Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Rabu, 09 Juli 2008

Biaya pendidikan melambung tinggi?

By : Fida Meilini

Tidak asing rasanya membaca judul diatas. Kita semua pasti merasakan hal yang sama. Saat dimana pemerintah menetapkan sekolah gratis hingga tingkat SLTP, disisi lain biaya sekolah untuk ke tahap selanjutnya, SMA...apalagi kuliah...tetap saja semakin melambung tinggi. Bagi yang tidak mampu yaahh...silahkan bermain dengan angan-angan.

Negeri ini memang sangat membingungkan. Banyak pertanyaan yang muncul dan mungkin sulit dijawab oleh orang-orang ’pintar’ di pemerintahan. Bagi saya sekolah gratis hingga tingkat SLTP itu hanya untuk menjadikan bangsanya setingkat Office Boy (itupun juga sulit, karena untuk menjadi Office Boy saat ini mungkin minimal harus lulusan SMU, kalau lulusan SLTP mungkin jadi tukang sapu jalanan, tukang kebun, pembantu rumah tangga dan sejenisnya kali ya...). Beruntung bagi yang bisa melanjutkan sekolah ke tingkat SMU bahkan hingga tingkat Perguruan Tinggi, tapi bagi yang kurang beruntung, hanya akan berhenti disitu dan bersiap-siap untuk berkarir di bidang sapu-persapuan, tukang-pertukangan, dan mungkin pengamen jalanan -maaf kalau contoh-contoh ’profesi’ disini agak ekstrem, walaupun sebenarnya banyak pengusaha-pengusaha sukses yang hanya lulusan S2 (SD dan SMP), tapi tipe manusia-manusia luar biasa seperti mereka tidak akan kita bahas dalam artikel ini, termasuk pengamen jalanan yang bisa menghasilkan sebuah mobil CRV atau bahkan rumah mewah hanya karena kemampuannya dalam me-manage perkumpulannya-

Sepupu saya yang masih SMP pernah bilang begini, ”sekolahku enak lho, gratis...aku ga pernah bayar SPP...”. Hmm...seorang anak yang tinggal di rumah mewah dengan tingkat kemampuan orang tua yang dapat dikatakan berlebih diberikan hak untuk tidak membayar biaya sekolah oleh pemerintah? Sebenarnya bukan salah dia untuk masuk ke sekolah itu, tapi bagi saya sangat disayangkan bahwa aturan tersebut diberlakukan merata untuk semua siswa dengan tingkat perekonomian keluarga yang berbeda. Sebenarnya akan lebih indah apabila diberlakukan subsidi silang, si kaya mengeluarkan biaya, dan si ’tidak mampu’ tidak perlu membayar. Indah bukan...dari situ juga kita telah menciptakan budaya sosial yang baik. Dan sebaiknya aturan seperti ini juga diberlakukan untuk tingkat SMA maupun Perguruan Tinggi.

Coba bayangkan, saat ini untuk masuk SMU saja (padahal NEM si anak sudah tinggi dan bisa masuk SMU Negeri favorit) tiap orang tua harus mengeluarkan kocek berlebih untuk yang namanya biaya inilah, itulah...kalau bagi keluarga mampu sih oke-oke saja, tapi bagi yang tidak mampu bagaimana? Dan mungkin ‘orang-orang pintar diatas sana’ hanya berkata ”Upss...sorry, no solution for poor people like you…” (fiuuhh…). Belum lagi sistem di PTN kita saat ini. Sejak ramai masalah perpindahan ’status’ beberapa PTN menjadi BHMN, mulailah para PTN tersebut memutar otak untuk mencari pemasukan lain diluar biaya SPP. Segala kegiatan yang dapat menghasilkan uang digencarkan dimana-mana. Dan ironisnya, untuk seorang mahasiswa yang dinyatakan lulus UMPTN atau SPMB di sebuah PTN ternama tetap harus membayar sejumlah uang (diluar SPP) sebesar puluhan juta rupiah!!! Ada apa ini?!

So, kesimpulan yang dapat kita ambil adalah...di Indonesia, orang yang pintar tidak akan menjadi jaminan bahwa mereka akan dapat menimba ilmu di sekolah-sekolah terbaik, yang ada hanyalah anak-anak orang kaya lah yang akan dapat bersekolah di sekolah-sekolah terbaik.

Miris yah...tidakkah orang-orang ’pintar’ diatas sana sadar bahwa ada yang lebih penting untuk didiskusikan daripada berantem di sidang rapat, ada yang lebih berharga untuk difikirkan daripada persiapan memenangkan jagoannya di Pemilu, ada yang lebih membanggakan untuk dilakukan daripada pergi ke hotel untuk berselingkuh?

Fiuuh...menulis artikel ini saja saya sampai bolak-balik menghela nafas. Bagi saya semuanya kembali lagi pada kehancuran moral bangsa. Benang merah seluruh kekacauan negeri ini sebenarnya terletak pada buruknya sistem pendidikan kita sejak kecil, baik pendidikan formal maupun pendidikan moral. Sebagai bahan refleksi ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri, kenapa Malaysia bisa maju dengan pesat –padahal dulu mereka belajar dari kita. Kenapa Singapura bisa sangat bersih? Kenapa aturan tidak membuang sampah sembarangan dipatuhi dengan tertib oleh rakyatnya? Di Indonesia dimana-mana tertulis ’dilarang membuang sampah disini’, tapi justru di bawah tulisan itulah sampah terkumpul hingga menggunung. Sungguh suatu perbedaan yang memilukan dan memalukan.

