Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Sabtu, 18 Oktober 2008

Global Warning

Oleh Ahmadi Addy S

Pertanyaan sederhana apa sebenarnya ancaman yang paling dekat dengan kita? Terorisme? Sebagaimana yang ditakuti separuh dunia. Coba kita lihat. Mengutip pidato Muhammad Yunus sang “pahlawan kemiskinan” dari Bangladesh ketika memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian bersama Grameen Bank tahun 2006 bahwa 94% pendapatan dunia dinikmati oleh 40% penduduk dunia sementara 60% penduduk dunia hidup hanya dengan 6% pendapatan dunia. Separuh penduduk dunia hanya hidup dengan US$ 2 sehari. Lebih dari 1 milyar orang hidup dengan kurang dari US$ 1 sehari. Ini bukanlah rumus perdamaian.

Kemiskinan menjadi alat pemusnahan species manusia yang efektif. Kelaparan, penyakit mematikan, perang saudara, erat kaitan dengan kemiskinan. Menurut saya lebih efektif dari kematian akibat terorisme. Tapi perlu anda tahu bahwa lebih dari US$ 530 milyar oleh AS dihabiskan untuk perang Irak saja yang belum jelas tujuan akhirnya. Belum lagi Negara-negara lain yang terlibat dalam perang melawan terorisme. Terorisme memang ancaman dunia tapi kekerasan dan perang bukanlah cara-cara yang efektif. Sebagaimana disampaikan M. Yunus bahwa menyalurkan sumber daya unutk meningkatkan peri-kehidupan kaum miskin adalah strategi yang lebih baik ketimbang membelanjakannya buat senjata.

Kemiskinan menghalangi setiap manusia untuk memperoleh hak hidup layak (pangan, sandang, papan), pendidikan, kesehatan, dll. Ribuan ibu dan bayi meninggal karena penanganan kelahiran yang tak layak, ribuan balita meninggal karena gizi buruk, ribuan anak di bawah umur pemuda-pemudi harus harus bekerja sangat keras untuk sesuap nasi hanya karena putus sekolah dan tak bisa mendapat pekerjaan layak.

Dalam suatu kesempatan di Sidang Umum PBB, Presiden RI 1 Sukarno pernah meminta bantuan Negara-negara maju untuk membantu mengentaskan kemiskinan sebagai wujud tanggungngjawab akibat penjajahan yang mereka lakukan. Dan pada tahun 2000 para pemimpin dunia berkumpul di PBB dan bertekad untuk mengurangi kemiskinan sampai separuhnya pada tahun 2015. Tapi sejak perisiwa 11 September dan perak Irak sekonyong-konyong dunia tergelincir dari impian dan beralih berperang melawan terorisme (disarikan dari pidato M.Yunus).

Satu lagi ancaman serius bagi kehidupan. Jika ini bergabung dengan kemiskinan maka senjata ini sangat ampuh dalam pemusnahan spesies manusia. Pemanasan global namanya. Laporan terakhir Panel PBB untuk Perubahan Iklim atau United Nations Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang diumumkan di Valencia 19/11/2007tersebut menyebut manusia sebagai biang utama pemanasan global. Emisi gas rumah kaca mengalami kenaikan 70 persen antara 1970 hingga 2004. Konsentrasi gas karbondioksida di atmosfer jauh lebih tinggi dari kandungan alaminya dalam 650 ribu tahun terakhir.

Rata-rata temperatur global telah naik 1,3 derajat Fahrenheit (setara 0,72 derat Celcius) dalam 100 tahun terakhir. Muka air laut mengalami kenaikan rata-rata 0,175 centimeter setiap tahun sejak 1961.

Sekitar 20 hingga 30 persen spesies tumbuh-tumbuhan dan hewan berisiko punah jika temperatur naik 2,7 derajat Fahrenheit (setara 1,5 derajat Celcius). Jika kenaikan temperatur mencapai 3 derajat Celcius, 40 hingga 70 persen spesies mungkin musnah.

Meski negara-negara miskin yang akan merasakan dampak sangat buruk, perubahan iklim juga melanda negara maju. Pada 2020, 75 juta hingga 250 juta penduduk Afrika akan kekurangan sumber air, penduduk kota-kota besar di Asia akan berisiko terlanda banjir dan rob. Di Eropa, kepuanahan spesies akan ekstensif. sementara di Amerika Utara, gelombang panas makin lama dan menyengat sehingga perebutan sumber air akan semakin tinggi.

Kondisi cuaca ektrim akan menjadi peristiwa rutin. Badai tropis akan lebih sering terjadi dan semakin besar intensitasnya. Gelombang panas dan hujan lebat akan melanda area yang lebih luas. Risiko terjadinya kebakaran hutan dan penyebaran penyakit meningkat.

Sementara itu, kekeringan akan menurunkan produktivitas lahan dan kualitas air. Kenaikan muka air laut akan memicu banjir lebih luas, mengasinkan air tawar, dan menggerus kawasan pesisir. (Kompascyber, 11/2007).

