Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Senin, 21 Juli 2008

Golput; sebuah pilihan politik!!

Trias politika menyertakan 3 bangunan utama dalam kerangka demokrasi. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kekuatan yang sama sehingga sama2 memiliki kekuatan penyeimbang antara satu dng yang lainnya. Untuk menuju proses demokrasi, dipilihlah mekanisme pemilu untuk memilih anggota legislatif dan eksekutif. Manifestasi dari pemilihan adalah munculnya partai politik. Maka pemilu adalah mekanisme demokratis untuk memilih pemimpin baik di legislatif atau eksekutif.

Indonesia yang menganut sistem multi partai baru2 ini mengeluarkan peserta pemilu melalui KPU yaitu sebesar 34 parpol. Jumlah yang luar biasa banyak, padahal kalo dilihat platform, visi dan misi nya semua parpol tsersebut hampir sama. Platform ada 2 besar : nasionalis dan agamis. Jika nasionalis platformnya pancasila dan agamis ada islam dan kristen. Yang menjadi pertanyaan "kok bisa sedemikian banyak parpol di Indonesia". Mungkin elit2 parpol butuh eksistensi agar keberadaannya diakui di republik ini.

Golput terbagi dalam beberapa kategori; pertama golput yang disebabkan oleh administrasi pemilu yang kacau sehingga pemilih yang ingin memilih tidak terdata, kedua golput karena kesalahan teknis dalam pencoblosan, dan ketiga adalah golput karena sikap politik (disebabkan oleh pertimbangan2 rasional dalam melihat sistem politik apakah akan memberikan manfaat atau tidak bagi negara.

Ada beberapa hal yang mengakibatkan seseorang golput sebagai pilihan politik.
Pertama adalah sistem politik yang memilih calon seperti kucing dalam karung, tidak memperkenalkan figur tetapi hanya memperkenalkan calon jadi yang mungkin sudah ada deal2 dana tertentu untuk menjadi anggota caleg di parpol tertentu. Sistem politik demikian mengakibatkan masih tetap kuatnya parpol dalam menentukan arah negara ini dan tentu saja parpol dengan sadar akan meningkatkan posisi tawarnya. Disamping itu anggota legislatif dan eksekutif yang dipilih oleh rakyat tidak menjalankan amanah yang diberikan oleh rakyat yang menggunakan hak pilihnya untuk mendahulukan kepentingan rakyat dibanding golongan atau partainya. Sekarang ini anggota partai atau eksekutif lebih takut kepada partai daripada rakyat yang memilihnya.

Kedua; tidak ditepatinya agenda reformasi yang diperjuangkan oleh demonstrasi mahasiswa'98. Agenda2 tersebut hampir tidak ada tindak lanjutnya. Logikanya "mikul duwur mendem jero" disalahartikan bahwa penyelewengan seyogyanya tidak perlu diungkit2. Kalo bisa bersama2 ditanggung bersama, dan kesalahan di tanam sedalam2nya, jangan diungkit2 lagi.

Ketiga ; memang ini merupakan bentuk delegitimasi terhadap sistem pemilu. Jika semakin banyak yang tidak menggunakan hak pilihnya, maka pemimpin tersebut secara moral tidak legitimet. Ujung2nya adalah bentuk delegitimasi terhadap parpol yang mengecewakan rakyatnya. Ingat, faktor pembagi bagi calon masih berlaku dari total pemilih. Jadi semakin banyak yang tidak menggunakan hak pilihnya maka anggota yang terpilih tidak memiliki legitimasi moral.

Keempat; paradigma ekonomi eksekutif dan legislatif terlalu neo liberal, menghamba pada modal dan investasi asing, buruh murah, subsidi diharapkan 0%. Institusi pendidikan pun diperlakukan sebagai badan hukum untuk mengeruk keuntungan.

Sepuluh tahun sesudah reformasi memberikan pelajaran yang luar biasa bagi masyarakat apakah menggunakan hak pilihnya atau tidak? Demokrasi adalah sistem politik yang dipilih oleh negara, mau tidak mau kita akan menelannya. Bagi saya memilih dan tidak memilih adalah pilihan. Aku ingat pepatah " yang diingat orang akan pemimpinnya adalah kesalahannya bukan kebaikannya, seberapa hebat pemimpin tetapi melakukan kesalahan, maka tidak berarti kehebatan pemimpin tersebut, karena yang diingat orang adalah kesalahan pemimpin tersebut". Jadi memilih pemimpin tidak boleh salah, atau jika tidak ada alternatif pilihan ("4 L" lu lagi lu lagi)... Mending tidak memilih...

Kawan Sis'96

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya mencoba memahami pendapat kamerad Sis,
Akal sehat saya melihat bahwa apapun stigma yg melekat padanya,Golput tetaplah sebuah realita politik di negeri manapun di jagat raya ini.
Namun demikian,
ada satu peribahasa yg lahir di era kejayaan suatu bangsa di masa lalu...

"lebih baik di pimpin oleh pemimpin yg zalim,daripada tanpa pemimpin"

Artinya seburuk-buruknya pilihan yang tertuang pada kertas coblosan di bilik suara kala kita semua memasukinya....
Apa gak lebih elok kita coblos sembarang foto yg zalim...
Daripada negara tanpa pemimpin...
yg ada...
rakyatnya saling tikam satu sama lain...

Adakah kita tidak belajar dari...
sejarah bangsa2 di masa lalu
satu masa kala tdk ada satupun
kepemimpinan yg tegak berdiri...

Machbub-Papa mengatakan...

Golput? punya banyak cerita!!!
Ketika Golput di sampaikan, maka saya ingat pada saat pemilihan Gubernur Jawa timur tahap pertama, Wah cukup fantastis ketika melihat hasil pilgub tersebut, kurang lebih 40% arek Jamur (jawa timur) ora nyoblos.
Ketika pagi saya berangkat kerja, kebetulan kerja di bank gak bisa libur kayak PNS, jalanan kota Surabaya lengang bagaikan hari minggu atau hari libur, terbersit di hati bahwa jawa timur menjadi pilkada yang sukses dengan golput, ditambah berita pagi di Televisi mengesankan bahwa pilkada ini akan sukses. Ketika memasuki bundaran Waru, perbatasan Surabaya-Sidoarjo optimisme saya cukup tinggi bahwa pilkada ini sukses berat, terlihat beberapa TPS didirikan bahkan ada yang aneh-aneh untuk menarik warga untuk datang, tapi...
Ketika saya melesati Kebon Binatang (Bonbin) Surabaya terlihat antrian orang, bukan antri di TPS untuk memilih tapi antri masuk ke Bonbin Padahal saat itu masih pukul 07.30. Kalo mereka sudah nyoblos, kira-kira nyoblos jam berapa ya...? ato memang TPS warga sekitar ditempatkan didalam Bonbin? ato mungkin di Bonbin ada TPS khusus?... Saya masih tetap optimis bahwa itu hanya sebagian kecil warga.
Sesampainya dikantor kondisi seperti biasa tapi hingga pukul 10 pagi susana kantor cukup lengang, mungkin karena nasabah mengira bank saat itu tutup, bahkan beberapa kali telp genggam saya bergetar dimana nasabah menanyakan apakah bank operasional ato tidak, hari itu bank tetap operasional, tetapi pekerja masuk bergiliran agar bisa nyoblos. saya sendiri dapat jatah nyoblos siang hari.
Dikantor kondisi ternyata tidak sebaik saya lihat di depan bonbin tadi, beberapa rekan kerja ternyata tidak menggunakan hak pilihnya, ada dengan alasan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap, ada yang cuek dengan pilkada, ada yang sebenarnya ingin nyoblos tapi dikarenakan kewajiban kantor yang tidak bisa ditinggalkan. Lho kan masuknya bergilir? dengan tidak libur maka untuk "sekedar nyoblos" merekan menganggap kegiatan itu membutuhkan waktu, tenaga dan biaya terutama yang rumahnya luar kota.
Tepat jam 11 waktunya saya untuk giliran nyoblos dirumah, dengan waktu tempuh kurang lebih satu jam dari kantor ke rumah maka saya bisa tiba jam 12, jadi masih ada 1 jam sebelum TPS di tutup jam 1 siang, di perjalanan saya merenung bahwa orang tidak nyoblos bukan dikarenakan mereka cuek dengan pilkada atau kecewa dengan pemilu, pilkada yang telah ada atau bahkan yang lebih ekstrim kecewa dengan agenda reformasi, tapi juga dikarenakan oleh kesempatan yang tidak mereka miliki baik karena hak mereka yang tidak dipenuhi, juga kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.
Pukul 12 tiba dirumah mertua, kebetulan KTP masih ikut rumah mertua, bukan ikut rumah yang saya tempati saat ini. sesampainya dirumah, adik ipar saya bertanya; " lho mas kok masuk kerja? padahal ada edaran dari Gubernur Jatim bahwa hari ini adalah hari libur!!". Untuk menghibur diri, saya pun menjawab; "Orang Bank punya Gubernur Sendiri, yaitu Gubernur BI, jadi kalo tidak ada edaran dari Gubernur BI maka bank tidak berani libur!!!" :)