Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Selasa, 16 November 2010

Ketika Presiden Amerika Menggantikan Bonanza..

Pengantar :

Posting ini adalah salinan utuh dari tulisan Bpk.Muhaimin Iqbal di geraidinar.com , praktisi ekonomi syariah,blogger,dan tinggal di Depok.Dalam posting ini, semoga kita dapat mengambil manfaatnya terkait dengan kebijakan ekonomi Amerika.

Salam,
Luqman Setiawan

Ketika Presiden Amerika Menggantikan Bonanza...



Pada awal tahun 1970-an ketika televisi di rumah saya di kampung masih ditonton orang sekampung, penonton selalu mbludak pada saat penayangan film cowboy Bonanza. Ternyata bukan hanya di Indonesia, di negeri asalnya sendiri – Amerika – serial televisi tersebut juga sangat popular. Maka, mumpung mayoritas orang Amerika lagi di depan televisi – pada suatu malam di tanggal 15 Agustus 1971 – Presiden Amerika waktu itu Richard Nixon – muncul menggantikan episode Bonanza yang di tunggu-tunggu rakyat Amerika.

Pesan penting yang disampaikan Nixon waktu itu ternyata tidak hanya mengejutkan rakyat Amerika – tetapi juga mengguncang ekonomi dunia – sehingga sampai saat ini kejadian tersebut dikenal sebagai Nixon Shock – kejutan Nixon. Sejak saat itulah Dollar yang seharusnya bisa bebas ditukar kembali dengan emas dengan nilai tukar di kisaran US$ 35 – US$ 40 /Oz, menjadi tidak bebas lagi dan tidak ada lagi patokan nilai penukarannya. Pelepasan kaitan US$ dengan emas inilah yang kemudian merombak secara total tatanan keuangan dunia dan melambungkan harga emas hingga kini.

Selama 40 tahun sejak kaitan US$ dan emas dilepas, harga emas-pun melonjak sekitar 40 kali-nya yaitu dari US$ 35/Oz ke US$ 1,400/Oz. Namun bukan hanya kenaikan harga emas dalam jangka panjang ini saja yang diubah oleh kemunculan Nixon yang menggantikan Bonanza tersebut diatas, tetapi secara filosofi uang dunia telah berubah total dari sesuatu yang riil menjadi sesuatu yang semu.

Seolah seperti disengaja, sejak saat itu orang melihat US$ seperti melihat Bonanza atau serial televisi lainnya. Semua penonton tentu tahu bahwa apapun yang ditayangkan oleh televisi di film-film seperti Bonanza tersebut adalah sesuatu yang semu, rekaan semau-maunya oleh sang sutradara – namun tetap saja penonton begitu menikmatinya.

Maka demikian pula dengan US$ ( atau mata uang kertas lainnya), nilainya dengan mudah semau-mau-nya dimainkan oleh pemegang otoritas di masing-masing negeri, tetapi kita semua tetap begitu mempercayai dan menyukainya. Masyarakat dunia tahu bahwa the Fed-nya Amerika misalnya barusan mencetak uang dari awang-awang dengan istilah keren Quantitative Easing - yang berarti seluruh pemegang US$ dirugikan dengan daya beli yang menurun – sebagai ‘penonton’ tetap saja tidak ada yang protes dan tetap saja menikmatinya.

Yang lebih mendasar lagi, uang yang bernilai semu yang dijaman modern ini di trigger oleh Nixon Shock tesebut diatas – kini telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan kita – ikut-ikutan menjadi semu pula. Krisis 1997/1998 di Indonesia misalnya, telah tiba-tiba menciptakan keunggulan competitive yang semu bagi kita – karena tanpa pencapaian apapun – kita tiba-tiba bisa membalik dari defisit di neraca perdagangan menjadi surplus.

Petinggi-petinggi Amerika sampai presiden-nya sekalipun, tidak henti-hentinya menekan China agar menaikkan nilai tukar mata uangnya sehingga ekspor Amerika bisa meningkat dan impor dari China menurun. Sebaliknya China juga tidak dengan mudah mau menaikan nilai mata uang-nya karena bila ini dilakukan akan membunuh daya saing export-nya.

Dengan mata uang yang semu tersebut, daya saing export suatu negara yang seharusnya ditentukan oleh efisiensi industri, inovasi, competency , creativity dan lain sebagainya tereduksi fokusnya menjadi seolah hanya tergantung pada tinggi rendahnya nilai tukar mata uang negara yang bersangkutan.

Solusi yang semu tidak bisa menyelesaikan masalah yang riil, maka kita tidak harus terlena dengan tontonan ‘Bonanza’-nya Amerika. Bersama-sama sebagai bangsa kita harus secara riil berkarya yang unggul, membenahi segala macam peraturan yang menghambat usaha, menekan biaya produksi dengan inovasi dan bukan menekannya dengan ongkos buruh yang rendah.

Kalau toh nilai tukar Rupiah jatuh terhadap US$ ataupun sebaliknya meningkat tajam terhadap US$, janganlah tontonan ‘Bonanza’ ini menjadi fokus kita. Problem kemiskinan dan pengangguran kita adalah riil, maka hanya solusi riil yang kita butuhkan. Wa Allahu A’lam.

Di-update pada Senin, 15 November 2010 08:51 author : Muhaimin Iqbal

Tidak ada komentar: