Ayo gabung Neobux ! anda dibayar untuk tiap iklan yang anda klik

Senin, 04 Agustus 2008

Masa Depan Fakultas Pertanian

Kompas bulan lalu mengulas tentang kosongnya peminat calon mahasiswa baru untuk jurusan2 di Faperta. Rata2 50 % kursi kosong atau tidak ada peminatnya. Hal ini menimbulkan menjawab kegelisahaan saya 10 tahun yang lalu ketika masih aktif menjadi mahasiswa sosek pertanian ub.

Negara agraris dengan 80% lebih penduduknya bergantung dengan mata pencaharian pertanian tetapi institusi pendidikan tidak mempunyai konsep sama sekali tentang pendidikan pertanian yang berbasis pertanian. Sungguh sangat ironis, tetapi hal ini memang sudah bisa diprediksikan, karena kejadian sekarang adalah imbas dari sistem pendidikan pertanian 10 tahun yang lalu.

Saya masih ingat, ketika masuk jurusan Sosek Agrobisnis nilai UMPTN saya 350, dengan rasio 1:20 untuk jurusan ini. Pada waktu itu (th 1996) persaingan UMPTN sangat ketat. Pada awalnya saya kagum bisa diterima. Tapi apa yang terjadi kemudian???
Seiring berjalannya waktu, dengan kehausan saya akan membaca buku, berdiskusi, terjun ke petani, saya merasa ada yang salah dalam sistem pendidikan di Faperta UB.

Saya mencoba melakukan pemetaan analisa untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam sistem pendidikan faperta-ub. Saya mencoba menganalisa kurikulum - proses belajar mengajar( dosen - mahasiswa -materi)- pemerintah - lingkungan pertanian.

Saya meyakini bahwa team perumus kurikulum pasti memiliki dasar yang jelas dalam merumuskan materi perkuliahan yang sesuai dengan perkembangan dunia pertanian saat itu. Kurikulum seharusnya bersifat dinamis, yaitu selalu di evaluasi dan diupdate sejauh mana keefektifannya selama ini. Saya pada saat itu sudah merasa bahwa kurikulum terlalu kuno dan mungkin sudah ketinggalan 20 tahun dalam membekali mahasiswa untuk selalu selaras dengan perkembangan dunia pertanian yang cepat. Kurikulum sangat jauh dengan pokok kajian mengenai pertanian yang sebenarnya. Sepotong-sepotong pelajaran yang saya dapatkan, jauh dari gambaran tentang pertanian itu sebenarnya.

Kurikulum pendidikan berhasil jika 3 kategori ini tercapai (hasil membaca filsafat pendidikan lho). Pertama peserta didik memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa yang dipelajarinya.
Kedua peserta didik menjadi kreatif dalam memberikan ide dan gagasan. Ketiga peserta didik memiliki sebuah karya nyata dari proses pendidikan yang digelutinya selama ini. Menurut saya ketiga2nya tidak pernah terjadi. Jadi sudah sepantasnya jika generasi Faperta 10 thn yang lalu adalah generasi yang gagal dalam menjawab dunia pertanian di Indonesia.

Proses belajar mengajar antara dosen dan mahasiswa sangat tidak sejajar. Tidak terjadi proses dialogis yang memungkinkan mahasiswa dan dosen bertukar pikiran tanpa rasa takut nanti tidak lulus. Budaya feodal sangat kental dalam hubungan ini. Kalo kita mendalami filsafat pendidikan, proses belajar mengajar yang benar adalah tidak ada guru dan murid, semua adalah guru. Alam, buku, informasi, teknologi, pengalaman, media adalah guru yang efektif dalam proses belajar mengajar. Dosen sebenarnya harus berfungsi sebaga i fasilitator yang mendorong mahasiswa untuk sampai dalam tingkat dimana mahasiswa memiliki pengetahuan, kreativiras dan karya yang melebihi dari dosennya.

Setali tiga uang dengan pemerintah. Selama ini harus kita akui bahwa perhatian pemerintah terhadap pertanian apalagi pendidikan pertanian pasca reformasi sangat kurang atau hampir tidak ada. Petani dibiarkan bertarung dengan pasar sendirian, dibenamkan dengan ketergantungan terhadap benih hibrida, pupuk kimia milik MNC Asing. Konversi lahan dibiarkan sangat masif tanpa ada proteksi terhadap lahan pertanian, sehingga lahan pertanian semakin tergerus menjadi perumahan dll. Produk2 pertanian impor yang masuk tanpa bea masuk sanagat memukul dunia pertanian Indonesia. Sungguh konyol petani kita menjadi konsumen netto terhadap produk pertanian itu sendiri.