Anda bisa membayangkan dan menggambarkan betapa bahaya pemanasan global ini bagi kehidupan. Laksana raksasa tidur yang melenakan dan siap memangsa kita dalam hitungan detik. Jauh lebih berbahaya dari ancaman terorisme. Dan lagi-lagi Negara-negara maju penyumbang emisi terbesar masih tak acuh. Beberapa Negara belum meratifikasi Protokol Kyoto, AS sebagai pemimpinnya.

Maka jika Negara-negara maju enggan untuk memerangi kemiskinan dan pemanasan global yang merupakan global warning bagi kelangsungan hidup, kita sebagai bangsa yang memiliki banyak penduduk miskin serta memiliki kekayaan alam yang berlimpah memerlukan langkah strategis sebagai agenda utama bangsa. Termasuk kita sebagai individu.

1 komentar:

Jewelholic mengatakan...

masalahnya protokol kyoto itu sendiri juga tidak begitu saklek seperti protokol yang sudah2. tidak adanya sanksi yang pasti dan pengurangan emisi yang bersifat sukarela tidak begitu membuat perubahan yang berarti dimuka bumi ini.

sementara untuk pengurangan emisi yang begitu besar (menurut para pengusaha) membuat tentunya kerugian dalam dunia perbisnisan...sehingga para penguaha ini istilahnya masih malas2an dalam menyikapi protokol kyoto.
selain itu juga faktor dana, dalam artian kalau menginginkan dunia ini sebersih2nya, maka diperlukan teknologi yang secanggih mungkin untuk mnegatasi polusi, tidak hanya udara, tapi juga polusi yang lainnya...tentunya butuh biaya yang sangat besar, sehingga negara2 ini dan para pengusaha didalamnya melakukan trik, bagaimana tetap "membersihkan" bumi secukup mungkin dan kita didalamnya berusaha untuk beradaptasi dengan "kebersihan" yang apa adanya.

terkadang negara berkembang juga tidak bisa berbuat banyak dengan hal ini, dikarenakan kontrol dari pendonor luar...pemberian donor juga diakhiri dengan reward "perusakan" alam dinegara berkembang, baik dari segi pengurangan ketatnya aturan lingkungan juga dari segi political economy....dikasih dana tapi asalkan investor asing & pembangunan sektor industri boleh diperbanyak dinegara2 berkembang ini.

terpuruknya kondisi lingkungan dinegara berkembang, contoh simple indonesia, juga karena keterlenaan kita sendiri sebagai bangsa yang memiliki semuanya sebagai negara tropis. bila dibandingkan dengan australia, terlepas dari mayoritas penduduknya yang lebih sedikit educated, australia mampu memanage lingkungannya karena memang sedari awal mereka kekeringan, terutama yang saat2 ini adanya restriksi air hingga tingkat 5 di queensland, tingka 4 dicanberra, tingkat 6 di adelaide. selain itu faktor tanah yang lebih asam, tidak dapat menampung air hujan selama seperti tanah di indo. sehingga dengan berbagai macam upaya, mereka memanage lingkungan dan habitat sekitar, setiap kegiatan yang membahayakan lingkungan dan keberlangsungan masa depan dilarang dengan sanksi yang berat.

dibandingkan dengan negara tropis kita. dulunya, kita berpikir bahwa perkembangan populasi hanya akan terjadi di jawa, sehingga memotong satu pohon dijawa tidak akan berakibat apapun dengan indonesia, dalam artian kita masih punya banyak di papua, kalimantan, sumatera,dsb. tanpa kita sadari bahwa ditempat2 ini juga populasi telah berkembang juga dan melakukan hal yang sama seperti kita. sehingga ketika perusakan itu sebegitu parahnya...kita baru tersadar untuk membenahinya, kita harus memperbaiki benang yang ruwet. apabila kita memperbaiki daerah A maka populasi B harus dipindah ke C sementara daerah C juga punya permasalahan D dsb. belum lagi faktor apakah pemerintah berpihak pada kita dalam setiap pengambilan keputusan masalah lingkungan atau lebih ke investor....mungkin yang para ekonom disini tau istilahnya rent seeking, inilah yang saya maksud.

belum lagi faktor worth tidaknya menunggu agar suatu pohon dihutan itu siap panen atau tidak. dimana kesadaran penduduk juga kurang akan hal ini, selain itu ditunjang dengan ketidakstabilan keuangan. misalkan lebih worth untuk tebang sekarang karena permintaan & harga jual tinggi, maka dia tidak akan menunggu terlalu lama karena ia ingin keuntungan sekarang untuk keberlangsungan hidup besoknya.

jadinya perlu banyak yang digali ketika kita berbicara masalah lingkungan, baik dari segi politicalnya yang membentuk kebijakan suatu negara terhadap lingkungan, segi kebijakan ekonominya, dan segi communitynya.

ada buku yang menarik, tentang hal ini, yaitu the skeptical environmentalist dari Bjorn Lomborg. kalau ada yang mau pinjam silahkan.

terlepas dari masalah lingkungan, saya pribadi tidak begitu keen dengan Grameen Bank, karena saya tau sendiri, bahwa meskipun sepertinya diperuntukkan untuk masyarakat bangladesh terutama kaum perempuan, oleh orang bangladesh sendiri, akan tetapi sebenanrnya dana dari bank itu didapat dari donor internasional yang banyak campur tangan didalamnya untuk negara bangadesh.