Tapi justru dari sini kita belajar melihat bahwa sebenarnya kemajuan bangsa terbentuk dari rakyatnya yang bermoral dan berpendidikan (*ukuran orang yang berpendidikan disini bukan berarti harus bersekolah tinggi, tapi diukur dari bagaimana mereka dapat memahami dengan baik segala aturan yang ada untuk kebaikan bersama, selalu positive thinking dan senang melakukan hal-hal yang benar), dan semua itu dapat terbentuk dengan sistem pendidikan moral dan yang baik ditunjang dengan berbagai dukungan dari semua pihak.

Be Success..
FM 09.07.08

3 komentar:

Anonim mengatakan...

hik..hik...entar bagaimana nasib anak cucu kita,,,

Anonim mengatakan...

Pendidikan mempunyai dasar kata "didik", beda dengan pengajaran yaitu "ajar". Makna "didik" mempunyai subtansi bahwa manusia sesuai fitrahnya adalah insan yang selalu berkembang sesuai dengan sisi kemanusiannya. "Didik" memberi makna bahwa setiap manusia akan berusaha belajar dari dirinya, lingkungan, pengalaman, dan dari orang lain. Jadi dalam pendidikan semua adalah guru dan semua adalah murid. Sehingga tercipta egalitarian dalam pendidikan yang tujuannya adalah memberikan kemerdekaan bagi setiap insan untuk saling belajar.
Makna pengajaran adalah berhubungan dengan skill, contohnya adalah seorang anak kecil kita ajarin berbicara, makan, mandi, BAB, dll. Dalam konteks yang lebih besar masuk ke dalam area kursus, pelatihan, diklat, dll. Sesuatu yang bersifat keahlian.

Pendidikan seyogyanya bisa menjangkau semua masyarakat karena dengan itu bisa membebaskan keterkungkungan, kejumudan berfikir. Sehingga terjadi proses pencerahan untuk bangkit dari keterpurukan. Esensi pendidikan adalah manusianya, sedangkan esensi pengajaran adalah materi diluar manusianya. Pendidikan akan membuat manusia mampu berfikir secara merdeka dan sadar akan dirinya, sadar potensinya, sadar kelemahannya, dan sadar akan kondisi di sekitarnya. Pengajaran membuat manusia pintar, tetapi tidak membuat manusia sadar siapa dirinya. Sedangkan pendidikan membuat manusia sadar akan sisi kemanusiannya.

Yang terjadi sekarang ini adalah pergeseran makna pendidikan dalam hampir semua institusi pendidikan. Semua institusi pendidikan berubah menuju ke arah pengajaran yang lebih pada pro pasar (dalam arti menciptakan manusia pintar, ahli terhadap sesuatu, tetapi tidak mempunyai keberpihakan dalam menggunakan skillnya tersebut. Dalam arti bahwa institusi pendidikan sekarang ini lebih menciptakan lulusan "tukang" atau teknokrat2. Sehingga semua institusi pendidikan berlomba2 mencetak "tukang" yang dapat terserap ke dunia kerja.

Korelasi dari ini adalah bahwa institusi pasti menaikkan biaya pendidikannya untuk mengejar keterkaitan dengan sector industri, sehingga meningkatkan kebutuhan akan ketersedian sarana dan prasarana dalam system pengajaran di insitusi pendidikan. Karena mencoba mengaitkannya dengan sector industri maka, institusi pendidikan pasti merekonstruksi dirinya juga menjadi industri. Sedangkan yang dihasilkan adalah output berupa tenaga2 terampil yang akan terserap dengan sector industri.

Indikator PT sekarang ini memasukkan keterserapan alumninya ke dalam sector tenaga kerja atau industri. Semakin banyak terserap maka akan menjadikan PT seolah2 gengsinya naik. Linch and match PT memposisikan bahwa harus ada keterkaitan antara alumninya dengan sector industri.

Sangat berbahaya jika institusi menjadi sector industri, yang terjadi pasti perhitungan untuk dan rugi dalam menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Dan tentunya semakin berdampak pada kualitas manusia di Indonesia. Menurut survey Indonesia berada di posisi 130-an dari 160-an Negara. (kalo nggak salah ya). Dan jika generasi mudanya bodoh maka Negara pasti jatuh… Ironis!!

Unknown mengatakan...

great!! setuju mas..
Pendidikan adalah substansi/content, sedangkan pengajaran adalah the way it is..

Pendidikan dapat diperoleh dimanapun, kapanpun. pendidikan bukanlah diktat tapi lebih pada apa yang dilihat dan terlihat, apa yang didengar dan apa yang dirasakan oleh setiap manusia.
So..melihat keadaan yang seperti sekarang ini, apa yang harus kita perbaiki minimal untuk diri sendiri dan keluarga?