Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Minggu, 26 April 2009

Gila Demokrasi, Demokrasi Gila, Gila beneran....

Sejak era reformasi digulirkan, kran demokrasi dibuka lebar. Sebuah situasi yang pada saat era orde baru sangat tidak mungkin dilakukan. Masa orde baru adalah masa demokrasi pancasila dengan cara yang tidak demokratis, dimana demokrasi yang ada adalah demokrasi sandiwara ’maaf jika ada yang tidak setuju’, maksudnya? Sistem demokrasi yang dibangun sudah disetting sedemikian rupa sehingga hasil yang didapat tidak memperdulikan proses yang telah berlangsung. Yang kita bicarakan adalah pemilu, pemilu adalah suatu cerminan demokrasi suatu bangsa, dengan pemilu kita dapat melihat tingkatan demokrasi suatu bangsa.

Pemilu di Era Orde Baru menurut banyak pengamat politik sudah di setting, siapa yang akan menang, siapa yang akan kalah dan siapa yang akan jadi presidennya. Kita yang mungkin ingat bahwa pada saat pemilu di masa orde baru settingan itu sangat kentara semisal penghitungan suara yang ditampilkan di Televisi saat itu sangat cepat, bahkan mengalahkan pemilu 2009 yang ’canggih’ dan bahkan mengalahkan 2004 yang sangat baik. Di masa orde baru seminggu setelah pemilu kita bisa langsung mengetahui suara nasional yang masuk, tergolong canggih dimasa yang tidak secanggih saat ini.

Dengan bergulirnya Era Reformasi, seakan akan masyarakat Indonesia jadi ’melek’ politik, ’melek’ demokrasi. Ibarat orang yang sudah ’ngempet’ sekian lama kemudian diberi kesempatan maka langsung ’brol’, mengalir semuanya. Masyarakat Indonesia seakan-akan ’Gila Demokrasi’. Mereka berlomba-lomba mendirikan banyak sekali partai politik, tercatat 48 partai politik ikut serta pada pemilu pertama pada Era Reformasi tahun 1999, itu belum tercatat partai politik yang tidak lolos verifikasi. Masyarakatpun antusias untuk mengikuti jalannya pesta demokrasi setelah lebih dari 40 tahun tidak pernah ada pesta demokrasi. Sebagai catatan pesta demokrasi terakhir adalah pada tahun 1955, jika pun ada pesta demokrasi pada saat orde baru itu hanyalah pesta-pesta bohongan.

Pada tahun 1999 masyarakat Indonesia sangat antusias untuk mengikuti pesta demokrasi, dimana pada saat itu gaung akan demokrasi sangatlah tinggi. Setiap orang membicarakan tentang politik, tayangan televisipun banyak didominasi tayangan polotik, bahkan saat itu ada beberapa siaran bersama televisi khusus dialog politik. kampanyepun sangat marak, mungkin juga saat itu golput tergolong sangat kecil, karena adanya harapan dengan memilih wakil rakyat yang baru maka kehidupan bangsa yang sudah carut marut ini dapat diselesaikan.

Setelah pemilu tahun 1999, Indonesia mengalami perubahan demokrasi, jika diawal era reformasi indonesia sedang ’gila demokrasi’ maka setelah era reformasi berjalan menjadi ’demokrasi gila’. Demokrasi gila? gila dalam artian segala hal, untuk mencapai tujuan sekarang demokrasi terasa diluar akal sehat. Politik bisa digambarkan seperti rangkaian gerbong kereta, jika kita satu arah, kita akan digandeng, jika sudah tidak searah kita akan ditinggalkan begitu saja distasiun. Tapi sekarang bisa jadi belum sampai stasiun tujuan jika dirasa sudah tidak sejalan kita akan dilepas begitu saja. Itulah yang terjadi saat ini, apalagi selama masa penentuan koalisi setelah pemilihan legislatif, perubahan teman jadi kawan, kawan jadi teman bisa dalam hitungan jam. Partai yang jelas-jelas beda latar belakang, pada saat kampanye bermusuhan, ditataran akar rumput berperang bisa berkoalisi. Suara rakyat yang diamanatkan menjadi permainan elit politik untuk mencari kekuasaan tanpa mempedulikan suara pemilih mereka.

Jika ditataran elit partai politik sedang ’demokrasi gila’ maka ditataran masyarakat banyak orang yang menjadi gila. banyak orang yang menjadi gila dikarenakan kenyataan sanagt jauh dari harapan. Seperti diketahui pemilu 2009 adalah pemilu dengan biaya yang sangat besar, baik biaya materi, biaya tenaga, biaya waktu, biaya pikiran, biaya nyawa hingga biaya poltik yang cukup besar. Sistem suara terbanyak menjadikan para calon legeslatif untuk berlomba menjadi wakil rakyat dikarenakan mereka merasa setiap orang punya kesempatan yang sama, sehingga mereka mengeluarkan semua kemampuan untuk mencapai tujuan tersebut.

Jumlah caleg DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kota/Kabupaten + 1,5 juta orang sedangkan jumlah kursi yang tersedia kurang dari 1 persen. Banyak caleg yang mengeluarkan biaya diluar kemampuan mereka, seorang pengamat politik-Arbi Sanit memperkirakan untuk caleg DPR RI dana yang dikeluarkan minimal Rp. 1 Milyar. Wah uang sebanyak itu didapat dari mana ya..? kalo jadi anggota DPR cara mengembalikannya gimana ya... ? kalo tidak jadi gimana ya.. ? ya... mungkin kita semua sudah tahu.... baik yang jadi DPR maupun yang tidak jadi. Mereka semua gila.... baik yang menang pileg maupun yang kalah pileg. Yang menang dianggap gila karena tanpa menggunakan akal sehat mempermainkan suara rakyat demi mencapai tujuan kelompok mereka. Yang kalah benar-benar gila jika tidak kuat menerima kekalahan itu. Sedangkan masyarakat dibuat gila melihat tingkah laku mereka. Jadi dari ’Gila Demokrasi’ menjadi ’Demokrasi Gila’ hingga menjadi ’Gila beneran’. Kalo gila mudah aja, datang ke Rumah Sakit Jiwa, dekat rumah saya ada kok....

bisa di lihat juga di ;
www.machbub-papa.blogspot.com

facebook, moch machbub sanjaya

1 komentar:

Luqman Setiawan mengatakan...

@Matjboeb,
kalo logikanya diterusin jadi :
...yang nulis gila,yang baca gila,..semua gila... ahak..hak..hak..hak..