Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Rabu, 24 Desember 2008

Memahamkan Demokrasi dalam konteks KeTuhanan dan Kerakyatan

Oleh Ahmadi Addy Saputra
Bukan mau ikut-ikutan bicara soal politik yang hampir tiap hari terdengar ataupun terbaca di media nasional maupun lokal ataupun sekedar obrolan ringan di pojok terminal, warung kopi, seputar carut marut panggung politik kita, soal kisruh partai, pemalsuan dokumen oleh caleg, pejabat yang tersandung kasus korupsi, gugat menggugat hingga infotainmnet yang menyajikan kehidupan para politisi yang sebagian menjadi artis dadakan atau para artis yang menjadi politisi dadakan, tapi mencoba mengajak anda merenungkan kembali eksistensi demokrasi di negeri tercinta yang mau tidak mau kita ada bagian, partisipator, suksesor bahkan korban pelaksanaan demokrasi di Indonesia menjelang Pemilu 2009.

Lima tahun lalu kita telah berhasil membuat sejarah dengan menjadi negera demokrasi terbesar ke 4 di dunia, negara demokrasi dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, pendek kata dalam dunia “perdemokrasian” kita termasuk jagoanlah. Lembaga demokrasi telah terbentuk, lembaga kepresidenan, DPR/MPR hingga lembaga-lembaga baru seperti KPK dan MK. Euforia ini telah membawa kemeriahan pada setiap sendi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Harapan telah membuncah, tetapi muara dari segala sendi adalah ekonomi, ujung-ujungnya perut rakyat. Rakyat kenyang, negara tenang. Para pembela demokasi berdalih bahwa tak ada kaitan langsung demokrasi dengan kesejahteraan ekonomi,karena demokrasi hanya memfasilitasi kebebasan untuk menentukan nasib berdasarkan kehendak rakyat terbanyak. Maka tak heran tempo hari Wapres Yusuf Kalla mengatakan bahwa demokrasi hanya alat bukan tujuan, tapi anehnya pernyataan itu mengundang orang untuk bereaksi keras pula. Dasar demokrasi!

Tak kalah gencarnya pula para pengkritik demokrasi dari jaman baheula seperti Plato hingga ilmuwan sekarang yang selalu mengkaitkan-kaitkan demokrasi dengan kesejahteraan rakyat. Salah satunya masih ingat pernyataan tokoh utama, salah satu pendiri Singapura, Lee Kuan Yew, ketika ditanya tentang keberhasilan Singapura menjadi macan Asia, stabilitas jawabnya tegas, Singapura tidak butuh demokrasi, karena demokrasi tak bisa memberikan stabilitas. Terserah deh, dalam demokrasi semua boleh berpendapat.

Terlepas dari semua diskursus tentang demokrasi bangsa ini telah terlanjur mendaulat demokrasi sebagai aturan main kenegaraan. Perkara ada yang menolak itu masalah lain karena bagi saya sependapat dengan JK bahwa demokrasi hanya alat bukan tujuan. Bagi aktivis demokrasi tidak perlulah mengatakan bahwa demokrasi adalah harga mati, naif, ini buatan manusia. Dan para penentangnya tunjukkan bahwa ada sistem lain yang lebih bagus tapi dengan cara-cara santun tentunya. Kalau bisa!

Demokrasi dalam kurun waktu selama ribuan tahun telah mengalami evolusi, hal ini tentu berkaitan dengan sosiokultural negara-negara di dunia. Lain Eropa, lain Amerika, lain Indonesia. Itu yang perlu dipahami. Sosiokultural pembentukan Indonesia hingga proklamasi telah lekat dengan nilai spiritual dan keragaman. Bangsa ini dibangun atas agama-agama dan kepercayaan serta keragaman budaya dari ujung Barat Aceh hingga ujung Timur Papua. Kompromi atas keragaman makna spiritual dan budaya inilah yang membentuk kekhasan Indonesia dibanding negara lain. Maka dalam UUD 1945 nilai spiritual dan keragaman menjelma menjadi nilai Ketuhanan dan Kerakyatan. Jadi apapun kata orang tentang Pancasila, yang jelas nilai tersebut ada dalam pembukaan UUD 1945. Seberapa ngototnya para aktifis demokrasi yang ingin menjiplak demokrasi ala barat maka tampaknya akan menghadapi tembok besar dasar konstitusi kita.

Reorientasi dan revitalisasi pada tujuan negara ini menjadi langkah solutif untuk mereduksi kembali gagasan-gagasan dan wacana-wacan kebangsaan yang selama ini semakin jauh dari identitas bangsa kita. Mungkin para tokoh generasi tua terlalu kuat menggemggam “tradisi” kenegaraan dalam budaya ewuh pakewuh sehingga kadang susksesi kepemimpinan berjalan “mundur” atau mungkin para tokoh generasi muda terlalu jauh tercabut dari akarnya sehingga dia berbicara dalam bahasa politik “asing” yang mengancam identitas dan kedaulatan bangsa. Tantangan terbesar tentunya pada bagaimana nilai-nilai Ketuhanan dan Kerakyatan ini diproyeksikan dan direalisasikan dalam konteks kenegaraan baik dalam sistem pemerintahan, penyusunan UU hingga pembuatan kebijakan taktis. Nilai-nilai Ketuhanan amat dekat dengan moralitas, integritas, ketulusan dan pengorbanan sedangkan nilai-nilai Kerakyatan amat dekat dengan kepekaan, kepedulian, keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan. Seluruh nilai tersebut sudah mengalir dalam darah tiap-tiap penduduk dan pemimpin bangsa ini, karena kita mewarisinya dari para pejuang kemerdekaan bangsa ini. Pendek kata sudahkah pemimpin bangsa ini bertindak dengan moralitas tinggi sehingga jijik melakukan korupsi atau sudahkah kebijakannya berpihak pada rakyat sehingga tidak asal main gusur, dan menaikkan harga.

Dalam tatanan demokrasi modern ini maka kekuasaan absolut menjadi berkurang dan kekuasaan terbagi dalam beberapa delegasi. Hal ini memungkinkan terjadinya pembagian desentralisasi kekuasaan yang juga kesewenang-wenangan. Demokrasi juga melibatkan semua stake holders negara ini, baik yang well educated maupun unwell educated, Hal ini memungkinkan keterlibatan aktif semua elemen negeri ini yang juga memunculkan “tirani” baru yaitu kelompok pemenang pemilu. Maka demokrasi dalam tatanan kehidupan bangsa bukanlah yang utama tetapi nilai yang mendasari pelaksanaan demokrasi tersebut. Sehingga trauma Plato terhadap demokrasi dapat terobati.

Tetapi perlu diingat juga dalam demokrasi bahwa keterlibatan aktif ada pada semua stake holders, bukan semata pada pemimpinnya, sehingga nilai Ketuhanan dan Kerakyatan juga perlu diaktualisasikan oleh semua elemen masyarakat. Pendek kata demo menentang UU Pornografi apakah perlu ada? Atau sering kita berbicara atas nama rakyat, rakyat yang mana? Akhir kata, pelaksanaan demokrasi di Indonesia harus tetap berlandaskan nilai Ketuhanan dan Kerakyatan, sehingga kita menjadi bangsa yang bermartabat dan menggugurkan tesis bahwa demokrasi tidak mengenyangkan rakyat.

Tidak ada komentar: