Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Kamis, 19 Maret 2009

Masih Bicara Politik

Membicarakan persoalan politik terkadang memang lebih mengasyikkan dilakukan di pinggiran jalan, terminal, café, warung kopi atau segala tempat yang tidak menuntut banyak aturan. Lebih terasa natural, mengalir deras, seperti serangan zionis Israel kepada Palestina. Adu argumenpun terasa lebih hidup, bertahan pada argument masing-masing, sekuat semangat intifada bocah-bocah Palestina mempertahankan tanahnya. Tengok saja pembicaraan persoalan politik pada diskusi tingkat tinggi di seminar-seminar, workshop, istana negara, gedung parlemen, atau segala tempat yang berbirokrasi tinggi. Banyak kesimpulan yang dihasilkan tak lebih dari sekedar analog pada sebuah barang yang mudah didapat tetapi tak terjangkau daya deli masyarakat.

Bagaimana tidak ratusan seminar, ribuan workshop, puluhan sidang paripurna dilaksanakan tapi banyak juga yang mati-matian menolak, membuat seminar tandingan, menggelar demo, gerakan ekstra parlementer, istilah kerennya. Jika ada aksi tentu ada reaksi, dual control, apalah istilahnya, dalam politik, ada oposisi mungkin. Beberapa kasus di daerah misalnya, sebagai contoh seorang walikota dari partai A, dan karena sistem pemilihan langsung, maka dia terpilih sementara partai A bukan pemenang pemilu atau partai besar. Apalagi pengukuhan kemenangan melalui proses hukum karena sengketa..Alhasil dapat ditebak, susah sekali pasti si walikota membuat kebijakan pasti selalu ditolak oleh parlemen atas nama oposisi.

Saya juga tidak tahu apakah kegilaan orang-orang atas demokrasi itu yang menyebabkan itu, atau karena kurangnya pemahaman tentang demokrasi. Karena bagi saya demokrasi memang tidak bisa dipahami. Yang besar yang menang. Itu saja bagi saya. One man one vote. Satu suara Habibi sama dengan satu suara Ryan sang jagal dari Jombang. Bagaimana tidak ketika negeri ini terkungkung dalam sebuah rezim tirani maka hampir dapat dipastikan setiap orang yang merasa paham meneriakkan kebebasan, demokrasi pilihannya. Dan saya yakin pula bahwa demokrasi adalah produk impor. Tetapi ketika demokrasi memenangkan hati sebagian besar masyarakat kita, teman-teman kita yang merasa paham tadi kembali meneriakkan untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu, dengan dalih tak ada calon wakil yang layak.

Seperti yang saya bilang diatas tadi emang lebih berbicara politik di warung kopi daripada di gedung parlemen. Bebas. Tak ada aturan yang mengikat. Pemilu dengan segala aturannya adalah produk demokrasi, di negara manapun juga begitu, tetapi semua itu mengikat. Wakil rakyat terikat dengan partai politik, setiap partai politik terikat dengan konstituennya, begitu terus, interaksi terjadi, harmonis, berkhianat, rujuk lagi dan terus begitu. Tidak enak tentunya. Lebih enak kalau berbicara di luar sistem, di seberang jalan, berteriak tanpa ikatan apapun. Tak ada tekanan. Lebih keren kalau mengatas namakan rakyat. Dalam demokrasi yang boleh mengatas namakan rakyat hanya yang memiliki kontituen. Jadi kalau anda bersama sekelompok orang berdemo maka sebenarnya anda menyuarakan kelompok anda. Itu sah saja dalam demokrasi.

Kita harus menerima kenyataan pahit ini, bahwa ketika kita mempercayai demokrasi tetapi tidak pada sistemnya. Bagaimana demokrasi diagungkan sementara produknya dicela. Wakilnya tak ada yang layak. Sebagian berpendapat itu masalah moral, karakter masyarakat pengguna demokrasi. Jadi pertanyaan sederhananya, apakah demokrasi bisa dilaksanakan jika semua penduduk negeri ini telah bermoral, sehingga pasti caleg-nya bermoral? Kalau jawaban iya kapan itu terjadi, yang jelas bukan sekarang bagi sebagian orang. Berarti kita ganti saja demokrasi ini dengan sistem lain….

Tapi apa semudah itu, penggagas demokrasi negeri pasti tidak terima, anak-anak Heraclitus (pencipta demokrasi) akan mati-matian mempertahankannya. Coba renungkan kembali ungkapan Plato Dalam The Republic, Plato menyuguhkan sebuah analogi bagaimana para awak sebuah kapal berebut ingin menjadi nahkoda kapal meskipun mereka tidak pernah belajar tentang navigasi. Bagaimana mungkin kaum yang awam tentang kapal, musim, langit, bintang dan angin bisa dipercaya menahkodai sebuah kapal, inilah sindiran Plato.

Lha terus bagaimana, negeri harus cepat bertindak. Anak-anak bangsa ini membutuhkan makan, sekolah murah, kesehatan gratis biar bisa menatap dunia ini dengan kepala tegak. Betapa tidak enaknya menjadi Negara terjajah selam lebih dari 350 tahun dan 64 tahun menjadi Negara inferior. Menjadi buruh di ladang sendiri. Kebiasaan yang tidak puas pada sesuatu kemudian membuat tandingan harus segera di akhiri. Sebagai politisi tidak puas di partai A bikin partai B, tidak lolos verifikasi golput. Sebagai konstituen tak cocok partai A, pilih B tidak masalah, tapi kalau dari partai A – Z tak cocok, golput aja. Dalam demokrasi adalah hak setiap warga Negara untuk berekspresi, saya kira kita harus bijak dalam menggunakan hak itu. Memilih atau tidak.

Secara pribadi bagi saya, tidak menggunakan hak pilih dengan lebih memilih golput adalah mengada-ada. Kalau dalam kehidupan sehari-hari saja kita bisa sedikit berkompromi dengan perusahaan tempat kita bekerja, dengan istri kita, rekan kerja kita, tetangga kita, anak-anak kita, sahabat kita hanya supaya kita tetap gajian, tetap beristri, tetap berteman, kenapa untuk Negara ini tidak ada sedikit kompromi pada partai politik beserta calegnya. Bayangkan bila semua kita pandang menurut kacamata kita. Saya yakin anda tidak punya tempat kerja, tidak beristri, tidak punya teman, karena tentunya tak ada yang bener-bener cocok dengan kita. Sekarang ada berapa ratus caleg, masih ga ada yang layak, bagus, cocok minimal kenal, atau jangan-jangan mengkerdilkan pandangan kita dan memilih bersembunyi di balik opini yang karena beberapa fakta kebobrokan wakil rakyat kita. Jika memang harus bepergian dengan mobil bersama kawan-kawan dan tak ada yang berpengalaman jalan jauh, minimal bisa dipilih sopir yang paling duluan bisa nyetirnya, kalau salah jalan,kita juga ikut melek, jadi bisa mengingatkan, kalau cape, ganti aja.

Mungkin cara menarik kesimpulan saya terlalu sederhana tapi seperti saya sampaikan bicara politik di seberang jalan lebih menarik…Seperti disini..he..he..Dan sekali lagi demokrasi adalah alat semata untuk mencapai tujuan masyarakat berKeadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kalau menyimpang dari tujuan ya ganti. Minimal kita memenangkan sistem demokrasi ini, perkara nanti ganti, perkara kedepan.

Salam Boy

1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

MENGGUGAT PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi
dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berdasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan
mestinya berhak mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" dan menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??

David
HP. (0274)9345675