Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Minggu, 26 April 2009

Mengais Asa ditengah Badai Krisis Global (Masa Depan Sektor Pertanian)

Krisis global yang melanda dunia saat ini terutama di negara-negara maju telah membawa dampak yang luas dan kini menyentuh negara-negara berkembang. Sebabnya tentu dapat diprediksi karena keterikatan negara berkembang dengan negara maju dalam konteks sekarang masih sangatlah besar. Sistem ekonomi global yang liberal telah menyeret negara-negara berkembang masuk dalam pusaran air krisis. Bangsa Indonesia yang merupakan negara terbesar di kawasan Asia Tenggara yang kental dengan kultur agrarisnya tak luput dari pengaruh tersebut.


Defisit Neraca dan Penurunan Nilai Ekspor

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sepanjang 2008 mencatat defisit. Bank Indonesia memperkirakan secara keseluruhan di tahun 2008 NPI mencatatkan defisit sebesar US$ 2,2 miliar. Sampai dengan Desember 2008 sendiri, BI mencatatkan cadangan devisa sebesar US$ 51,6 miliar dimana jumlah cadangan devisa tersebut setara dengan 4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.



Sebelumnya Deputi Gubernur BI Hartadi A. Sarwono pernah mengatakan di tahun 2009 diperkirakan NPI juga akan kembali mengalami defisit karena penurunan ekspor akibat rendahnya permintaan di tengah kondisi krisis ekonomi global yang terjadi. Selain itu impor juga mengalami penurunan sejalan dengan perburukan kondisi ekonomi yang terjadi. Hartadi mengatakan dengan perkiraan defisit NPI di 2009 ini, jumlah cadangan devisa Indonesia diperkirakan akan menurun US$ 600 juta menjadi US$ 51 miliar hingga akhir 2009, hal ini terjadi karena penurunan kinerja ekspor Indonesia. (detik.com, 22 April 2009)


Penurunan ekspor Januari 2009 disebabkan oleh menurunnya ekspor migas sebesar 23,85 persen yaitu dari US$1.243,7 juta menjadi US$947,1 juta. Sementara ekspor nonmigas mengalami penurunan sebesar 16,67 persen dari US$7.448,1 juta menjadi US$6.206,2 juta.


Penurunan ekspor migas disebabkan oleh menurunnya ekspor minyak mentah sebesar 18,05 persen menjadi US$373,2 juta, ekspor hasil minyak turun sebesar 26,31 persen menjadi US$71,4 juta dan ekspor gas turun sebesar 27,32 persen menjadi US$502,5 juta.


Hal ini lebih dikarenakan volume ekspor migas Januari 2009 terhadap Desember 2008 (berdasarkan data Pertamina dan BP Migas) untuk minyak mentah, hasil minyak, serta gas masing-masing turun sebesar 23,37 persen, 33,44 persen dan 15,31 persen. Sementara itu harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia justru naik dari US$38,45 per barel di Desember 2008 menjadi US$41,89 perbarel di Januari 2009.


Sementara itu, penurunan ekspor nonmigas terbesar Januari 2009 terjadi pada bahan bakar mineral sebesar US$191,9 juta, sedangkan peningkatan terbesar terjadi pada timah sebesar US$47,5 juta.


Menurut sektor, ekspor hasil pertanian periode Januari 2009 menurun 8,24 persen dibanding periode yang sama tahun 2008, ekspor hasil industri turun sebesar 35,52 persen, demikian juga ekspor hasil tambang dan lainnya turun sebesar 1,24 persen.


Komoditi lainnya yang juga mengalami penurunan ekspor adalah mesin/ peralatan listrik (HS 85) sebesar US$168,7 juta; mesin/pesawat mekanik (HS 84) sebesar US$88,1 juta; karet dan barang dari karet (HS 40) sebesar US$76,2 juta; serta lemak & minyak hewan/nabati (HS 15) sebesar US$68,6 juta.