Faperta UB saya yakin pasti tidak mempunyai solusi atau tawaran apapun dalam menyikapi kondisi ini. Soalnya dosen2nya suka main politik2an di kampus, mengejar jabatan di fakultas dan rektorat. Mengajari mahasiswanya juga dengan politik aliran yang tidak bermutu. Tidak memiliki keberpihakan yang jelas. Coba lihat di kompas nasional, saya berlangganan tiap hari. Mana ada dosen FP UB yang menulis di kompas. Apalagi dosen Sosek FP UB. Kalah ama Universitas Lampung ama Universitas Jember yang mampu memberikan kontribusi pemikirannya di koran nasinal yang menjadi barometer informasi nasional. Sungguh tragis!!

Siswanto Ariadi
SEA'96

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Tulisan ini mengingatkan saya pada saat baru lulus kuliah. Pada saat itu orang tua saya bertanya, "Dapat apa kamu selama kuliah di Faperta UB?", lalu saya jawab, "Ngga dapet apa-apa", dan orang tua saya pun bengong dengan sedikit kesal.

Hmm...masalah Faperta UB sepertinya memang masalah arogansi dan kesombongan (walaupun sebenarnya tidak tau apa yang harus disombongkan oleh orang-orang di dalamnya). Selain dari kurikulum yang oldiest dan cara mengajar yang layaknya tentara..saya ingat banget dalam perkuliahan dulu kita sama sekali tidak boleh salah dalam menjawab pertanyaan dosen, alhasil mahasiswa frontal seperti saya lebih baik memilih tempat duduk di pojok belakang yang tidak terlihat oleh dosen. Kampus khan tempat kita belajar, kenapa kita tidak boleh salah?

Belum lagi penelitian yang tidak pernah terekspos. Katanya untuk petani, tapi mana??? Apakah penelitian dilakukan hanya untuk menghabiskan dana penelitian saja? atau...? Idealisme saya pada saat baru masuk Faperta UB yang 'awalnya' mengarah pada petani akhirnya harus berputar 180 derajat setelah menyelami dunia perkuliahan disana setelah 3 semester.

Well, tugas yang berat untuk merubah paradigma dan menjadikan almamater kita lebih baik lagi. Pola pikir lama harus segera dibuang dan diganti dengan pola pikir yang up to date. Sebaiknya kita meninggalkan segala kesombongan dan arogansi dengan mendongak dan melihat bahwa masih banyak yang lebih baik dari kita. Dan tentunya harga diri Faperta UB dalam hal ini dipertaruhkan untuk dapat menunjukkan daya saingnya di kancah Universitas Negeri lainnya yang mengusung jurusan Pertanian.

Anonim mengatakan...

Setuju dengan mas sis dan mbak fida
sebagai orang yang pernah kuliah di universitas brawijaya,saya sebenarnya merasa malu dengan sistem belajar di kampus tercinta yang memandulkan daya kritis serta lebih mengedepankan "pendidikan gaya bank" (mengutip paulo freire dlm bukunya "pendidikan kaum tertindas")wal hasil alumni nya terserak di mana-mana tapi gak ke mana-mana dan mayoritas cuma tercetak buat jadi end user (hebatnya...merasa nyaman lagi...?)dan bukannya jadi creator.
tapi menyesal dan malu aja gak cukup !...ya iya lah ...masa iya dong?terus gimana dong?
kita berdoa saja kawan,semoga perubahan cepat terjadi ...sebab kalo sistem belajarannya gak berubah...maka jangan kaget kalo nantinya 10 taon lagi para orang tua lebih nyaman nyekolahin anaknya ke unmuh malang ketimbang brawijaya...ya...jangan dong ! masa jangan lah ?ah...tauk ah gelap !

Anonim mengatakan...

kalo masalah ini kayaknya aku juga sepakat sis..... emang selama kita kuliah gak ada satupun mata kuliah yang fokus dan terintegrasi..... seakan2 akan cuma untuk memenuhi standar kurikulum yang sudah digariskan....
perlu direvisi tuh....