
Posted by Luqman Setiawan
Tinggal menghitung hari saja kemeriahan pesta demokrasi segera digelar. Pemilu merupakan tradisi demokrasi, ritual wajib yang harus dijalani penganut demokrasi. Pada masa orde baru euforia pemilu amat sangat terasa, pemilu menjadi sesuatu yang dinanti kedatangan walapun hasil akhir tetap bisa ditebak. Tak ada perubahan signifikan terhadap pemilu, karena pemenangnya itu-itu saja dan kebijakan itu-itu saja. Tetapi pemilu tetap saja menarik, jumlah pemilih tinggi, PPS dimana-dimana rame. Masyarakat antusias.
Justru pada era sekarang yang diklaim sebagai era kebebasan, euforia, antusiasme menurun dan jumlah golput besar. Pemilu, pilkada dan sejenisnya menjadi sesuatu yang menjemukan. Jenuh. Apatis. Putus asa. Sebagian para pakar menyebutnya sebagai wujud rendanhya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan akhirnya pada sistem negara ini. Padahal negara ini sudah sepakat memilih demokrasi, dan alat untuk menyalurkan aspirasi untuk perubahan ya pemilu, suka atau tidak suka. Sebagai refreshing saja saya mengajak kita merenungi sejarah bangsa ini.
Kedatangan armada Cornelis de Houtman pada ekpedisi ke Timur Jauh yang disponsori oleh Compagnie va Verre pada bulan Juni 1596 M di Banten, untuk pertama kali mendarat di kepulauan nusantara ini dan dilanjutkan ekspedisi lainnya, ibu pertiwi masih beramah hati menerima mereka. Hingga kemurahan hati pangeran Jayakarta yang memberikan pulau Onrust atau lebih dikenal pulau Kapal yang terletak diutara Jakarta kepada armada dari Belanda pada tahun 1610 M, dilanjutkan kolonisasi oleh VOC dan lima tahun kemudian rencana penyerangan ke Batavia dirumuskan di pulau ini. Seolah pangaeran Jayakarta menggali kuburannya untuk rakyat bangsanya sendiri.
Seperti kita ketahui VOC yang lebih kita kenal kompeni, merupakan kongsi dagang besar yang mendunia, mungkin sekarang semacam multinasional, memiliki hak istimewa yang tercantum dalam pasal 34 dan 35 actroi pendiriannya. Hak untuk memonopoli perdagangan dan membuat perjanjian dengan raja-raja lokal, hingga berujung pada untuk melakukan penindasan, pembunuhan dan penjajahan. Kolonisasi bangsa ini dalam wujud Hindia Belanda telah menciptakan petaka bagi penduduk pribumi. Sudah berapa banyak kekayaan bangsa ini yang dikeruk dan berapa banyak nyawa yang melayang akibat kolonialisme ini.
Setelah 63 tahun merdeka berdaulat secara de facto dan de jure seolah terasa hambar ketika kita berkaca pada realita bahwa sesungguhnya kita tidaklah berdaulat. VOC mungkin yang terkejam tapi “anak didik” mereka yang menjelma menjadi perusahaan mulitnasional modern hidup dan tumbuh berkembang subur di negeri tercinta ini. Perusahaan skala besar dan strategis menyangkut sandang-pangan penduduk negeri hingga lembaga keuangan nasional yang dikuasai oleh asing. Dengan dalih globalisasi perdagangan dunia dalam era pasar bebas maka semua negara di dunia termasuk Indonesia dipaksa untuk melegalisasi dan meratifikasi keberadaan WTO, sebagai sebuah perkongsian. Mirip dengan pemberian hak istimewa kerajaan Belanda kepada VOC.
Dengan dalih meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah orde baru dan penerusnya, pengelolaan sumber daya alam Indonesia diserahkan kepada pihak asing, karpet merah layaknya pahlawan atau bintang pujaan untuk investor asing. Mirip pemberian pulau Onrust oleh pangeran Jayakarta kepada VOC.
Sejarah senantiasa berulang, rentetan peristiwa masa lalu akan berpengaruh terhadap masa kini. Apa yang kita lakukan sekarang besar kecil akan berpengaruh kepada setiap kejadian pada masa mendatang. Tak terputus semua ada sebab dan akibat. Dan sejarah bukan sekedar benda mati berupa kota lama lengkap dengan bangunan tuanya, situs-situs sejarah hingga logika sejara yang belum terpecahkan dan senantiasa menjadi bahan diskusi di “menara-menara” gading yang bernama intitusi pendidikan dan lembaga penelitian.
Setelah mengalami pergantian kepeminpinan, amanat dalam konstitusi negara kita untuk mensejahterakan rakyat banyak masih jauh. Pemimpin masih saja mengandalkan pencitraan yang sempurna daripada berkotor-kotor melayani rakyat. BBM turun yang sebenarnya adalah hadiah dari langit yang diberikan Tuhan karena harga dunia merosot tajam dianggap sebagai sebuah prestasi keberhasilan. Angkuh. Begitu pula rakyat kita, penderitaan akibat penjajahan membuat bangsa ini kuat namun juga malas. Rakyat mudah sekali terpesona dan terpikat oleh keindahan yang semu. Saling rebut saat ada pembagian “rejeki” dari segelintir orang kaya di Indonesia menjelang hari raya tertentu. Yang kaya sombong, yang miskin tamak. Larut dalam aliran sesat yang menawarkan pengalih perhatian terhadap kesulitan hidup. Ini adalah penyakit...
Tak heran maka penajajahan era baru yang oleh Sukarno dan Agus Salim disebut neo-kolonialisme tumbuh subur di negeri tercinta ini hingga sekarang. Tapi bukan tanpa harapan.
Pada tanggal 24 Agustus 1949 persidangan maraton memasuki babak akhir, persidangan yang kita sebut Konferensi Meja Bundar. Moh. Hatta salah satu putra terbaik bangsa ini memimpin delegasi Indonesia dalam pengakuan kedaulatan Indonesia yang sebelumnya telah diprokamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh dia dan Soekarno sebagai wakil rakyat Indonesia. Sokarno dan Hatta adalah produk terbaik bangsa ini lepas dari segala kontroversinya. Generasi ini adalah puncak dari generasi sebelumya pada era Diponegoro, Pattimura, Teuku Umar, Hasanudin dan lain. Hasil dari konferensi tersebut sebagai tonggak kedaulatan bangsa Indonesia atas kolonialisme Balanda.
Sejarah bisa terulang, kolonialieme bisa diawali dan juga bisa diakhiri. Demikian juga dengan neo-kolonialisme, bisa dimulai dan juga bisa diakhiri. Tinggal generasi mana dari negeri ini yang akan mengakhiri, dan sejauh mana generasi sekarang termasuk kita mengambil peran. Hingga akhirnya nanti Proklamasi Kemakmuran bisa dikumandangkan di Indonesia ini. Jika boleh saya bermimpi maka saat sekaranglah neo-kolonalisme harus diakhiri. Demikianlah mimpi Diponegoro, mimpi Patimura, mimpi Hasanudin, walau belum menjadi nyata mereka sudah berbuat yang besar dan kemerdekaan sudah mereka peroleh secara pribadi. Dan kalau beruntung kita adalah Sokarno dan Hatta sekarang, bermimpi dan melihatnya menjadi nyata.
Bagaimana caranya? Kalau memang anda masih percaya demokrasi maka sejarah bisa ditorehkan melalui partisipasi anda. Mungkin hasil yang diperoleh tidak serta merta ada. Dengan ikut mencontreng besok pada pemilu 2009, tidak kemudian tahun 2010 Indonesia langsung ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi itu menjadi sebuah pembelajaran dan pengorbanan bagi bangsa ini seperti yang dilakukan Diponegoro dan kawan-kawan. Dan kalau Allah menghendaki maka hasil pemilu besok seperti layaknya Proklamasi Kemakmuran sebagai Proklamasi Kemerdekaan jilid 2. Karena generasi pendiri bangsa ini bisa menikmati kemerdekaan adalah akibat dari sejarah yang ditorehkan oleh Diponegoro dan kawan-kawan. Sekali lagi jika anda masih percaya demokrasi. Karena sebagaimana senjata dan semangat dalam perjuangan kemerdekaan maka pemilu dan semangat dalam demokrasi adalah sama pentingnya.
Salam Boy