Selama periode Januari 2009, ekspor dari 10 golongan barang (HS 2 dijit) diatas memberikan kontribusi 51,89 persen terhadap total ekspor nonmigas. Dari sisi pertumbuhan, ekspor 10 golongan barang tersebut turun 35,31 persen terhadap periode yang sama tahun 2008. Sementara itu, peranan ekspor nonmigas diluar 10 golongan barang pada Januari 2009 sebesar 48,11 persen.


Jepang saat ini menjadi negara tujuan ekspor terbesar bagi komoditas ekspor dari Indonesia. Pada Januari 2009, Jepang masih merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan kontribusi 12,70 persen, diikuti Amerika Serikat 12,44 persen, dan Singapura 9,58 persen.


Ekspor nonmigas ke Jepang Januari 2009 mencapai angka US$788,0 juta, disusul Amerika Serikat US$772,3 juta dan Singapura US$594,5 juta, dengan kontribusi ketiganya mencapai 34,72 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa ( 27 negara ) sebesar US$1,03 miliar.


Pada hampir semua negara tujuan ekspor utama terjadi penurunan ekspor. Ekspor nonmigas Januari 2009 ke Jepang turun sebesar US$219,3 juta; Taiwan sebesar US$137,6 juta; Amerika Serikat sebesar US$134,7 juta; Singapura sebesar US$112,2 juta; Korea Selatan sebesar US$110,0 juta; Malaysia sebesar US$74,4 juta; Thailand sebesar US$19,4 juta; Australia sebesar US$16,7 juta; Perancis sebesar US$11,9 juta; Jerman sebesar US$10,1 juta; dan Inggris sebesar US$7,4 juta.


Hanya ekspor ke Cina yang mengalami sedikit kenaikan sebesar US$1,0 juta. Sementara ekspor ke Uni Eropa (27 negara) pada Januari 2009 mencapai US$1.026,8 juta. Secara keseluruhan, total ekspor ke duabelas negara tujuan utama diatas turun 18,23 persen.


Dilihat dari kontribusinya terhadap ekspor keseluruhan Januari 2009, kontribusi ekspor produk industri adalah sebesar 68,60 persen sedangkan kontribusi ekspor produk pertanian adalah sebesar 4,09 persen, dan kontribusi ekspor produk pertambangan & lainnya adalah sebesar 14,07 persen, sementara kontribusi ekspor migas adalah sebesar 13,24 persen. (http://www.datacon.co.id/Bank2009IndFokus.html)


Kontribusi Sektor Pertanian Dalam Komoditas Ekspor

Dari data kontribusi ekspor sektor pertanian masih sangat kecil hanya sekitar 4,09 % dari total ekspor nasional. Sektor pertanian yang sebagian besar masih dikendalikan oleh masyarakat pedesaan ternyata membawa persoalan tersendiri. Tahun 2007 saja jumlah penduduk miskin mencapai 37, 2 juta orang (17, 7% dari jumlah penduduk) dan 23,6 juta orang (63,4 % jumlah penduduk miskin).


Tantangan terus berlanjut, bangsa Indonesia yang terkenal agraris ternyata tak mampu menghasilkan produk pertanian yang dibanggakan. Konon Indonesia memiliki 70 % varietas tumbuhan yang pernah diketahui di dunia. Ini merupakan kekayaan luar biasa besar.


Pada kenyataannya sekarang Indonesia dibanjiri produk pertanian negara-negara lain. Hampir-hampir dapat dipastikan bahwa produk impor memiliki brand lebih berkualitas dibanding produk-produk lokal. Menjamurnya pasar-pasar modern semacam swalayan, mall dan lain-lain disinyalir sebagai sarana masuknya produk-produk impor. Walaupun pada kondisi riil di lapangan, produk pertanian impor terutama hortikultura sekarang juga telah merambah ke pasar-pasat tradisional. Alih-alih meningkatkan kuantitas dan kualitas ekspor untuk bertahan dan menjadi produk unggulan di negeri saja masih sangat sulit.

Mendobrak Sistem Pertanian melalui Paket Kebijakan

Sektor pertanian menjadi sangat penting dan krusial bagi Indonesia karena sector ini low price (murah) yang disebabkan oleh berkah alam :

1. Kelimpahan sumber daya pertanian (lahan, varietas, iklim)

2. Pengetahuan pertanian yang tersimpan dalam kearifan lokal dan kultur masyarakat


Karena dua factor ini terdapat dan berlimpah di Indonesia sehingga modal pembangunan pertanian lebih efisien dan efektif dibanding sector lain karena sangat rendah terhadap eksternal input dari negara lain


Era orde baru pada suatu titik tertentu tak bisa disangkal pernah menjadi surga bagi pertanian Indonesia. Demikian juga orde lama yang telah sukses menelorkan UUPA yang saya tidak tahu sampai sejauh mana efektifitasnya setelah puluhan tahun.


Berbagai paket kebijakan pernah ditelorkan oleh pemerintahan orde baru, tentu kita masih ingat paket “swasembada pangan” terutama beras, telah mendorong bergeraknya sector-sector riil lainnya semacam pabrik pupuk, obat-obatan, perdagangan, industri pertanian dan Koperasi Unit Desa. Belum lagi paket seperti “Gema Palagung”. Walaupun dipandang banyak orang bahwa kebijakan dan hasilnya dianggap sebagai produk manipulatif dan rekayasa tapi sepertinya untuk membuktikan itu butuh banyak data, dan pada kenyataannya di era sekarang kualitas dan kuantitas produk pertanian kita mengalami penurunan. Dan paradigma pembangunan telah bergeser.


Beberapa faktor dituding sebagai penyebabnya diantaranya :

1. Alih fungsi lahan pertanian di hampir seluruh wilayah Indonesia dianggap sebagai factor utama. Banyak lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi perumahan, pabrik dan fungsi lain. Padahal kawasan subur untuk pertanian tidak bisa digantikan dalam tempo tahunan. Mimpi pemerintah orde baru untuk mengubah lahan gambut di Kalimantan menjadi penghibur semu.

2. Sumber daya manusia yang berkecimpung di sector pertanian hampir-hampir tak mengalami kenaikan. Rata-rata petani sekarang mewarisi pengetahuan pertanian dari orang tua mereka. Tenaga-tenaga intelektual lulusan perguruan tinggi seperti tergagap ketika terjun ke dunia nyata dan tak ada yang ready to use.

3. Kebijakan pemerintah yang belum menyentuh secara subtansial kebutuhan jangka pendek dan panjang sector pertanian. Produk undang-undang dan paket hukum beserta juklak dan juknis dinilai belum mencukupi terutama untuk usaha-usaha peningkatan kualitas dan kualitas pertanian, kesejahteraan petani dan pengusaha serta perlindungan terhadap produk pertanian dan lahan pertanian yang sudah ada.


Ketiga factor diatas bukanlah ketiga-tiganya saja, banyak factor lain. Karena bisa saja factor tersebut diatas dianggap sebagai factor normatif. Pendapat seperti itu bisa saja dipahami karena begitulah bangsa ini, terlalu normatif, permasalahan itu-itu saja, solusinya juga itu-itu saja. Bagi saya bukan itu yang penting tapi adanya suatu penciptaan kondisi dimana permasalahan yang ada dapat terselesaikan dengan solusi yang pernah dibuat pula.


Dan untuk menciptakan kondisi tersebut diatas adalah pada pemerintahan dan kaum intelektual. Paket kebijakan perlu disusun untuk membuat strategi dengan paradigma baru bagi rancang bangun sector pertanian dalam jangka pendek hingga jangka panjang. Sekurang-kurangnya paket kebijakan tersebut memperhatikan beberapa hal berikut ;

1. Perlindungan lahan dan produk pertanian

2. Peningkatan kualitas SDM

3. Peningkatan infrastruktur penunjang kawasan pedesaan seperti jalan, pasar dan transportasi

4. Revitalisasi lembaga/institusi pertanian tradisional dan modern seperti lumbung desa, koperasi dan kelompok tani maupun lembaga-lembaga penelitian pertanian.

5. Penetapan visi pertanian Indonesia yang lebih ambisius seperti misalnya “menjadi negara penghasil produk pertanian terkemuka di kawasan Asia”.


Ahmadi Addy Saputra (Boy), 2009









Tidak ada komentar: