Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Kamis, 25 September 2008

SULITNYA BERKATA "TIDAK" UNTUK BERLEBIH-LEBIHAN DALAM LEBARAN SYAWAL


By Luqman Setiawan




"Tidak ada yang baru di bawah sinar matahari"

Kutipan kata bijak diatas nampaknya menemukan kebenarannya saat ini.Seperti biasa,muslim Indonesia,mayoritas pemegang saham terbesar di republik ini,tumpah ruah dalam suka cita menyambut bulan suci ramadhan.Pada bulan ini,sesuai dengan petunjuk kitab suci Al Qur'an,dan junjungan Rasulullah SAW,muslim menunaikan ibadah yang sepenuhnya mengekang diri terhadap hawa nafsu dan berpeluk tafakkur dalam kesabaran,dan keikhlasan diri sendiri,sesama,dan lingkungannya.Berpuasa menahan hawa nafsu,sepenuhnya beribadah,dan menunaikan kewajiban zakat,kian meningkatkan gemerlap syahdunya bulan yang suci ini.

Namun,sebagaimana perulangan sejarah yang telah ditorehkan dalam rutinitas tradisi di negeri ini,nampaknya,ada hal paling prinsipil yang menjadi catatan koreksi kita semua dalam hal pemaknaan praktis tradisi di bulan ramadhan hingga awal bulan syawal ke depan.


HAWA NAFSU ; Dikendalikan versus Dieksploitasi ?

Bahwa ramadhan adalah puncak dari pertaruhan kemanusiaan seorang muslim dalam menguji kehambaannya dihadapan Ilahi Robbi,tentu hal tersebut sudah merupakan wacana klasik yang semua orang mafhum.Terminologi shaum (puasa) sebagai medium untuk mengendalikan hawa nafsu yang bersemayam dalam jiwa raga manusia berupa nafsu konsumtif (makan,minum),nafsu syahwat,dan nafsu materialisme lainnya (aneka penyakit hati),hal tersebut juga sudah menjadi materi rutin dari para punggawa amal ilmu agama di negeri kita.Namun dalam prakteknya,mengapa tidak berbanding lurus dengan tuntunan amal shalih yang telah dipresentasikan oleh "role model" terbaik sepanjang zaman,junjungan Rasulullah SAW ?
Mengapa geliat kemubadziran,dan bermegah-megahan justru meraih titik puncaknya di bulan suci ini?lihatlah,index perdagangan ritel di seluruh pelosok negeri mencapai titik puncaknya di bulan ini.Berbondong-bondong masyarakat bak berlomba mengeksploitasi konsumsi keluar jauh dari standar mutu konsumsi sehari-hari pada 11 bulan sebelumnya.Padahal Rasulullah sangat mencontohkan kesederhanaan secara paripurna dalam kehidupan sehari-hari,pun dalam bulan suci. Alih-alih menikmati konsumsi yang bernilai lebih premium,junjungan seluruh muslim seantero jagad raya ini cukup mencontohkan konsumsi dengan kurma dan air putih untuk berbuka,dan tidak berlebih-lebihan dalam aneka konsumsi lainnya.

Lebih lanjut, marilah kita cermati realitas tradisi di negeri kita.Ramadhan,dan puncaknya pada idul fitri beberapa hari lagi,telah sedemikian disederhanakan dalam benang merah kemenangan material ! only material.Selamat buat anda yang berhasil memenangkan 30 hari ibadah tanpa absent,tapi justifikasi tradisi menihilkan kemenangan ruhiyah dan lebih mengedepankan kemenangan material berupa ; perangkat konsumtif yang serba baru meliputi seluruh kebutuhan materil manusia (sandang,pangan,dan papan). Singkatnya,kemenangan substantif dari ramadhan telah dicuri oleh tradisi kita selama bertahun-tahun menjadi kemenangan dalam mempertontonkan prestasi materialistik individu.

Maka,tidak heran kita saksikan,puncak pemborosan besar-besaran kembali terulang di bulan yang maha mulia ini,sebagaimana tahun-tahun yang lalu.Tunjangan Hari Raya,alias gaji ke-13,hingga aneka pengeluaran untuk bingkisan,dan tali asih untuk relasi sana-sini,tidak ditujukan sebagai pendorong untuk amal salih individu ke dalam domain sosioanthropologis masyarakatnya,melainkan justru sebaliknya.THR dan aneka insentif ramadhan malah digunakan oleh individu sebagai amunisi yang sangat efektif untuk diboroskan secara massif demi kepentingan egosentrismenya (pribadi,dan keluarga,an sich).

Tidak cukup sampai di titik tersebut.Klaim bahwa Idul fitri sebagai puncak hari kemenangan,dan puncak silaturahmi antar anggota keluarga telah turut serta dikelupas substansinya oleh tradisi kita,yang entah sejak kapan dimulainya,telah menyebabkan tersedot begitu besarnya aset dan sumberdaya tak terbarukan di negeri ini ke dalam jurang eksploitasi konsumerisme akut.Silaturahmi,dieliminasi oleh tradisi menjadi semata-mata hanya sahih di puncak kemenangan idul fitri.Dus,berbondong-bondong muslim berderap dalam satu waktu yang sama melestarikan tradisi "kembali ke sumber" (udik). Akibatnya, moda transportasi nasional menjadi overlouded pada satu waktu yang sama (H-7 s/d H+7 Idul Fitri).Belum terhitung,moda transporta pribadi yang memadati sepanjang jalan "kenangan" nostalgia kembali ke sumber (udik).Bahan bakar yang harus dibakar untuk memenuhi hajatan mudik,tentu juga harus dicermati sebagai uang yang kita "bakar" dengan nilai yang lebih besar ketimbang silaturahmi yang direncanakan tanpa waktu yang bersamaan.

Lebaran Syawal,bid'ah ?

Tuntunan Islam mensyaratkan ketentuan landasan referensi yang terbaik dan kontekstual.Al-Qur'an sebagai sumber dari segala sumber hukum Islam merupakan acuan dari tata kelola amal ibadah setiap muslim.Selanjutnya,ada tuntunan dari baginda Rasul (hadits),terus hingga putusan dari ulama ('Ijma).Berdasarkan petunjuk-petunjuk yang ada,kita tidak menemukan adanya bentuk rasa syukur (tafakkur) yang berlebih-lebihan sebagaimana tradisi 'idul fitri yang terjadi di negeri kita.Di timur tengah sendiri,idul fitri dirayakan dengan kesederhanaan.Tanpa keramaian pesta halal bil halal,bermegah-megahan menampilkan gemerlap materialisme dari hasil membelanjakan THR,dan tentu saja;tidak mengenal tradisi mudik.

Dalam konteks Islam,tradisi dan tata kehidupan yang berlebihan terhadap syiar Islam masuk ke dalam kategori bid'ah,alias "melebih-lebihkan".Masalahnya,apakah tradisi lebaran syawal dikategorikan sebagai bid'ah ? nah, kembali ke terminologi awal bid'ah,yaitu melebih-lebihkan.Dus,melebih-lebihkan momentum lebaran syawal itu sendiri sudah mengidap faktor utama dari bid'ah.Dan bid'ah merupakan satu persoalan serius dalam amal ibadah seorang muslim.Ini merupakan problem besar dari perjuangan setiap muslim sejati yang mengemban amanah sebagai kader dakwah di bumi nusantara ini. Dengan turut menjalankan,yang dengan demikian membantu melestarikan bid'ah,maka seorang muslim pada hakekatnya tengah melakukan pemborosan energi ibadah keilahianNya menjadi sebuah kesia-siaan belaka.Dengan kata lain,pelaku bid'ah hanya sekedar menikmati aspek fisik dari tindakan yang ia lakukan,tanpa meraih nilai substantif dari ibadah itu sendiri,yaitu demi meraih ridho Ilahi (li'lahi kallimatillah) sebagaimana yang dituntunkan oleh junjungan Rasulullah SAW dalam sepanjang sirah kehidupannya.

Mengapa Sulit Berkata "Tidak" untuk "Melebih-lebihkan" Lebaran Syawal ?

Masalahnya,kenapa sulit bagi kita semua untuk berkata "Tidak" dalam melebih-lebihkan tradisi lebaran syawal ? Kenapa tidak ada koreksi yang cukup kuat dalam meluruskan tradisi berlebihan ini agar umat tidak terus larut mengadopsinya menjadi bagian dari amal jama'i keimanan kita?Jawabannya,ternyata sangat sederhana.Sampai saat ini kita belum memiliki counter tradisi dan budaya yang efektif untuk meluruskan gaya berboros ria dalam menyambut momentum lebaran syawal.Masyarakat telah terlanjur menganggap bahwa tradisi lebaran syawal merupakan budaya yang adiluhung,sedemikian rupa sebagai suatu momentum sakral yang dengan demikian tidak dapat lagi dikoreksi.Masyarakat kita nampaknya sedang alpha,atau pura-pura lupa terhadap tuntunan dari sirah nabawiyah,bagaimana junjungan Rasulullah,hadir sebagai contoh mulia dalam meluruskan,juga memberantas kekufuran (Amal Ma'ruf Nahi Munkar);syirik,bid'ah,dan aneka penyakit masyarakat yang bertebaran di muka bumi.Kealphaan,dan kepura-pura lupa'an tersebut semakin diperkuat secara sistematis dan didukung oleh seluruh elemen bangsa,mulai dari civil state,swasta,hingga elemen masyarakat di level grass root.Maka jadilah,tradisi lebaran syawal yang dilebih-lebihkan praktek perayaan (tasyakur) nya terus dilanggengkan hingga saat ini.

Counter Budaya melawan "bid'ah" Lebaran Syawal

Sebagaimana yang saya paparkan dalam paragraf di atas,pada intinya,meluruskan tradisi budaya,harus dengan pendekatan tradisi budaya pula.Dalam hal ini kita harus dapat menangkap amunisi utama yang menggerakkan energi bid'ah lebaran syawal.Kunci pertama,adalah,adanya pengakuan kolektif dari seluruh lembaga formal berkaitan dengan pemusatan cuti bersama pada momentum lebaran syawal (5-7 hari cuti bersama).Sederhananya,jika pengakuan terhadap cuti bersama dieliminasi,dikurangi,atau dipindahkan momentumnya,maka tentunya energi besar momentum lebaran syawal akan berkurang secara signifikan.Contohnya,misal,total libur lebaran syawal hanya diatasi 3 hari,tentu akibat dahsyatnya,energi perayaannya menjadi berkurang dibandingkan dengan saat ini yang memberikan total 7 hari untuk libur.
Kunci kedua,
amunisi penggerak budaya konsumerisme "brutal" masyarakat dalam momentum lebaran syawal adalah Tunjangan Hari Raya (THR) dan aneka insentif/bonus tahunan yang di fokuskan pada saat menjelang hari raya Idul fitri.Akibatnya,masyarakat muslim bak dipersuasi untuk meng-optimalkan energi konsumerismenya sesuai dengan aset finansial yang mereka terima. Demi meng-optimalkan semangat konsumerisme yang sejalan dengan amal ibadah keislaman kita,seorang muslim memiliki satu lagi momentum keilahian yang lebih tepat dalam mengimpelementasikan semangat keimanannya.Momentum tersebut adalah Lebaran Qurban (Idul 'Adha). Muslim di timur tengah sendiri,sebagai sentrum dari periode awal kebangkitan Islam lebih memfokuskan perayaan Idul 'Adha ketimbang 'Idul Fitri.Ada hal mendasar yang membedakan semangat diantara kedua momentum tersebut.Yang pertama (Idul fitri) lebih mengedepankan pada momentum kemenangan pribadi terhadap hawa nafsunya (Diri sendiri terhadap diri sendiri pula,alias kemenangan perang terhadap egosentrisme),sedangkan yang kedua (Idul 'Adha) merupakan momentum kemenangan terhadap keikhlasan dan pengorbanan. Kemenangan individu terhadap sesama (bukan hanya terhadap dirinya) demi meraih ridho Ilahi Robbi.Dengan demikian,menjadi sangat menarik,jika counter budaya terhadap bid'ah lebaran syawal kita hadapkan dengan momentum berbeda tapi yang sederajat,yakni Lebaran Qurban (Idul 'Adha).Dengan pendekatan akar amunisi diats,saya kira,cukup rasional jika kita mempertimbangkan dalam merelokasi 2 aspek diatas.Aspek cuti bersama dan aspek THR beserta bonus perusahaan di fokuskan pada momentum Idul'Adha.Dengan demikian,ketika momentum Idul Adha tiba,tidak ada alasan lagi bagi muslimin di bumi nusantara untuk menghindar dari tuntunan Qurban (Kambing,Sapi,unta,dlsb). Juga,kesempatan besar bagi muslim untuk menunaikan rukun iman ke 5 (naik haji),karena fokus sumberdaya finansial berkumpul pada momentum itu.Da,sekalipun tetap ada tradisi mudik,namun justru mudik yang menguatkan momentum berkurban,yakni berkurban di kampung halaman. Dengan kata lain, jika proses pergeseran budaya tersebut bisa terjadi,tidak hanya bid'ah lebaran syawal sukses ditinggalkan,namun lebih dari itu,ekonomi pedesaan kian menguat dengan pesat seiring dengan meningkatnya permintaan hewan kurban tiap tahunnya,budaya tangan di atas menjadi realitas dari tiap pekerja muslim,dan rukun iman kelima bukan lagi impian bagi tiap pekerja muslim.Wallahu a'lam []


4 komentar:

Anonim mengatakan...

Dear Luqman,

Opo sing mbok tulis bener Man.
Setubuh.... eh sepakat...
Tapi nikmati aja. Itu lah internalisasi islam ke budaya kita.

Hidup Luqman!!

Sosektaers.ub mengatakan...

wah tumben gk berbau politik mas... hehehehe.. :)

bgs ni posting nya...se7 bgd..en bs qta mulai dr diri sendiri n keluarga inti aja klo mau sesuai tuntunan rosul

Anonim mengatakan...

weleh...weleh...sosektaers-ub niki sopo yo?

Unknown mengatakan...

hehehehe...sosektaers nya itu idhay alias shanty mas... :)
lagi trial bikin comment ternyata hasilnya gt