetapi dalam konteks kekinian yang semakin mengglobal maka mengatur dan menempatkan bangsa ini dalam formasi regional maupun global amat sangat penting. Karena sumber daya bangsa ini baik berupa alam maupun manusia telah menyebar ke seluruh bangsa-bangsa di dunia. Bagaimana bisa kita membangun internal bangsa ini sementara gangguan dari luar senantiasa mengintai bangsa ini. Dan paling penting adalah bagaimana mengamankan dan melindungi sumber daya alam dan manusia kita di dalam maupun di luar negeri. Setiap jengkal kedaulatan tanah, air dan segala yang terkandung di dalamnya bisa saja tergerus oleh bangsa asing, setiap darah dan air mata tertumpahkan oleh pahlawan-pahlawan devisa kita di negeri seberang, bagaimana bisa dikatakan sebagai sebuah negara yang besar dan berdaulat sementara tanah, air, darah terenggut dan air mata ibu pertiwi senantiasa tertumpah, hanya karena tak ada yang memiliki respek terhadap kita.

Bangsa ini memilki modal sosial yang sangat besar, jauh bahkan lebih besar dari negara-negara Eropa Barat yang saat ini berada dalam puncak kemakmuran ekonomi. Coba tengok saja kekayaan alam berlimpah, sumber daya manusia luar biasa, belum lagi sistem sosial yang amat dahsyat, gotong royong, kekeluargaan, nilai spiritualitas yang tinggi berpadu dengan budaya khas yang unik. Bangsa ini memiliki potensi menjadi bangsa besar yang sejahtera dan berkemakmuran. Tak ada alasan sebenarnya bangsa ini tumbuh kerdil, kelaparan dalam lumbung padi di bawahnya, merasa silau dengan gemerlap bangsa lain sementara kita berdiri di atas gunung emas.

Sebagai layaknya sebuah bantera maka bangsa ini membutuhkan seorang nahkoda dengan jiwa kepemimpinan yang kuat. Tahu kemana bangsa ini akan mengarungi samudera, menjadi sebuah negara berwibawa dan membawa kemakmuran bagi rakyatnya. Kita memimpikan para pemimpin kita seperti para generasi pertama bangsa ini, yang dalam hati dan tindakannya senantiasa untuk melayani bangsa ini. Saya tahu pasti banyak orang mencibir nilai sebuah idealism di tengah budaya hedonism dan populis. Idealisme menjadi tontonan yang aneh. Tapi yang lebih menyedihkan adalah kita menuntut para pemimpin kita untuk berlaku ideal, bersih dan berwibawa sementara kita bertingkah seperti orang yang telah kehilangan jiwa kita, mayat berjalan yang rakus. Dan dalam sebuah bahtera bagaimana pemimpin kita telah menjadi sososk nahkoda dan asistennya lengkap dengan karakter, hati, dan tindakannya yang berusaha membawa bahtera ini selamat , sementara kita sebagai penumpang berlaku tak bijak membuat onar dan membahayakan keselamatan bantera. Apa jadinya?

Sekali lagi saya bukan pengagum demokrasi tetapi sebagian besar rakyat telah memilih jalan demokrasi untuk saya dan anda yang tidak mengagumi demokrasi, untuk itulah demokrasi kita terima sebagai jalan yang harus dilalui. Semua perangkat demokrasi harus kita terima sebagai bagian dalam menentukan arah bangsa ini. Maka momen pemilihan presiden yang akan berlangsung besik Juli adalah syarat yang harus dilakoni dalam ritual pemilihan pemimpin guna kepentingan keberlanjutan bangsa ini. Konsekuensi biaya yang muncul adalah sangat logis, karena momen pemilihan pemimpin dalam negara demokrasi adalah sama pentingnya dengan kebutuhan akan makan. Kita tidak perlu iri dengan negara penganut monarki atau kerajaan dimana penentuan pemimpin telah diwariskan, lebih irit dan cepat. Dan dengan menerima itu adalah langkah awal menjadi dewasa dalam bernegara dan bersiaplah untuk menjadi besar. Manfaatkan momen pilpres sebagai ajang pemilihan pemimpin yang mampu membawa kejayaan bangsa ini..

Mengembalikan kewibawaan bangsa ini sebagai negara yang berdaulat sebagaiman amanat konstitusi, adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki calon pemimpin bangsa ini di masa datang. Sementara bangsa ini berbenah membawa kemakmuran bagi rakyatnya, bangsa ini perlu tumbuh menjadi bangsa besar yang mampu menjaga, melindungi segenap tanah, air, udara dan nyawa penduduknya dari ancaman dari luar. Karena kita berhak…

Salam Ahmadi Addy Saputra (Boy)

10 komentar:

Luqman Setiawan mengatakan...

@Boy,
setuju.Realita bangsa ini masih kerdil dan inferior dihadapan bangsa2 lain.Moral dari posting diatas mengingatkan kepada kita semua,bahwa msh ada cahaya diujung jalan.Semoga

Tri Wahyuni Zuhri mengatakan...

saya setuju bung boy...
dan untuk memulainya.., mari kita berbenah dan intropeksi pribadi serta melakukan terbaik untuk indonesia...

merdeka...!!!!

Luqman Setiawan mengatakan...

@Yayuk..
Apanya yg sudah merdeka dr bangsa ini ?

Anonim mengatakan...

..mas lq n mb yayuk,...yup berbenah kita ndiri dulu,..katanya dulu kita agent of changes...hehehe...

boy

Anonim mengatakan...

Boy, baca kompas hari jumat. Ada edisi khusus mengenai US $. Cukup menarik analisisnya. Bahwa Indonesia, Brasil, Cina, India (emerging country) pada th 2050 akan melampui negara G-7 (kecuali China akan melampaui USA, tetapi untuk Indonesia, India, dan Brasil akan melampui negara G-7 non USA). Anda kayaknya berpandangan gajah di pelupuk mata tak tampak tetapi kuman diseberang lautan tampak.
Ya... ini masih analisis.
Tapi sebenarnya cara pandang kita yang mengkerdilkan diri kita sendiri yang harus dirubah. Kita selalu merasa inferior dibanding bangsa2 lain, padahal kenyataan tidak.
Bintang akan terlihat kemilaunya ketika langit yang gelap. Jadi sebentar lagi Asia yang bersinar, semoga Indonesia juga bisa bersinar dan membuktikan bahwa analisa diatas bisa terwujud.
Amin!

SAI'96

Luqman Setiawan mengatakan...

@Oom SAI,
optimisme itu yg kita harapkan dimiliki oleh seluruh anak bangsa NKRI ini.
Namun yg mjd problem paling mendasar dr bangsa ini belum jua terjawab.
Kita kehilangan gairah sebagaimana bangsa barat punya gairah mengembangkan peradaban seolah mrk bakal hidup selamanya dimuka bumi.
Gairah peradaban yg tercermin dlm simbol2 moralitas & IPTEK yg itulah sebenarnya yg akan mendongkrak harga diri dan eksistensi suatu bangsa.
Ironis memang,kita punya ribuan nilai budaya yg mestinya tdk kalah dgn nilai budaya barat...namun dalam kenyataannya nilai budaya kita yg adiluhung tdk tercermin dlm gairah kehidupan sehari-hari.

Dgn kata lain,oom SAI...
optimise futuristik hanya akan tinggal optimisme saja jika tidak ditunjang oleh kerja keras membumikan kembali nilai2 budaya adiluhung yg kita miliki.Tanda itu semua,saya kira NKRI tidak lebih drpd Republik Konsumen terbesar di dunia.

Anonim mengatakan...

Kawan Luqman,

Dalam memandang masa depan memang harus optimis. Tidak bisa tidak!
Dan ini dibangun dalam lingkup yang paling kecil yaitu diri kita, keluarga, komunitas, dan terbesar adalah negara-bangsa.
Apakah kita menunggu teman, tetangga, masyarakat harus optimis dulu, baru kita sbg individu optimis? Tentu tidak kawan. Peradaban dapat dirubah tanpa harus menunggu orang lain. Karena setiap individu adalah pemimpin. Yaitu pemimpin dalam ide, gagasan, misi, visi, penemuan yang nantinya akan menjadi peradaban dunia.
Jadi, optimisme dimulai dari diri kita, dari yang paling sederhana yaitu " selalu punya mimpi".

SAI'96

Luqman Setiawan mengatakan...

@SAI,..
nice opinion !
I follow with you

Anonim mengatakan...

..optimis bolehlah...tp menjadi besar tidak hanya butuh sebuah optimisme besar,...bangsa ini tentunya tidak akan merdeka jika para pendahulu kita bermimpipun tidak mampu, hanya saja perjuangan sebenarnya baru dimulai setelah mimpi itu dimulai
...jd baru permulaan,...jk memang predsiksinya kearah sana, maka yang terpenting adalah langkah kesana...
...kita boleh saja bernostalgia bahwa bangsa ini pada masa lampu pernah berjaya, tp yang paling penting apa yang dilakukan nenek moyang dan para pendahulu kita membangun bangsa ini menjadi besar kala itu...

salam boy

Anonim mengatakan...

artikel yang menggugah ....pastinya akan mendapat respon yang luar biasa.....
RAS