Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Rabu, 24 Desember 2008

Plato, Radikalisasi Demokrasi, Individuasi

Oleh Jose Marwan
Penulis adalah jurnalis media elektronik
Dalam The Republic, Plato menyuguhkan sebuah analogi bagaimana para awak sebuah kapal berebut ingin menjadi nahkoda kapal meskipun mereka tidak pernah belajar tentang navigasi. Bagaimana mungkin kaum yang awam tentang kapal, musim, langit, bintang dan angin bisa dipercaya menahkodai sebuah kapal, inilah sindiran Plato. Analogi ini adalah kritik Plato terhadap kondisi demokrasi di tanah Athena, sebuah kota kecil yang menjadi tanah air demokrasi. Plato menyindir demokrasi sebagai sistem yang mengabaikan pencarian kebenaran itu sendiri, dan lebih pasrah pada kehendak mayoritas dengan refrennya Vox Populi Vox Dei. Benarkah kehendak mayoritas selalu benar? Apa yang menimpa Socrates adalah antiklimaks dari demokrasi, ketika seseorang yang jujur dan bijak harus mati dalam tegukan racun karena mayoritas menghendakinya. Plato mungkin alergi dengan demokrasi karena tragedi Socrates, gurunya itu. Karenanya dia mengusulkan agar suatu negara dipimpin oleh seorang raja-filsuf, yang bisa di-analogkan sebagai seorang nahkoda kapal yang tahu betul tentang musim, angin, tanda-tanda langit dan perbintangan. Keputusan untuk mengembangkan dan mengarahkan layar tidak bisa diserahkan kepada segerombolan kuli kapal yang tak tahu seluk-beluk navigasi. Sama dengan suatu negara, keputusan untuk menggerakkan kemanan suatu negara akan berjalan, tidak bisa diserahkan kepada segerombolan orang yang tak kompeten tentang ketatanegaraan. Tragedi Socrates jelas menjadi afirmasi, kehendak mayoritas, suara terbanyak, belum tentu mewakili kebenaran. Dimana relevansi kritik Plato ini bagi demokrasi kita?
Radikalisasi Demokrasi
Saat ini, kita melihat euforia para artis yang menjadi atau mungkin lebih tepatnya dijadikan calon legislatif (caleg) dan kepala daerah. Juga terbuka pintu gerbang bagi para calon independen untuk maju sebagai pemimpin di negeri ini. Pertanyaan menarik adalah, sejauh mana ruang demokrasi ini bisa membawa kebahagiaan bersama, seperti tujuan berpolitik itu sendiri ala Socrates? Kalau dikaitkan dengan sindiran Plato tentang awak kapal yang berebut menjadi nahkoda kapal, apakah kita justru sedang menuju ke sana? Apakah kita justru sedang membuka celah dimana para awak-awak kapal berebut untuk berdiri di geladak dan memproklamasikan diri sebagai nahkoda? Apakah, jika itu kita sebut pemilu, bisa menjadi penyaring yang efektif untuk memilih satu orang yang benar-benar tahu bagaimana caranya menahkodai negara ini? Apakah pemilih sudah cukup rasional untuk mempertanggungjawabkan pilihannya?
Rangkaian kekhawatiran di atas mungkin satu sisi gelap dari demokrasi itu sendiri. Kita berada dalam perhimpitan, dimana kita mengalami apa yang disebut William D. Gairdner (1997) sebagai radikalisasi demokrasi dan satu sisi kita didudukkan pada dataran rasionalitas masyarakat yang masih rendah. Radikalisasi demokrasi itu terlihat ketika seorang pemimpin menjadi tidak begitu mudah dan leluasa membuat keputusan yang menurutnya baik, karena ketakutan akan menghadapi gelombang interupsi sampai interpelasi dan demonstrasi. Radikalisasi demokrasi mendapatkan bentuknya ketika sebuah keputusan pemimpin akan begitu mudah diubah dan digoyang ketika ditekan oleh sekelompok massa yang membawa at-ribut dan berdemo di jalan.
Dalam bentuknya yang radikal, demokrasi akhir-nya hanya menjadi suatu sistem pemerintahan untuk menyenangkan dan menenangkan massa, bukan untukkebenaran yang sebenar-benarnya. Di sinilah relevansi kritik Plato terhadap demokrasi. Dalam bahasa lain, demokrasi mensyaratkan suatu kondisi rasionalitas masyarakat yang tinggi sehingga ketika kita memilih seorang pelawak atau artis untuk menjadi pemimpin, kita mendasarkannya pada suatu alasan argumentatif, bukan hanya dilandaskan pada pilihan senang dan tidak senang. Kentalnya politik aliran di bangsa kita tentu menjadi pelatuk tersendiri untuk membunuh demokrasi secara pelan-pelan. Sebab demokrasi sejati membutuhkan suatu masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang kokoh, yang bertanggung jawab, yang argumentatif

Yang Dipilih dan yang Memilih
Demokrasi membutuhkan individu-individu yang tercerahkan, yang memahami apa arti kalah dan apa makna menang, yang bisa menyelesaikan setiap persoalan secara hukum dan menghindari cara-cara manipulatif dan koruptif. Istilah raja-filsuf, yang diamanatkan Plato, harus ditafsir lebih luas, tak hanya sekedar mengacu pada satu atau dua orang, tapi pada individu-individu dalam masyarakat yang juga harus menjadi raja-raja dan filsuf-filsuf dalam arti seseorang yang bisa menggapai pengertian yang dalam tentang kebenaran. Ini, tak hanya berlaku pada mereka yang dipilih, tapi juga pada mereka yang memilih. Dalam bahasa Immanuel Kant, individu yang tercerahkan adalah individu yang otonom yang bisa membuat keputusan berdasarkan apa yang ada di dalam individu itu sendiri, bukan ditentukan pada apa yang ada di luar individu (heteronom). Seruan Kant yang sangat terkenal adalah “Sapere Aude”, beranilah berpikir sendiri. Individu yang tercerahkan adalah individu yang berani berpikir sendiri, berani membuat keputusan sendiri, tanpa terbebani untuk ikut dengan pilihan ulamanya atau pendetanya dan tanpa termanipulasi oleh money politic. Demokrasi adalah seni mencari kebenaran yang paling benar dari antara sekian kebenaran yang dianggap benar. Karena itu, tantangan demokrasi kita saat ini adalah, membangun sebuah masyarakat yang mampu melakukan deliberatio dan discretio sehingga menghasilkan sebuah pilihan yang bertanggung jawab. Di sinilah diperlukan individuasi, proses menjadi individu. Masyarakat kita harus menjadi masyarakat yang terdiri dari sekumpulan individu yang bisa menentukan jalan hidupnya sendiri, bukan segerombolan massa yang mudah diprovokasi. Dalam Individuality in Our Day, Dewey mencatat demokrasi selalu bergerak dengan sikap ilmiah. Dewey menekankan pentingnya masyarakat menjadi suatu komunitas ilmiah yang bisa melawan politik pembodohan penguasa. Bahkan dalam Freedom and Culture, Dewey bersikukuh bahwa masa depan demokrasi diiringi oleh penyebaran sikap ilmiah yang menggantikan prasangka, takayul dan pikiran picik. Jadi, bukankah kita tak perlu risau seandainya para awak kapal berebut menjadi nahkoda, toh mereka semua tahu tentang navigasi, bukan?
Copyright © Sinar Harapan 2008
Tulisan ini sengaja saya ambil dari Harian Sore Sinar Harapan versi online-nya hari Jumat 31 Oktober 2008 no. 6034. Tulisan ini cukup menarik sebagai wacana kita semua menjelang tahun pemilu 2009.Salam (Ahmadi Addy Saputra)

Tidak ada komentar: